00:00
00:00
saga
Jamur Pelawan Bangka Diterpa Krisis Iklim, Dihimpit Tambang dan Sawit (Bagian 2-habis)

Butuh upaya lebih untuk menyelamatkan jamur pelawan, kebanggaan masyarakat Bangka, dari ambang kepunahan

Penulis: Ninik Yuniati, Astri Yuana Sari

Editor: Citra Dyah Prastuti

Google News
Jamur Pelawan Bangka Diterpa Krisis Iklim, Dihimpit Tambang dan Sawit (Bagian 2-habis)
Jamur pelawan dari Hutan Pelawan Namang, Bangka Tengah yang sudah diawetkan. Jumlah jamur yang tumbuh makin berkurang tiap tahun. (Foto: KBR/Ninik)

KBR, Bangka Tengah - Hujan mengguyur Hutan Pelawan di Desa Namang, Bangka Tengah, pertengahan Mei 2025 lalu. Datangnya tak tentu, begitu juga durasinya. Padahal, biasanya Mei itu musim kemarau. Di satu siang, hujan turun disertai kilatan petir.

Beberapa hari setelahnya, Zainuddin masuk ke hutan. Siapa tahu ada jamur pelawan, pikirnya, mencoba peruntungan.

Warga Namang 44 tahun ini, berpegang pada kepercayaan turun-temurun, bahwa jamur pelawan tumbuh jika ada hujan disertai petir.

“Biasanya (jamur pelawan) tumbuhnya harus ada kemaraunya, misalnya 1-2 bulan. Seminggu awal hujannya itu disertai dengan geledeknya, jamurnya baru akan tumbuh. Kalau lagi banyak geledeknya itu masyarakat sudah tahu, kletar-kletur bunyi geledeknya. Kalau hanya sekali geledek, mungkin gak bakal tumbuh juga, harus berkali-kali,” kata Zainuddin.

Namun, pencariannya kali ini nihil hasil.

Sebulan sebelumnya, ia sempat panen jamur, meski tak sampai 1 kg. Kontras dengan kondisi 20-an tahun lalu, ia bisa panen hingga 50 kg.

“Biasanya April gak begitu banyak menghasilkan jamur pelawan. Soalnya kita tergantung cuaca juga, misalnya kemaraunya gak banyak, maka jamurnya tumbuhnya, gak banyak juga sih," tuturnya.

Sabta Eka (35), tetangga Zainuddin, malah sudah setahun tak panen jamur pelawan. Padahal di tahun-tahun sebelumnya, ia selalu membawa pulang jamur pelawan.

“Kalau perbandingannya, 2010-2013, panen jamurnya lebih banyak. Dari 2014 sampai ke sini agak menurun. Mungkin faktor cuaca, kan, karena mitos dan mistisnya juga sih. Pertama, kurang lebih panasnya itu harus 5-6 bulan. Terus kalau sudah masuk musim penghujannya, siang malam, dia ada petir dan kilatnya, insya Allah mungkin kebanyakan tumbuh dia,” ujar Eka.

Makin berkurangnya jamur pelawan juga dibenarkan Abdurrahman, yang sehari-hari menjaga hutan pelawan.

“Terakhir yang banyak tumbuhnya tahun 2012. Sekarang sudah berkurang, gak tahu ya gimana. Musim kemarau 2023-2024 itu kemarau panjang di sini. Durian-durian berbuah semua, manggis pada berbuah, berbunga, tapi jamurnya tumbuhnya kurang," Abdurrahman bercerita.

Baca juga: Menjaga Jamur Pelawan, Merawat Tradisi Bangka (Bagian 1)

Gerbang depan Hutan Pelawan di Desa Namang, Bangka Tengah. Ini adalah satu-satunya hutan pelawan yang dilindungi di Bangka. (Foto: KBR/Astri)
Gerbang depan Hutan Pelawan di Desa Namang, Bangka Tengah. Ini adalah satu-satunya hutan pelawan yang dilindungi di Bangka. (Foto: KBR/Astri)

Cuaca tak menentu sebagai dampak perubahan iklim, berpotensi memengaruhi pertumbuhan jamur pelawan, kata Dian Akbarini, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Bangka Tengah.

Dian pernah meneliti jamur pelawan di Hutan Pelawan Namang dan beberapa lokasi lain di Bangka.

“Jamur (Pelawan), kan, memang ada masa rentang panasnya, kemudian massa airnya, lembabnya. Perubahan iklim bisa jadi (berpengaruh), karena sekarang panas kita, jadwalnya tidak sama seperti tahun kemarin, juga hujannya. Perubahan global lingkungan memengaruhi juga. Ekosistem yang ada di situ, iklim yang di sekitarnya, di mikronya, pasti pengaruh,” jelas Dian.

Habitat makin rentan

Jamur pelawan tak bisa dibudidaya. Hanya tumbuh jika ada pohon pelawan, pohon khas Bangka. Ekosistemnya juga harus mendukung.

Hutan pelawan di Desa Namang, Bangka Tengah adalah salah satu dari sedikit habitat yang bisa ditumbuhi jamur pelawan.

Sejak 2008, hutan itu ditetapkan sebagai kawasan lindung melalui peraturan desa. Lima tahun kemudian, status ini diperkuat Pemkab Bangka Tengah dengan menetapkannya sebagai Taman Keanekaragaman Hayati (Kehati).

Artinya, hutan pelawan beserta seluruh isinya harus dilindungi. Pohon-pohonnya tidak boleh diambil atau ditebangi, aneka satwanya dilarang diburu.

Selama 12 tahun terakhir, hutan pelawan memang tak beralih fungsi. Namun, muncul banyak faktor yang mengancam keberlangsungannya. Selain perubahan iklim, ada juga masalah limbah dari tambang sekitarnya.

Menurut Sabta Eka, limbah dari tambang timah pernah mencemari sungai di Hutan Pelawan pada 2013.

"Di desa tetangga menambang, jadi limbahnya masuk ke aliran Hutan Pelawan. Kita stop, kita kerja sama dengan Satpol PP Kecamatan, Polsek. Kita izin dulu dengan Dinas LH, (Dinas) Pariwisata, melaksanakan kegiatan penyetopan kerjaan mereka, tambang ilegal itu," ujar Eka.

Selang lima tahun, kejadian serupa berulang.

“Sekitar 2018-2019. Kemarin 2021 juga ada, pas harga timah melonjak naik, sampai Rp200 (ribu)-an, jadi mereka mulai kerja lagi, (kami) turun lagi untuk mencegatnya. Boleh nambang, karena di wilayah mereka, nggak nambang di kawasan Hutan Pelawan. Cuma limbahnya nge-rusak ekosistem air kita, sungai Hutan Pelawan," Eka menekankan.

Dian Akbarini, peneliti jamur pelawan, menyebut limbah pestisida dari perkebunan sekitar juga mencemari sungai di Hutan Pelawan.

“Yang jelas limbah itu pasti memengaruhi ekosistem secara umum, yang ada di Taman Kehati Hutan Pelawan,” ungkap Dian. 

Baca juga: Petani Perempuan Brebes Dikepung Racun Pestisida

Lahan bekas tambang timah di Desa Namang, Bangka Tengah. Lokasinya tak sampai 1 km dari Hutan Pelawan. (Foto: KBR/Astri)
Lahan bekas tambang timah di Desa Namang, Bangka Tengah. Lokasinya tak sampai 1 km dari Hutan Pelawan. (Foto: KBR/Astri)

Abdurrahman, penjaga hutan pelawan, sedih sungai hutan pelawan mulai tercemar. Dulu waktu masih bocah, sungai itu tempatnya mandi dan bermain.

“Airnya (dulu) jernih, kita kalau kehausan, kita minum mentah air itu, malah jadi segar badan kita. Sekarang gak, takut minumnya, airnya kayak air comberan keruhnya kadang-kadang,” kata dia.

Abdurrahman juga mengeluhkan sulitnya menjaga hutan pelawan. Banyak kayu dicuri, termasuk kayu pelawan.

Hutan seluas 47 hektare itu hanya dijaga dua orang, Abdurrahman dan Zainuddin yang berstatus honorer Dinas Lingkungan Hidup Bangka Tengah.

“Kadang, orang mau ngambil kayu, gak kita kasih, serba susah, kita kasih juga lebih susah lagi. Sebab hutan ini, kan, sudah di kawasan lindung, nggak boleh ambil kayu. Mereka kadang-kadang, gak ada kita, mereka masuk hutan. Tapi kalau ada kita, enggak (masuk),” keluh Abdurrahman.

Benar saja, di suatu pagi, giliran Zainuddin yang memergoki seorang laki-laki, pemburu satwa liar masuk Hutan Pelawan. Kala itu, Zainuddin tengah menengok sarang lebah madu yang ia budidaya

"Mau ke mana, Pak?" tanya Zainuddin. Orang yang ditanya tak menjawab, hanya melempar senyum, dan langsung berjalan ke sebuah pohon tempatnya menaruh jebakan.

"Sebenarnya di hutan ini, nggak bisa diambil (satwanya), soalnya ini hutan untuk dilindungi," tutur Zainuddin memperingatkan.

Laki-laki itu kembali melempar senyum, beberapa kali merespons dengan kata-kata yang terdengar seperti "ndak" atau "tak", kemudian berlalu dan meninggalkan hutan.

“Bukan orang Desa Namang," ucap Zainuddin.

Zainuddin usul Hutan Pelawan diberi pembatas jelas untuk mempermudah pengawasan.

“Soalnya Hutan Pelawan ini dari sebelah manapun bisa masuk. Kalau kita pas ada pemburu liar, ketemu sama kita, kalau nggak ketemu, kan, mereka udah merusak, juga mungkin mengambil hewannya. Ada juga yang bandel, ada yang nangkap burung, kita suruh lepasin. Dibilang (kadang) cekcok, iya, tapi kalau nggak kita tegas, malahan habis (satwanya)," terang Zainuddin.

“Hutan ini lebih baik kita bikin sekat, gak bisa dimasukkin masyarakat luar. Kita di sini, untuk penjagaannya juga terbatas. Kita jaga di sana, orang masuk dari sana (jalur lain), jalannya bisa tembus semua. Lebih baik kalau ada, misalnya dibeton atau apa, (biar) nggak bisa diganggu lagi,” lanjutnya.

Baca juga: Usaha Lestari di Sigi yang Menghidupi Diri dan Bumi

Salah satu kebun sawit yang berdekatan dengan Hutan Pelawan, Desa Namang, Bangka Tengah. Di beberapa lahan kosong, terlihat tumpukan sampah. (Foto: KBR/Astri)
Salah satu kebun sawit yang berdekatan dengan Hutan Pelawan, Desa Namang, Bangka Tengah. Di beberapa lahan kosong, terlihat tumpukan sampah. (Foto: KBR/Astri)

Apa jawaban Kepala Dinas Lingkungan Hidup Bangka Tengah, Ari Yanuar Prihatin? Adakah upaya yang sudah dilakukan Dinas?

"Saya punya rencana kemarin cari sponsor di Jakarta. Minimal untuk pagar kawat berduri aja, menandakan itu area yang dilarang. Kalau masuk dengan membawa alat-alat pemotong, bisa dihukum sekian. Kalau enggak dibuat begitu, alasan, 'kami enggak tahu, kami enggak bisa baca peta, Bapak sosialisasi pun enggak pernah' padahal semua orang di Namang itu tahu," ujar Ari.

Abdurrahman berharap pemkab serius membangun pembatas hutan pelawan.

“Percuma juga kalau dipagar kawat duri, itu, kan, ada selanya, mereka bawa tang, potong aja, itu udah putus. Tapi kalau sudah dibeton atau dipakai kamera CCTV, mungkin ter-monitoring," ucap Abdurrahman.

Jangan punah!

Jika berbagai ancaman ini dibiarkan, hutan pelawan bisa tinggal nama, bersama keanekaragaman hayati di dalamnya. Jamur pelawan bakal kian rentan, di ambang kepunahan.

Sebagai peneliti, Dian Akbarini mewanti-wanti jangan sampai hal itu terjadi.

“Sayang banget kalau seandainya (punah). Sedih, sedih banget, karena pasti akan memberikan dampak bagi kita. Sekarang tidak kerasa, tapi mungkin bertahun-tahun kemudian baru kerasanya kita. Karena satu spesies itu pasti punya fungsi di muka bumi ini. Terkadang kita yang belum sampai ilmunya,” tutur Dian.

Terlebih, kata Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Bangka Tengah ini, jamur pelawan terbukti sarat nutrisi.

“Proteinnya tinggi setara dengan ayam. Tetua kita dulu, mereka pintar, beradaptasi dengan lingkungannya. Pada saat itu mungkin susah mendapatkan protein hewani, ternyata mereka mendapatkan jamur. Itu kearifan lokal, pangan lokal, yang harus dijaga. Kalau kita menjaga hutan, pasti hutan itu akan memberikan sesuatu kepada kita, itu aja prinsipnya,” jelas Dian.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bangka Tengah, Ari Yanuar Prihatin. (Foto: KBR/Astri)
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bangka Tengah, Ari Yanuar Prihatin. (Foto: KBR/Astri)

Dian menekankan, pentingnya mengedukasi masyarakat agar mau menjaga Hutan Pelawan beserta ekosistemnya.

"Harus tetap dijaga (agar) tidak akan tercemar secara lingkungan. Ekosistem terjaga, insya Allah, maka semua flora fauna, termasuk mikronya, termasuk jamur pelawan itu masih akan tetap ada di situ," ungkap Dian.

Jangan sampai hutan pelawan beralih fungsi.

“Saya pernah ke daerah lain, kan, juga ada pelawan, selain di Bangka Tengah, tapi pelawannya habis dialihfungsikan menjadi perkebunan, sawit dan lainnya. Juga karena kayu pelawannya itu diambil sebagai kayu bakar, karena memang apinya bagus,” Dian bercerita.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Bangka Tengah Ari Yanuar Prihatin menegaskan Pemkab berkomitmen melindungi hutan pelawan. Status Taman Kehati tak bakal berubah.

“Pemkab dengan Desa Namang itu satu hati. Mari kita sama-sama menjaga ini. Yang sudah kita buat, ide ini begitu bagus, kita pertahankan. Jangan sampai ada kegiatan-kegiatan yang bisa merusak Taman Kehati ini," tutur Ari.

Butuh komitmen kuat juga dari masyarakat Desa Namang untuk mempertahankan hutan pelawan

"Awalnya, kan, masyarakat yang ingin melindungi sama-sama, kita sepakati ini. Jadi kita, (Pemerintah) Bangka Tengah nggak lepas (tangan), Pemerintah Desa Namang juga nggak lepas. Karena kalau kita kelola bersama, agak lebih aman dan terjamin pelestariannya," kata Ari.

Abdurrahman, Zainuddin, dan Sabta Eka (dari kiri ke kanan), ketiganya warga Desa Namang, Bangka Tengah yang berkomitmen menjaga Hutan Pelawan. (Foto: KBR/Astri)
Abdurrahman, Zainuddin, dan Sabta Eka (dari kiri ke kanan), ketiganya warga Desa Namang, Bangka Tengah yang berkomitmen menjaga Hutan Pelawan. (Foto: KBR/Astri)

Zainuddin sudah 17 tahun menjaga hutan pelawan. Cintanya terhadap hutan dan kekayaan hayati di dalamnya, tak usah diragukan.

“Kalau nggak cinta sih udah lama saya tinggal, nggak sampai satu tahun mungkin, kalau nggak cinta. Saya kerja di sini, mulai 2008 sampai sekarang. Hitung lah berapa tahun," tutur dia.

Sebelumnya, ia juga pernah menambang timah, tetapi memilih berhenti dan mengurus hutan.

“Kita bukan hanya pikir sekali, kita mikir untuk ke depannya, buat anak cucu kita. Kalau kita berpikir sekali, itu ya biarin lah, mau habis, habis, masa bodoh,” lanjutnya.

Kepala Desa Namang, Zaiwan, yakin hutan pelawan bakal tetap dilindungi. Ia mulai menyiapkan generasi muda Namang, melanjutkan tradisi leluhur, sebagai penjaga hutan pelawan.

“Bapak harus optimis, minimal anak Bapak dan keluarga Bapak. Ini kakek-kakek kami dulu yang mengusahakan. Termasuk saya dan Zainuddin ini sepupu, jadi beliau yang gigih di sini, insya Allah anak-anak Bapak dan keluarga-keluarga Bapak yang akan meneruskan perjuangan ini," ujar Zaiwan.

Sabta Eka, pemuda Desa Namang, tak ragu mengikuti jejak Zaiwan.

Pria 35 tahun ini juga rajin mengedukasi anaknya agar mencintai hutan pelawan.

"Alasan mengajak anak sama keluarga (sering ke Hutan Pelawan), untuk memperkenalkan anak-anak ke dunia hutan. Karena kita harus menjaga keasrian hutan kita. Tinggal nge-jalan-in aja Hutan Pelawan ini, udah dibuat, udah dijaga. Masak, rasa dari belasan tahun ini udah hilang. Jadi kita komitmen tetap harus menjaga Hutan Pelawan," tegas Eka.

Liputan ini didukung oleh cXc Climate Culture Story Grant 2025

Penulis: Ninik & Astri

Editor: Citra DP

jamur pelawan
bangka
Bangka Tengah
Hutan Pelawan
keanekaragaman hayati

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...