ragam
Trauma Healing Pascabencana, Kapan dan Kenapa Diperlukan?

“Trauma healing bukan sekadar hiburan setelah bencana. Ia butuh waktu, sesi berkelanjutan, dan pendekatan mendalam.”

Penulis: Khalisha Putri

Editor: Wydia Angga

Google News
Trauma Healing Pascabencana, Kapan dan Kenapa Diperlukan?
Foto: Tim Psikologi Polda Metro Jaya bersama jajaran Polwan Polres Metro Bekasi menggelar kegiatan Trauma Healing bagi ibu-ibu dan anak-anak korban banjir di Desa Sukamekar, Kecamatan Tambelang, Kabupaten Bekasi pada Kamis (10/7/2025). Sumber: tribratanew

KBR, Jakarta – Dampak bencana tak hanya merusak fisik bangunan rumah, gedung atau infrastruktur lain, tetapi juga berpotensi merusak mental korban. Menurut Feka Angge Pramita dari Ikatan Psikolog Klinis Indonesia, aspek psikologis perlu menjadi perhatian sejak awal guna mencegah dampak jangka panjang terhadap korban.

“Banyak reaksi emosi psikologis yang muncul. Seringkali orang mengalami shock atau kaget, dan hal ini perlu segera ditangani,” kata Feka kepada KBR, Selasa (15/7/202).

Reaksi yang muncul bisa sangat bervariasi. Ada yang menangis terus-menerus, bengong, atau terlihat tidak sadar penuh terhadap kondisi sekitarnya.

“Mereka seolah-olah tidak bisa grounded, tidak bisa relate lagi terhadap situasi. Dalam situasi seperti ini, pendampingan emosional sangat diperlukan, selain tentunya penanganan medis dari psikiater jika dibutuhkan,” ujarnya.

Istilah "Trauma HealingTidak Selalu Tepat Digunakan

Istilah "trauma healing" familiar digunakan untuk merujuk pada pemulihan psikologis pascabencana. Namun, menurut Feka, istilah itu tidak selalu tepat.

“Trauma healing itu butuh beberapa kali sesi, pendekatan yang lebih mendalam dan waktu yang lama. Jadi istilah itu kurang pas bila dipakai untuk kegiatan segera setelah bencana,” jelasnya.

Menurutnya, pendekatan yang lebih sesuai pada fase awal bencana adalah stabilisasi emosi. Tujuannya untuk menenangkan korban agar bisa kembali merasa aman secara perlahan.

Proses pemulihan psikologis perlu waktu dan berkelanjutan, tidak bisa dilakukan dalam satu sesi atau sekali kunjungan saja.

“Kalau dalam ruang praktik, saya bantu korban trauma itu bisa sampai enam bulan pertama setelah kejadian. Tidak cukup kalau cuma sekali main atau hiburan saja,” katanya.

Para pemangku kepentingan perlu memikirkan strategi pemulihan yang tepat dan berkelanjutan.

Penuhi Dulu Kebutuhan Dasar

Feka menekankan bahwa sebelum intervensi psikologis dilakukan, kebutuhan dasar korban harus dipenuhi. Mereka perlu lebih dulu merasa aman secara fisik dan psikis. 

“Kita tidak bisa langsung minta korban untuk ‘tenang, Bu, tarik napas’ begitu saja. Langkah awalnya adalah memberikan makanan, minuman, tempat istirahat—karena tubuh mereka perlu sinyal bahwa situasi sudah aman,” terangnya.

Setelah korban merasa lebih nyaman, pendekatan psikologis lanjutan seperti bercerita atau konseling bisa dilakukan. 

Semua Kelompok Usia Butuh Pendampingan Emosional

Penanganan psikologis pascabencana tidak hanya ditujukan untuk anak-anak, melainkan juga orang dewasa, lansia, ibu hamil, hingga petugas lapangan. Semua yang terdampak berpotensi mengalami tekanan mental.

“Bahkan petugas seperti polisi, tentara, dokter pun penting mendapatkan pendampingan emosional,” kata Feka.

red

Foto: Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Polda NTB) melalui Bagian Psikologi Biro SDM menggelar kegiatan pendampingan psikologi dan trauma healing untuk anak-anak di Kecamatan Sandubaya, Kota Mataram pada Rabu (9/7/2025). Sumber: tribratanews.ntb.polri.go.id

Ragam Bentuk Konseling

Konseling tidak melulu harus berbentuk percakapan formal. Dalam banyak kasus, aktivitas menggambar, bermain, atau kegiatan seni lainnya bisa menjadi metode awal yang efektif.

“Intinya membuat korban lebih rileks dulu,” jelasnya.

Setelah emosi korban stabil, bisa dilanjutkan pendekatan personal. 

“Yang paling penting adalah korban diajak bicara satu per satu, dalam setting individual, agar bisa benar-benar mengungkapkan apa yang mereka rasakan,” kata Feka.

Perencanaan Jangka Panjang Jadi Kunci 

Proses pemulihan psikologis pascabencana kerap terganggu situasi di lapangan, misalnya kacaunya koordinasi antarinstansi atau relawan soal distribusi bantuan.  

"Sering kali satu titik dapat bantuan terus-menerus, tapi titik lain terabaikan. Termasuk dalam bantuan psikologis,” kata Feka.

Layanan psikologis yang merata dan berkesinambungan harus masuk dalam mitigasi bencana sejak awal.

red

Foto: Warga menggendong anak saat melintasi banjir di kawasan Kekalik Jaya, Mataram, NTB, Minggu (6/7/2025). Sumber: ANTARA FOTO

Masyarakat Tidak Perlu Ragu Mencari Bantuan Psikologis

Individu terdampak bencana diminta jangan ragu meminta bantuan psikologis, terutama bila gejala trauma masih muncul setelah kembali ke rutinitas. 

“Kalau ada ingatan yang mengganggu aktivitas sehari-hari, atau muncul emosi negatif berulang, jangan ragu cari bantuan. Psikolog klinis di puskesmas bisa jadi tempat awal untuk melanjutkan proses pemulihan,” ujarnya.

Feka menegaskan apa yang dialami korban bukan hal sepele. “Apa yang dialami bukan hal yang mudah. Dan kalau kita merasa butuh pertolongan, tidak apa-apa untuk meminta bantuan,” tutup Feka.

Baca Juga:

- Tren Curhat ke AI: Nyaman, Tapi Amankah buat Mental?

- Kesehatan Mental bagi Semua, Mengakhiri Era “Laki-Laki Tidak Bercerita”

Jika anda menyukai pembahasan mengenal kesehatan mental, anda juga dapat mendengarkan Podcast Disko "Diskusi Psikologi" produksi KBR Media melalui kbrprime.id, Spotify maupun Youtube.

bencana
banjir
trauma healing
kesehatan mental
podcast disko

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...