00:00
00:00
saga
Menjaga Jamur Pelawan, Merawat Tradisi Bangka (Bagian 1)

Jamur pelawan punya jejak mengakar di masyarakat Bangka, menjadi kebanggaan dan identitas

Penulis: Ninik Yuniati, Astri Yuana Sari

Editor: Citra Dyah Prastuti

Google News
Menjaga Jamur Pelawan, Merawat Tradisi Bangka (Bagian 1)
Jamur pelawan hanya bisa tumbuh jika ada inangnya, pohon pelawan. (Foto: dok Desa Wisata Namang).

KBR, Bangka Tengah - Dwi Sanfarlela Putri menceritakan pengalamannya menyantap jamur pelawan yang diolah menjadi lempah, hidangan khas Bangka. Kuahnya gurih mirip gulai karena bersantan.

“Rasanya enak sih, kayak chewy-chewy gitu. Kalau orang-orang bilang, (jamur pelawan) bahkan bisa jadi pengganti daging. Karena rasanya mirip-mirip,” kata Dwi.

Saking istimewanya, sajian ini hanya bisa ditemui di acara-acara spesial, seperti pernikahan.

“Dulu acaranya (pernikahan) adikku atau kakakku, pernah juga pakai jamur pelawan, tapi dicampur. Karena waktu itu agak susah nyarinya,” Dwi bercerita.

Jika kelak menikah, hidangan jamur pelawan harus masuk menu. Demikian harapan Perempuan 31 tahun yang tinggal di Koba, ibukota Bangka Tengah ini.

“Kalau ada rezekinya juga, agak perlu biaya lebih sih,” celetuknya.

Meski tak murah, banyak warga Bangka yang rela menyisihkan dana demi terhidang masakan jamur pelawan.

Itu yang dilakukan Heri Guswandi, untuk acara pernikahannya di 2008 silam.

“Keluarga istri saya dari Surabaya (Jawa Timur). Kata paman istri saya,’coba menunya yang khas itu, jamur pelawan'. Jadi kita bikin jamur pelawan. Kita beli 2,5 kg, harganya Rp1-1,5 juta per kg, (total) Rp3 juta-an lah, sudah mahal (di 2008). Cuma, karena sponsornya banyak, alhamdulillah,” ujarnya sambil terbahak.

Pria 43 tahun ini bilang, hidangan jamur pelawan memang selalu ditunggu para tamu.

“Masyarakat kalau (masakan) jamur pelawan, pasti rebutan makannya. Karena kalau kita mau mencari susah. Kedua, kalau mau beli juga harganya mahal,” tutur warga Koba, Bangka Tengah ini.

Baca juga: Petani Langensari vs PTPN, Potret Kegagalan Reforma Agraria

Jamur Pelawan
Lempah kulat (jamur) pelawan sering disajikan di acara-acara spesial seperti pernikahan. (Foto: dok Planet Plate)

Warga Bangka seperti Heri dan Dwi tak asing dengan jamur pelawan. Jamur ini hanya bisa tumbuh di sekitar pohon pelawan, tanaman khas Bangka.

Karakternya yang unik juga menjadi daya tarik.

Jamur ini tumbuh musiman, paling banter 2 kali setahun. Ada kepercayaan lokal yang meyakini jamur pelawan muncul saat masa pancaroba, pergantian musim kemarau ke penghujan.

Satu lagi, yang wajib ada: petir.

“Dikasih tahu dari kecil, kalau udah ada hari panas, terus turun hujan, petir, 'oh jamur!' Kalau misalkan gak ada hujan petir, gak usah nyari kulat, susah. Sia-sia,” ujar Dwi.

Dwi dan Heri cukup akrab dengan masakan jamur pelawan. Namun, tak sekalipun mereka pernah melihat jamur itu sebelum dipetik.

“Karena memang itu jamur yang dari kecil kita makan, ketika musimnya. Karena memang orangtua dari kecil, lumayan hobi nyari kalau musim jamur. Kalau ikutan nyari, (Dwi) pernah, tapi gak pernah nemu, nge-lihat sendiri,” lanjutnya.

Makin sedikit jamur yang tumbuh, karena hutan-hutan ditebangi.

“Sekarang jamur pelawan kalau di Bangka sini, tergolong langka, gak di semua tempat itu ada. Yang penting dia harus ada pohon pelawannya, baru bisa ada. Dan gak semua daerah itu punya pohon pelawan yang seramai yang kayak di Hutan Pelawan,” ungkap Dwi.

Yang Dwi maksud Hutan Pelawan adalah kawasan lindung yang berada di Desa Namang, sekitar 38 kilometer dari Koba, tempatnya tinggal.

Hutan seluas 47 hektare ini menjadi habitat bagi pohon-pohon pelawan yang tumbuh alami sejak puluhan, bahkan ratusan tahun lalu.

Di dalamnya juga hidup flora fauna endemik, khas Bangka Belitung.

Peraturan Desa (Perdes) yang menyatakan Hutan Pelawan sebagai kawasan lindung.
Peraturan Desa Namang Tahun 2008 (kiri) dan Peraturan Bupati Bangka Tengah Tahun 2013 (kanan). Dua aturan yang menetapkan perlindungan terhadap Hutan Pelawan. (Foto: dok Desa Namang dan Pemkab Bangka Tengah)

Hutan Pelawan ditetapkan sebagai kawasan lindung sejak 2008 melalui peraturan desa (perdes). Inisiatifnya datang dari Kepala Desa Namang, Zaiwan.

Prosesnya tak mudah. Zaiwan banyak ditentang warganya. Pasalnya, di masa itu, tambang timah jadi primadona. Apalagi, sebagian pendapatan asli desa juga bersumber dari tambang.

Mereka demo, rumah-rumah kita ada yang (kena) lemparan batu. Kita dikata bodoh, gila, stres karena mau ngelindungin hutan. Sementara kalau kita tambang uangnya banyak - Kepala Desa Namang, Zaiwan

Zaiwan pernah menambang timah, tetapi memilih berhenti. Tak kuat membayangkan kerusakan yang ditimbulkan.

“Bapak sayang tempat bermain Bapak waktu kecil rusak, jadi kolong dan pasir. Nostalgia Bapak, banyaknya di sini, waktu pulang sekolah. Masih banyak obat-obatan tradisional, lebah-lebah madunya, jamur pelawannya," kata Zaiwan.

"Akhirnya saya berpikir, kalaupun ini seterus digali-gali, akhirnya jadi besar-besar, ya habis lah (hutannya),” imbuhnya.

Pikiran itu kian mengusik ketika ia menjadi Kades Namang periode 2008-2014.

Selama 6 bulan sejak dilantik, Zaiwan didatangi banyak pengusaha tambang. Mereka merayunya dengan uang miliaran rupiah agar mau melepas hutan milik desa.

“Bapak gak mau, Bapak dipanggil lah ke hotel, fee, kompensasi, tanda terima kasih, mau uang berapa, mobil merek apa, mau apartemen di Pangkalpinang? Sampai ke sana mereka nge-rayu Bapak," tutur Zaiwan. 

"Setelah itu Bapak dibawa ke Singapura, seminggu, (oleh) pemodal-pemodalnya itu. Bapak gak tahu juga sih, karena saya berpikir, ini tempat bermain Bapak waktu kecil, itu yang tertuang di pikiran Bapak,” lanjutnya.

Tekad Zaiwan tak luruh menghadapi berbagai tekanan.

Ingatan masa kecil senantiasa memanggilnya kembali ke hutan pelawan. Dulu, ia sering ikut orangtua tinggal di hutan, mengurus kebun.

“Jam 5 pagi, kita sudah siap-siap berangkat ke sekolah menuju Desa Namang. Setelah pulang sekolah, kita mainnya di hutan-hutan ini (hutan pelawan), main dengan monyet, burung pipit," Zaiwan bercerita.

"Akhirnya kami tahu dan kenal seluruh kayu di hutan, lebah-lebah madunya, jamur-jamurnya, mana yang boleh dimakan, mana yang tidak boleh dimakan. Ada binatang-binatang yang khas Bangka belitung,” imbuh dia.

Hutan itu tak hanya tempatnya bermain, tetapi juga sumber penghidupan keluarga, kakek neneknya, bahkan moyangnya dulu, jauh sebelum Indonesia merdeka.

“Di sini, kearifan lokal, mereka melindungi hutan dengan cara 'kelekak', 'kelak untuk ika-ika’, nanti untuk kalian. Kakek saya (bilang) ‘Cu, kalau makan durian, bijinya untuk Kakek ya’, ‘untuk apa, Kek?, ‘Kakek yang nanam durian, nanti hasilnya buat kalian-kalian semua’," kisah Zaiwan.

"Jadi saya merenungkan, betapa mulianya kakek-kakek kami, maka dengan semangat beliau, pokoknya saya harus melindungi, ngikut mereka-mereka itu,” lanjutnya.

Baca juga: Energi Bersih Mikrohidro, Emasnya Batu Sanggan

Zaiwan, Kepala Desa Namang.
Kepala Desa Namang, Zaiwan (Foto: KBR/Astri)

Ari Yanuar Prihatin, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Bangka Tengah, menyambut inisiatif Zaiwan untuk melindungi hutan pelawan.

Pemkab memperkuatnya dengan menetapkan hutan pelawan sebagai Taman Keanekaragaman Hayati (Kehati).

“Beliau (Zaiwan) ingin ini (hutan pelawan) dilestarikan. Karena banyak pohon pelawan yang ditumbuhi jamur pelawan. Saya sangat setuju. Maka kami bersama-sama membawakan ini ke pimpinan, Pak Bupati Bangka Tengah. Dan Pak Bupati menyambut hal ini,” tutur Ari.

Ari sepemikiran dengan Zaiwan. Hutan pelawan harus dilestarikan karena punya jejak kuat dalam sejarah masyarakat Bangka.

“Di Bangka, memang spesial kayu ini. Kayu merah warna kulitnya, ini kayu bahan bakar leluhur kami dulu. Kayu ini juga bisa mendatangkan jamur dan madu. Makanya disebut jamur pelawan dan madu pelawan," ujarnya.

"Di Bangka, pohon ini hampir hilang. Kami coba melestarikan pohon ini di Bangka Tengah. Nanti bisa menjadi bukti bagi masyarakat yang akan datang, orang-orang masa depan itu, bahwa pohon ini dulu menjadi andalan lah, bahan baku utama dalam menyediakan bahan bakar untuk rumah tangga,” jelas Ari.

Sejak menyandang status Taman Kehati pada 2013, hutan pelawan terlindungi dari ancaman alih fungsi menjadi lahan tambang atau perkebunan.

“Lihat aja, kan, sebelahnya itu (hutan pelawan), bekas tambang. Karena dinyatakan kawasan lindung dan hutan Kehati, (masyarakat) nggak berani. Karena masyarakat udah janji, masyarakat yang punya komitmennya. Saya bangga dari mulai awal saya ikut terlibat dalamnya sampai sekarang,” ucap Ari. 

Yang jadi pegangan Pemkab Bangka Tengah untuk menetapkan hutan Pelawan sebagai Taman Kehati adalah penelitian Dian Akbarini bersama Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 2008.

“Pada saat kami penelitian itu hutan pelawan jalannya setapak. Saya pernah jatuh di sungai sama teman saya, naik motor saya jatuh. Makanya, saat hutan pelawan itu sudah bagus, saya ikut bahagia, alhamdulillah,” kata alumni Universitas Padjajaran ini. 

Secara khusus, Dian meneliti jamur pelawan di Hutan Pelawan Namang dan beberapa lokasi lainnya di Bangka Belitung.

“Pohon pelawan itu sebagai spesies kunci. Selain untuk jamur pelawan, nektarnya juga, kan, untuk madu pelawan. Seandainya pelawannya punah maka punah lah sudah makanan untuk lebah, apis dorsata, untuk yang madu pahit yang dibangga-banggakan orang Bangka dari pohon pelawan. Dan juga kita mungkin akan semakin sulit menemukan jamur pelawan itu,” terang Dian. 

Jamur pelawan memiliki karakter khas. Dia tak bisa dibudidaya dan hanya tumbuh jika habitatnya cocok.

“Di (daerah) Trubus, ada pohon pelawan yang sengaja dibudidayakan, tapi jamur pelawannya tidak tumbuh. Saya juga nanam pohon pelawan di rumah 10 tahun usianya, tidak ada tuh jamur pelawan yang tumbuh. Karena berbeda serasahnya (gambut), kurang sepertinya, serasahnya, kelembabannya, ada faktor-faktor pembatas yang lain. Jadi ada faktor iklim mikro yang membatasi tumbuhnya jamur pelawan tersebut,” ungkapnya.

Baca juga: Petani Kopi Jombang Bertahan di Tengah Krisis Iklim

Dian Akbarini, Peneliti Jamur Pelawan.
Dian Akbarini, peneliti jamur pelawan. Penelitiannya bersama IPB dijadikan referensi untuk menetapkan Hutan Pelawan sebagai Taman Keanekaragaman Hayati. (Foto KBR/Astri)

Hutan pelawan di Namang adalah satu dari sedikit habitat yang tersisa, yang bisa ditumbuhi jamur pelawan. Itu sebab, upaya pemerintah desa dan kabupaten melindungi hutan pelawan, dinilai Dian sangat tepat.

“Walaupun di Bangka Belitung banyak hutan pelawan, tapi, kan, yang benar-benar komitmen serius untuk melindungi pohon pelawan itu di Bangka Tengah,” kata Dian.

Dian yang kini menjabat Kepala Dinas Pertanian Bangka Tengah ini bangga dengan langkah Pemkab menetapkan Hutan Pelawan Namang sebagai Taman Kehati. Tidak ada kabupaten lain di Bangka yang melakukannya.

“Saya pernah diprotes salah satu teman saya dari kabupaten lain, karena saya menjadikan (hutan) Pelawan, Taman Kehati, membawa jamur pelawan sebagai ikon kita, madu pelawan sebagai ikonnya Bangka Tengah. Dia (teman) marah-marah, ‘kan lebih banyak di kabupaten kami, daripada di daerah kamu’, ‘ya salah sendiri' saya bilang, 'kita kan peduli kamu enggak’," tutur Dian sembari tertawa.

Sampai hari ini orang tahunya jamur pelawan itu dari Bangka Tengah dan hutan pelawan itu adanya di Bangka Tengah -Dian Akbarini, peneliti jamur pelawan dari Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung

Hal ini juga menunjukkan komitmen pemerintah desa maupun kabupaten terhadap pelestarian kearifan lokal masyarakat Bangka, yang selama bergenerasi hidup bersama hutan pelawan.

Banyak pengetahuan yang terancam hilang, jika hutan-sebagai sumbernya-punah.

Dian mencontohkan bagaimana warga Namang penjaga hutan dengan mudah mengenali jamur beracun.

“Secara teori, kalau yang berwarna menyala, kan, berbahaya, beracun katanya, tapi ternyata kulat pelawan itu tidak beracun. Bagaimana sih ini beracun atau tidak beracun? tinggal dibalik, kita pegang belakangnya (tubuh jamur) itu, kalau dia biru itu beracun, tidak boleh dimakan. Tapi kulat pelawan kita pegang, tidak ada tuh warna biru-birunya, tetap saja dia putih, makanya dia bisa dimakan. Nah itu kan pengetahuan lokal masyarakat yang dilestarikan dan itu kita manfaatkan,” Dian menjelaskan. 

Jamur pelawan juga menyisakan misteri pengetahuan untuk diungkap. Salah satu yang menarik adalah kepercayaan bahwa petir, merupakan prasyarat munculnya jamur pelawan.

Meski belum terbukti secara ilmiah, Dian menduga ada relasi antarkeduanya.

“Kalau secara fisiologisnya, jamur itu tumbuhnya-kalau kita lihat hasil penelitian- dia membutuhkan intensitas cahaya matahari yang lama kemudian harus ada kelembaban, kemudian harus ada petirnya itu kan sebagai fiksasi nitrogenis. Itu yang memicu tubuh buahnya tumbuh,” tutur dia. 

Hutan Pelawan, Desa Namang, Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung.
Suasana Hutan Pelawan di Desa Namang, Bangka Tengah. Hutan ini dijadikan obyek wisata, tetapi kini sepi, terdampak pandemi Covid-19 dan rusaknya sejumlah fasilitas seperti jembatan. (Foto: KBR/Astri)

Kearifan lokal jamur pelawan juga diajarkan lewat cerita rakyat. Kepala Desa Namang, Zaiwan, sering mendengarnya dari orangtua maupun kakek neneknya. Selain pengetahuan, ada nilai-nilai budaya yang ingin diajarkan melalui cerita tersebut.

Konon, di sebuah kerajaan di kahyangan, ada panglima menghadap raja, meminta izin turun ke bumi karena tertarik melihat pesta kembang api. Ada pula cerita bahwa pesta kembang api yang dimaksud adalah kilatan petir. Raja tidak memberi izin, meski beberapa kali dilobi. Akhirnya, panglima nekat ke bumi, bersama pasukannya.

"Dikutuklah (oleh) raja, katanya, ‘kalau kalian pergi ke bumi, menyaksikan pesta kembang api, kalian tidak kembali lagi. Kalian akan dimakan makhluk-makhluk di bumi, dan umur kalian pun hanya 10 hari’. Rupanya kita kaitkan dengan cerita-cerita moyang kita, memang benar,” tutur Zaiwan mengisahkan. 

Zaiwan tak sendiri. Generasi muda Desa Namang siap melanjutkan perjuangan melindungi hutan pelawan. Sabta Eka (35 tahun), salah satu yang menyatakan komitmennya.

“Di Bangka Belitung hanya Namang yang melindungi hutan pelawan. Kami apresiasi setinggi-tingginya ke Pak Zaiwan, mengajak kita semua masyarakat untuk melindungi hutan pelawan,” kata Eka.

Bagi Eka, menjaga hutan pelawan sama dengan menjaga identitas Desa Namang.

“Kalau hilang hutannya, gak terawat lagi, pasti identitas (desa) hilang,” ujar bapak satu anak ini. 

Rasa bangga juga terpancar dari Dwi Sanfarlela Putri, warga Koba, Bangka Tengah, ketika membincangkan hutan pelawan. Menurut perempuan 31 tahun ini, hutan pelawan harus dilestarikan.

“Karena gak semua orang bisa makan kulat pelawan. Karena kita punya hutan pelawan, pohon pelawan, kita bisa makan jamur pelawan. Karena memang pelawan, kan, endemiknya di Bangka Belitung. Saya selaku penyuka kulat pelawan, dan sayang kalau kulat pelawan itu gak ada,” ujar Dwi. 

Liputan ini didukung oleh cXc Climate Culture Story Grant 2025

Penulis: Ninik & Astri 

Editor: Citra DP

Bangka Tengah
jamur pelawan
Hutan Pelawan
keanekaragaman hayati

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...