"Terapi konversi adalah bentuk penyiksaan, penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia karena ada upaya paksa" (Dahlia Madanih - Komnas Perempuan)
Penulis: Ninik Yuniati, Heru Haetami, Astri Yuana Sari
Editor: Malika

KBR, Jakarta - Suatu siang di akhir Oktober 2025, Ocha dihampiri rekannya, sesama transpuan di Bekasi, Jawa Barat.
“’Ada acara, Mak’, di mana? ‘di sini, di sini, di sini’. Acara apa? ‘kita cuma dengerin ceramah,’,” kata Ocha menirukan kalimat rekannya.
Tak ada informasi lain. Ocha menerima ajakan itu karena ada uang pengganti transportasi sebesar Rp100 ribu
Lumayan, pikirnya, ia tak perlu ngamen di hari itu.
Biasanya, Ocha harus ngamen seharian, berjalan berkilo-kilo meter, menyusuri gang-gang sempit, demi Rp60 ribu.
Lagipula, mendengarkan ceramah, apa salahnya?
“Kalau di tempat saya dulu pernah ada (pengajian). Jadi saya mengadakan itu rutin pengajian untuk teman-teman trans (transpuan) dulu. Kalau pengajian saya menikmati.”
Akhirnya, Rabu, 5 November pagi, Ocha datang ke lokasi acara di Aula Garuda BBLK Cevest, Bekasi.
“Nah, pas sampai, kok MUI.”
Ocha mulai resah. Kegiatan itu digelar Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bekasi. Judulnya “Sarasehan Pencegahan LGBT Berbasis Nilai Keagamaan dan Kebangsaan”.
Ada dua ratusan peserta dari komunitas ragam gender. Sebagian Ocha kenal.
Ia memilih duduk di deretan kursi tengah.
Acara pun dimulai. Semua mata tertuju ke panggung. Panitia dan tokoh-tokoh MUI silih berganti memberikan sambutan.
Banyak perkataan yang menyudutkan LGBTIQ+. Misalnya yang diutarakan Ketua MUI Kota Bekasi Saifuddin Siroj.
"Saya bertanya, memang ada di Kota Bekasi, LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender)? Karena Bekasi ini kota agamis lho, kayaknya kok enggak nyambung otak saya kalau ada LGBT di Kota Bekasi," kata Saifuddin.
Ocha makin gelisah.
“Yang dibahas tuh mengenai transgender, udah nggak nyaman di situ.”
Banyak peserta terlihat menunduk, menggoyang-goyangkan kaki, mengetik pesan di ponsel, ada juga yang bermain gim.

Dipaksa naik panggung
Puncaknya saat salah satu pembicara, Ulfiah, Guru Besar Fakultas Psikologi di UIN Bandung, memaksa seorang transpuan naik ke panggung.
Pembicara melemparkan pertanyaan dan komentar yang memojokkan si transpuan.
"Njenengan sudah nikah tho? (anda sudah menikah, kan?)."
"Dereng (belum)? Umur-e pinten? (Umurnya berapa?) 45?"
"(Umur) 45 belum nikah, mudah-mudahan cepat nikah, dapat istri."
"Karena 'mas' berarti dapat istri."
"Semoga Allah mengampuni dan Allah memberkati kehidupan panjenengan (anda)."
Ulfiah kemudian menyuruh transpuan itu memimpin selawatan.
Ocha yang menyaksikan dari bangku tengah, miris.
“Kok makin seperti ini. Saya pikir, kan, narasumbernya dari mereka (MUI), kita hanya mendengarkan. Ternyata kok dari peserta atau undangan yang datang.”
“Saya pernah denger, katanya di Kota Bekasi, waria mau direhabilitasi lah, apa lah. Apa mungkin ini awalnya?”
Belum puas, Ulfiah, kembali memaksa dua transpuan naik ke panggung. Ocha salah satunya.
Ocha sempat menolak permintaan itu, tetapi ia didesak maju. Di panggung, ia pun dicecar.
“(Sudah menikah?) Belum pernah.”
“(KTP Islam?) Islam.”
“(Kenapa tertariknya sama laki-laki, tidak sama perempuan?) Ya, enggak tahu, dari kecil."
Lebih dari 20 menit, Ocha dan rekannya di atas panggung, dipaksa selawatan, dihakimi menyimpang dan menyalahi kodrat.
Baca juga: MUI Kota Bekasi Dinilai Diskriminatif terhadap Ragam Gender

Diprotes
Iyan Rama dari Focal Point Inti Muda Jawa Barat maju mengajukan protes. Ia mengecam aksi pemanggilan paksa tiga transpuan ke panggung.
“Ini framing yang kurang elok bagi teman-teman. Ini sama saja mengeksploitasi teman-teman dong, buat apa naikkin teman-teman ke atas?,” kata Iyan disambut gemuruh tepuk tangan dari peserta.
Menurut Iyan, acara berjalan tidak sesuai konsep awal hasil obrolan dengan MUI beberapa bulan sebelumnya.
“Mereka (MUI) bilangnya ini acara saling tabayun satu sama lain antara teman-teman komunitas dan juga pemangku keagamaan lah ya istilahnya, para alim ulama, untuk mengenal lebih dekat bagaimana sebenarnya situasi yang terjadi dengan teman-teman LGBT di Kota Bekasi,” ujar Iyan saat diwawancarai KBR.
Judul sarasehan pun sudah diminta untuk diganti, tetapi tidak digubris.
“Sebenarnya teman-teman (komunitas) berharap acara kemarin itu akan berdampak sangat baik bagi keberlangsungan teman-teman di masa yang akan datang. Apalagi MUI ini bisa dibilang satu majelis keagamaan yang cukup besar. Jadi harapannya bisa nge-counter berita-berita negatif yang beredar di luar terkait isu HIV ataupun teman-teman LGBT yang ada di Kota Bekasi,” imbuh pegiat HIV/AIDS di Kota Bekasi ini.
Harapan itu pupus seiring berjalannya sarasehan. Apalagi ketika masuk sesi presentasi dari pembicara.
Iyan melihat satu persatu peserta keluar ruangan. Mereka makin cemas karena masih ada agenda hipnoterapi di akhir sarasehan.
“Rame banget itu di WA, 'aduh ini udah ditunjuk-tunjuk, kita mau diapain, nih? Apalagi nanti ada hipnoterapi apakah kita nanti dipajang di depan terus kemudian di-hipnoterapi bareng-bareng secara massal ditontonin orang apa gimana, nih?',” tutur Iyan menirukan percakapan di grup WhatsApp.
Hipnoterapi kerap digunakan sebagai terapi konversi, untuk memaksa seseorang mengubah orientasi seksualnya. Praktik ini dapat menimbulkan penderitaan fisik maupun psikologis serta merendahkan martabat manusia.
Kontroversi konversi
Usai Iyan Rama menyampaikan protes, beberapa orang juga menyuarakan kritik serupa.
Situasi di Aula Garuda BBLK Cevest makin tak kondusif.
Sesi hipnoterapi batal.
Ketua MUI Saifuddin Siroj dalam pidato penutup, mengklaim aksi pemanggilan transpuan ke panggung adalah inisiatif pribadi pembicara.
“Saya menyayangkan itu, tetapi saya juga mengatakan ini beliau kayaknya tidak sengaja. Terjadi spontanitas kayaknya itu,” kata Saifuddin saat diwawancarai KBR usai acara.
Dia tak menyinggung sesi hipnoterapi yang akhirnya batal.
Sarasehan MUI Kota Bekasi dikritik Wakil Ketua Komnas Perempuan, Dahlia Madanih. Acara itu, menurutnya, adalah bentuk kekerasan berbasis gender.
“Seharusnya MUI memberikan perlindungan termasuk perlindungan hak konstitusional warga negara. Misalnya hak untuk tidak didiskriminasi. MUI sebagai lembaga, organisasi itu terikat dengan pasal-pasal yang diwajibkan dimandatkan konstitusi,” ujar Dahlia.
Tindakan memaksa transpuan naik ke panggung, mencecar, dan membuka identitasnya, bisa menguatkan stigma terhadap kelompok minoritas gender.
“Kalau dia dibuka di depan umum dan diminta, dipaksa untuk menceritakan, itu akan berdampak pada, mungkin potensi kekerasan lanjutan. Jadi dia mungkin dikenal terus nanti akan ada ancaman-ancaman atau malah justru stigma semakin kuat pada kelompok ini,”
Komnas Perempuan juga mendesak praktik-praktik seperti ini dihentikan, termasuk terapi konversi.
Pemerintah daerah selaku perwakilan negara semestinya menjamin penegakan HAM, bukan malah mendukung atau memfasilitasi pelanggaran HAM.
“Terapi konversi adalah salah satu bentuk penyiksaan, bentuk penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi, unsurnya adalah merendahkan martabat kemanusiaan. Karena ada upaya paksa dan dia bisa berdampak panjang pada trauma, pada depresi atau situasi yang sebetulnya dia tidak inginkan," jelas Dahlia.
"Dampak yang bisa dialami itu bisa sampai bunuh diri karena mungkin kekerasan yang berlangsung tidak hanya sekali biasanya,” lanjutnya.
Sia-sia
Ocha menebak-nebak seperti apa sesi hipnoterapi jika tetap digelar di sarasehan yang diikutinya itu.
“Mungkin kita semacam dihipnotis, terus didengar omong-omongan dia, atau dengan baca-bacaan dia. Atau mungkin kita disuruh melafaz ayat-ayat itu, kayak di-rukyah-rukyah gitu,” ujar Ocha.
Ocha sendiri belum pernah menjalani terapi konversi, dan bakal tegas menolaknya.
“Saya beranggapan itu sia-sia. Kalau misalkan sampai terjadi hipnoterapi (di Sarasehan), saya keluar. Karena saya seperti ini dari kecil, ya udah seperti ini, nggak bisa orang lain mengubah saya, nggak bisa,”
Transpuan berusia 50 tahun ini sering mendengar cerita sedih korban terapi konversi.
“Ada orang menyuruh dia untuk sadar atau untuk tobat. Oke mereka bisa ikut apa kata orang itu untuk sadar atau tobat. Tetapi tiba-tiba nanti dua bulan, tiga bulan atau enam bulan kemudian, dia pasti akan kembali lagi,”
Ada juga rekannya yang mencoba konversi dengan cara menikah. Gagal dan malah menciptakan dampak berantai.
“Dia mungkin pengin berubah, untuk orang tuanya kalau dia tuh bisa (berubah). Akhirnya dia nikah dengan perempuan. Ternyata sebulan, dua bulan cerai lagi,”
“Makanya karena saya memang nggak suka perempuan, daripada saya nanti menyiksa perempuan itu, menzalimi perempuan itu, mending saya nggak usah. Jadi kalau kayak gitu, kita, kan, sudah berdosa dengan dia, berdosa dengan diri kita sendiri,”
Di usia paruh baya, keinginan Ocha sederhana saja. Dia ingin menjalani hidup tenang. Diterima keluarga dan lingkungan sekitar, serta punya cukup tabungan untuk hari tua. Yang penting, tak merugikan orang lain.
Penulis: Ninik Yuniati, Heru Haetami, Astri Yuana Sari
Editor: Malika





