"Ini bukan program, tapi proyek MBG, karena syarat, prosedurnya susah" (Hermawati Setyoriny - Ketua Asosiasi IUMKM Indonesia)
Penulis: Sindu, Ninik Yuniati, Astri Yuana Sari
Editor: Malika

KBR, Jakarta- Selepas Subuh, aktivitas di sentra produksi tempe “Pandawa” mulai menggeliat. Aroma kedelai rebus menyeruak dari dapur milik Tauhid yang berada di belakang rumahnya di Mancilan, Desa Kauman, Jombang, Jawa Timur.
Di bangunan semi permanen berukuran 6x7 m, beratapkan asbes itu, lima karyawan berbagi tugas. Ada yang mencuci kedelai, merebusnya, menabur ragi, hingga memotong tempe-tempe yang sudah jadi.
Dulu aktivitas bergulir mulai jam 7 pagi. Namun, per September lalu, mereka bekerja tiga jam lebih awal. Tepatnya sejak tempe “Pandawa” menjadi pemasok dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) di SPPG Tiga Saudara, Kecamatan Sumobito.
“Teman-teman (bilang), setengah ngiri, kok bisa masuk situ?, iya. Lho saya kalau enggak kerja sama, ya, enggak bisa," ujar Tauhid saat ditemui KBR di rumahnya, MInggu (12/10/2025)
"Kerja sama itu harus ada. Nek gak ngono yo, podo mangan,” imbuh Tauhid sembari terkekeh.
SPPG Tiga Saudara melayani 3.900 MBG per hari untuk 36 sekolah, dari PAUD hingga SMA, di Kecamatan Sumobito.

Tauhid terbilang beruntung karena bisa mengakses dapur MBG. Ia punya kerabat di SPPG Tiga Saudara, namanya Nuryatul, yang menjabat asisten lapangan.
“Saya sebagai aslap (asisten lapangan), harus tahu produk, untuk kebutuhan bahan baku, kan, saya harus memastikan dulu, karena apa? Jika terjadi kesalahan pemilihan produk, itu efeknya ke mana-mana.”
Meski punya koneksi, Tauhid tetap harus bersaing dengan empat perajin tempe lain. Standar yang diminta dapur MBG pun cukup ketat.
“Saya mintanya tempe yang murni, benar-benar dari kedelainya, tanpa kulitnya. Kan dimakan anak-anak sendiri. Soalnya anak saya juga makan begini, senengannya (kesukaannya) tempe. Kalau terlalu banyak campuran, kandungan gizinya juga berkurang.”
Berkali-kali Tauhid memperbaiki tempe buatannya agar sesuai standar dapur. Ia juga wajib melengkapi syarat administrasi seperti Nomor Induk Berusaha (NIB) dan sertifikasi halal.
“Pertamanya itu minta contoh dulu, diajukan ke sana (SPPG). Terus ganti baru lagi, ganti lagi, ganti lagi, ada empat atau lima kali (ganti sampel). Jadi, akhirnya itu mempunyai keputusan ini ketemunya," papar Tauhid.
Baca juga: Ancaman Bahaya Lemak Trans di Makan Bergizi Gratis

Kini, dua kali seminggu, Tauhid mengirim 280 papan tempe ke SPPG Tiga Saudara. Tempe berukuran 40 x 10 cm yang dibanderol Rp7.500 per papan.
Dari MBG, ia mengantongi sekitar Rp2 juta saban pekan. Tambahan pendapatan, penyelamat usaha mikronya di tengah ekonomi yang tengah merosot.
“Alhamdulillah sekarang ini jualan itu semua menurun, enggak sayur, enggak pedagang lainnya, itu menurun, drastis, hampir 3/4. Saya biasanya 2 kuintal, bisa 1,5 kuintal, saat ini,"
"Saya alhamdulillah ketolong, ini dapur. Jadi bisa pakai untuk nutup lobangnya pasar itu. Kalau enggak begitu, waduh saya sendiri pusing.”
Tauhid ingin memasok lebih banyak dapur MBG. Karenanya ia turun langsung mengawal proses produksi. Selain itu, ada rencana menambah alat press plastik kemasan, agar kualitas tempe Pandawa meningkat.
“Makanya, kadang-kadang saya kontrol, 'hei, kurang ini, kurang ini', gitu saya. Kalau (untuk) pasar, saya lepas, pasrah anak-anak (pekerja). Kalau ini (SPPG), dikawal. Jadi lebih berhati-hati, lebih berat ini, dapur daripada pasar. Jadi, kita juga benar-benar menjaga kualitasnya, kalau dapur," katanya kepada KBR, Minggu,(12/10/2025).
Namun, tak banyak usaha mikro sesukses Tauhid. Ada cerita lain yang mengungkap fakta sebaliknya. Salah satunya diungkapkan Ketua Asosiasi IUMKM Indonesia (Akumandiri) Hermawati Setyorinny.
Rini, demikian ia biasa dipanggil, mengeluh betapa sulitnya usaha mikro menembus dapur MBG. Tak sampai 10 persen dari total 500 ribu anggota Akumandiri yang masuk rantai pasok MBG. Mereka yang berhasil pun harus susah-payah berjuang sendiri.
Rini mencontohkan kisah peternak anggota Akumandiri yang sukses menjadi pemasok telur untuk dapur MBG di Jawa Timur.
“Dia nongkrong sebelum dapur dibuat, ngobrol dulu sama tukangnya, terus akhirnya dengan mandornya. Pas yang punya (pemilik) itu survei, nge-cek, terus dikenalin. Dan itu (prosesnya) berhari-hari, berbulan-bulan, lho," kata Rini saat dihubungi KBR, Jumat (14/11/2025).
Rini lebih banyak mendengar cerita gagal ketimbang berhasil. Usaha mikro makin tersingkir, kontras dengan klaim pemerintah.
“Mereka (dapur MBG) kayaknya udah punya pemasok. Ini sebenarnya bukan program ya, proyek, proyek MBG karena, ya, memang syarat prosedurnya pasti susah.”
Produk petani, pekebun, nelayan, hingga pedagang kecil diserap dapur MBG, tetapi lewat tengkulak. Daya tawar mereka kian rendah imbas melimpahnya barang impor.
“Malah beberapa petani, harganya jadi anjlok. Karena sudah ada pemasok, berarti pasar, kan, sepi, tuh. Nah, berarti pembeli atau tengkulak itu membelinya pasti dengan harga yang tidak masuk akal, lebih rendah lagi.”

Aturan tak jelas
Rini menyebut soal aturan yang dipakai jadi biang kerok tersisihnya pelaku usaha mikro dalam proyek MBG.
Pemerintah, kata dia, mengacu pada PP 7 tahun 2021.
Dalam aturan yang dikenal dengan PP UMKM itu, usaha mikro yang dimaksud adalah jenis usaha beromset paling tinggi Rp2 miliar.
Sementara kata Rini, UU UMKM memberikan batas omset Rp300 juta untuk kategori usaha mikro.
“Padahal kalau omset Rp2 M setahun itu, kan, pasti dia udah secara SDM-nya, secara teknologinya, segala macamnya, keuangannya, kan, berarti udah stabil. Dia yang akan lebih mendapatkan manfaat dari program pemerintah, meskipun dia akan (bilang), lho ini semua bisa dapat gitu.”
Rini sudah berulang kali mengangkat persoalan ini di berbagai forum. Termasuk saat bertemu unsur penyelenggara negara, seperti BGN, Kementerian UMKM, hingga Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
“Hampir mau 2 jamlah kita ngomong, tetapi ya Pak Wapres gitu aja. Oh iya, iya, iya, gitulah. Pak Gibran (bilang) ini lagi dikaji, kita perbaiki dulu, udah gitu aja. Terus stafnya yang suruh ngomong, tetapi itu pun sebentar.”
Rini frustasi karena merasa suaranya tak pernah didengar pembuat kebijakan.
“Sedih sih, aku sampai apatis lho, kayaknya aku teriak sendirian,"
“Itulah Indonesia Raya yang kita cintai. Memang susah. Nah, hanya saja saya berharap sebenarnya, tolong dong buktinya kalau memang pelaku usaha mikro itu terlibat, mana? Terus kemudahannya bagaimana?”
Rini mengamini proyek MBG berpotensi besar mendongkrak ekonomi mikro, asal ketat diawasi. Ia juga mendukung ada aturan yang mewajibkan dapur bermitra dengan usaha mikro lokal.
“Benar nggak? ada penyuplai dari pelaku usaha mikronya, datanya mana, di-crosscheck harusnya gitu. Paling nggak 40% lah, penyuplai itu harus mikro,"
"Terus mungkin ada, oke nanti bergantian dengan UMKM lain, 3 bulan ke depan misalnya, dan atau, 'dan atau', kan, bisa tetap, bisa berubah, nah itu kayaknya yang harus dilakukan negara. Karena kalau nggak ada regulasinya, mereka (akan bilang), kan nggak wajib'.”

Sulit menakar dampak MBG ke usaha mikro. Minim data yang bisa dibaca. Badan Gizi Nasional (BGN) mengklaim 13.850-an UMKM sudah masuk rantai pasok MBG, tanpa memerinci berapa jumlah usaha mikro di dalamnya.
Setali tiga uang dengan Kementerian UMKM.
"Saya tidak dapat gambaran apakah itu mikro, kecil menengahnya, tetapi saya bisa mengatakan bahwa majority-nya itu adalah mikro. Kalau pakai standarnya klasifikasi kita," ujar Deputi bidang Usaha Mikro Kementerian UMKM, M Riza Damanik, saat diwawancarai KBR, Sabtu (15/11/2025).
Standar usaha mikro yang Riza maksud merujuk ke PP Nomor 7, yakni usaha dengan omset maksimal Rp2 miliar –aturan yang dipersoalkan Akumandiri, karena bertentangan dengan UU UMKM yang membatasi omset usaha mikro maksimal Rp300 juta.
"Jadi, tidak lagi melihat sektornya, tetapi melihat ini sebagai unit usaha. Dari perbankan juga punya concern. Mereka juga melihat bagaimana ini kalau dia sampai ke Rp2 miliar, apakah masih bisa dibilang mikro?"
Riza mengakui perbedaan aturan itu memicu perdebatan.
“Pak Menteri (UMKM) kemarin sudah juga menyampaikan untuk ini dibicarakan, untuk disegerakan. Ya, mudah-mudahan nanti ini bisa melahirkan satu konsensus, ya. Satu kebijakan yang lebih baik lagi pengaturan UMKM kita."
Akses yang adil
Persoalan lain yang meresahkan adalah keadilan akses ke rantai pasok MBG. Hasil identifikasi Ombudsman menguak potensi afiliasi sejumlah yayasan dengan jejaring partai politik.
Temuan Transparency International Indonesia (TII) juga mengungkap keistimewaan yang diberikan kepada TNI/Polri dalam mengelola dapur MBG. Dua institusi itu boleh mengelola 15 dapur, sedangkan penyelenggara sipil dibatasi 10 dapur.
Praktik ini mempersempit akses pengusaha mikro masuk rantai pasok MBG. Faktor kedekatan dan afiliasi menjadi penentu.
Deputi di Kementerian UMKM Riza Damanik enggan mengomentari berbagai temuan ini. Meski begitu, ia tak menampik di sejumlah kasus, ada pihak-pihak yang semata ingin mengeruk untung dari MBG.
“Ada orang-orang yang memanfaatkan pemberian izin-izin di tahap awal itu justru tidak dieksekusi. Yang pada akhirnya mengganggu terwujudnya dapur di seluruh Indonesia.”
"Misalnya, ada satu orang dapat permit-nya, dia sudah nge-tag di 15 titik. Lalu, terhadap 15 titik ini, ternyata kapasitas modalnya hanya untuk satu titik. Ke mana 14 titik lainnya? 14 titik lainnya itu dijaja-jajakanlah ke orang-orang lain."
Riza mengklaim persoalan ini sudah ditindaklanjuti.
“Badan Gizi Nasional sudah melakukan upaya-upaya luar biasa, dengan melakukan evaluasi izin-izin yang sudah diberikan atau kepada calon-calon pengelola dapur, bahkan sudah melakukan pembekuan, pencabutan terhadap yang existing, kalau memang mereka tidak benar melakukan pengelolaan, lalu di saat yang sama, mereka-mereka yang belum, dan sungguh-sungguh ingin mengelola, itu sudah diberikan kesempatan.”
Baca juga: Petaka Keracunan Makan Bergizi Gratis
Persoalan berikutnya yang menghambat usaha mikro masuk ke MBG adalah banjir produk pangan impor. Misalnya, susu, bawang putih, dan buah-buahan. Masalah itu jadi sorotan Akumandiri dan INDEF.
Namun, Riza masih yakin saat ini mayoritas bahan baku MBG adalah produk lokal.
“Dalam pengamatan kami, mayoritas itu adalah produk-produk dalam negeri, kalaupun ada yang masih dari luar, ya ini PR kita. Kami sedang mengerjakan penguatan kapasitas UMKM kita, dalam kerangka itu, memastikan agar semakin siap."
Penggunaan produk pangan lokal, kata Riza, terus didorong Kementerian UMKM. Dapur MBG yang punya komposisi produk lokal 80 persen bakal diberi label dapur ramah UMKM. Dua syarat lain yang harus dipenuhi dapur adalah sertifikasi dan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan.
“Yang kedua adalah mereka telah memiliki sertifikasi kesehatan atas kegiatan operasionalisasi dapurnya. Dan yang ketiga adalah mereka memberikan perlindungan sosial kepada pekerjanya (BPJS-Ketenagakerjaan)."
Dapur ramah UMKM digagas di lima wilayah, di antaranya di Cileunyi, Tangerang, Kabupaten Bandung, dan Makassar. Dapur dengan label ramah UMKM bakal mendapat insentif seperti akses permodalan.
Riza bilang, upaya meningkatkan kualitas dan daya saing UMKM juga terus digenjot agar bisa menjadi pemain utama di ekosistem MBG.
"Kami sangat menganjurkan di tiap-tiap daerah, dibangunlah kluster-kluster ekonomi berbasis komunitas pangan. Semisal untuk kluster ayam petelur, dibangunlah dalam satu ekosistem. Cabai misalnya atau sayuran atau buah-buahan dibangunlah dalam satu kluster."
"Jangan lagi sendiri-sendiri, (karena) selain ongkos produksinya menjadi mahal, di saat yang sama juga akan menyulitkan saudara-saudara untuk bisa mendapatkan akses pasar yang berkelanjutan. Termasuk masuk ke MBG."
Urai kemampetan
Mampetnya akses usaha mikro ke Proyek MBG menjadi catatan ekonom INDEF Rizal Taufikurahman.
“Berarti masih ada barrier to entry ke program ini. Itu yang harus diurai. Apakah karena standarnya, atau apakah secara administrasinya, tendernya, sehingga orang yang di lembaga-lembaga mikro tadi nggak bisa masuk, atau memang standarnya, juklak-juknisnya yang belum tersosialisasi,” tutur Rizal, Rabu, (12/11/2025).
Persoalan ini harus diselesaikan lintas kementerian. Pemerintah mesti putar otak bagaimana usaha mikro dapat masuk ekosistem MBG. Perbaikan tata kelola MBG juga tak bisa lagi ditawar. Sulitnya akses usaha mikro, keracunan massal, hingga rendahnya serapan anggaran adalah dampak dari tata kelola yang buruk.
"Tantangan utama MBG ini bukan urusan dana, tetapi kesiapan ekosistem mikro. Bayangkan uang Rp117 triliun dikembalikan, sebagian (oleh BGN), wong K/L lain justru nyari dana. Ini dikembalikan. Artinya apa? Kesiapan. Dalam konteks ekosistem MBG, untuk menyerap, dan melibatkan level mikro itu, (soal) PIRT, bahkan 70% mikro di sektor pangan itu belum bersertifikat."
Ke depan, perlu aturan yang mewajibkan dapur MBG menyerap produk pangan lokal. Inisiatif ini bisa membuka akses usaha mikro di ekosistem MBG. Dampak berantai ke ekonomi nasional juga bakal lebih besar.
"Supaya terlibat bagaimana, kenapa lambat keterlibatannya. Jangan-jangan selama ini secara prosedural, kita menomorduakan UMKM, misalnya. Karena memang susah. Persyaratannya juga cukup sulit untuk diakses oleh mikro maupun UMKM tertentu. Yang banyak, kan, yayasan, juga perusahaan-perusahaan tertentu, yang notabene mereka banyak padat modal juga," pungkasnya.
Penulis: Sindu, Ninik Yuniati, Astri Yuana Sari
Editor: Malika









