ragam
Tren Curhat ke AI: Nyaman, Tapi Amankah buat Mental?

Fenomena curhat dengan kecerdasan buatan ini terjadi karena banyak orang merasa mendapat validasi, didengarkan, dimengerti, dan tidak dihakimi ketika berhadapan dengan AI.

Penulis: Astri Septiani

Editor: Wydia Angga

Google News
Tren Curhat ke AI: Nyaman, Tapi Amankah buat Mental?
Ilustrasi kecerdasan buatan

KBR, Jakarta – Mencurahkan perasaan atau curhat dengan Arificial Inteligent (AI) menjadi fenomena baru di kala kian banyak masyarakat menggunakan teknologi tersebut untuk menyalurkan emosi mereka.

Menurut hasil survei lembaga riset global, Oliver Wyman Forum, 32% responden global menyatakan bersedia menggunakan AI sebagai pengganti terapis manusia untuk mengelola kesehatan mental mereka.

Survei itu dilakukan pada Oktober–November 2023, dengan sekitar 16.033 responden dari 16 negara, termasuk Indonesia. Minat penggunaan AI untuk curhat ini lebih tinggi di kalangan generasi muda. Menurut survei yang sama, 36% dari Gen Z dan Milenial terbuka terhadap terapi AI, dibandingkan dengan 28% dari generasi yang lebih tua.

Amankah buat Kesehatan Mental?

Psikolog Klinis Aldo Rayendra menjelaskan fenomena curhat dengan kecerdasan buatan ini terjadi karena banyak orang merasa mendapat validasi, didengarkan, dimengerti, dan tidak dihakimi ketika berhadapan dengan AI.

Namun, ia mengingatkan bahwa AI bukanlah interaksi sosial yang bisa benar-benar ‘menyembuhkan’ atau istilahnya therapeutic. Sebab menurutnya, curhat dengan AI dinilai sama halnya dengan kita menggunakan mesin pencarian seperti sedang googling, tetapi bedanya adalah format obrolan yang membuatnya seolah-olah layaknya interaksi.

Selain itu, Aldo mengungkapkan dampak penggunaan AI untuk curhat bisa menimbulkan adiksi atau ketergantungan.

“Makanya kan kalau di beberapa AI kan, aplikasi AI, ada limitnya gitu kan. Iya. Dan biasanya kita gak sabar kayak, aduh pengen lagi nih, pengen lagi. Akhirnya jadi bayar, atau, jadi ya udah pakai AI yang lain, pakai yang lain. Jadi istilahnya kayak, kita tuh jadi mengejar, hal-hal yang rasa nyaman itu dengan cara instan. Iya mirip-mirip kayak adiksi gitu kan,” kata Aldo dalam podcast Disko “Diskusi Psikologi” produksi KBR Media.

Aldo juga mengingatkan agar pengguna tidak ketergantungan mencari validasi dari AI. Alasannya, tubuh manusia butuh dopamine yang bisa membuat perasaan tenang dan perlu waktu untuk memproduksinya. Jika manusia memakai aplikasi AI terus-menerus untuk mendapatkan rasa nyaman secara instan, maka dikhawatirkan dapat membuat ketergantungan. Dampaknya, banyak hal yang ada dalam diri pengguna menjadi tidak berkembang.

Aldo kemudian mencontohkan seorang remaja yang bercerita kepada AI bahwa dirinya tidak punya teman karena skill sosialnya kurang bagus dan tidak bisa mengatur emosi. Ketika curhat dengan AI, ia merasa dimengerti, namun di sisi lain justru tidak ada keterampilan-keterampilan sosial dan regulasi emosi yang diasah.

Psikolog Klinis Aldo Rayendra menyebut, ketika curhat dengan AI, manusia tidak mendapat real connection alias koneksi nyata yang hanya bisa didapat dengan cara interaksi sesama manusia. Karena koneksi yang nyata itu tercipta dengan melibatkan keterampilan sosial dan emosi antar manusia.

Aldo juga menyebut, saat pandemi Covid-19 sudah ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa orang yang banyak berinteraksi dengan gadget, kemampuan regulasi emosinya menurun atau kerap dikenal dengan pandemic brain. Kata Aldo, sampai saat ini, kondisi manusia ini masih terdampak dari pandemic brain dan mendambakan adanya koneksi, sehingga menggunakan cara-cara instan seperti media sosial dan AI.

“Padahal kalau kita ngomongin connection manusia itu kan, lewat konflik, lewat pengertian gitu kan. Jadi akhirnya karena tadi connectionnya gak dapet, dan juga terbiasa pengen dapet yang instan. Jadinya ya, secara skill dan secara kehidupannya, quality of life-nya mungkin bisa aja menurun gitu ya. Tapi belum ada penelitian soal ini, sih,” kata Aldo.

Psikolog Klinis Mutiara Maharini membenarkan AI bisa membantu manusia dalam banyak hal. Namun jika tidak hati-hati, justru bisa menjadi bumerang untuk diri sendiri, seperti adiksi yang akan dialami pengguna. Ketergantungan itu, akan menghambat seseorang dari melakukan hal-hal yang seharusnya lakukan sebagai manusia, seperti contohnya berinteraksi sosial hingga membangun meaningful connection atau koneksi yang bermakna.

“Ketika kita curhat sama AI, semakin hari kita ngerasa ada hubungan, kita makin attached, kita merasa percaya, itu tuh bahaya juga. Karena kan AI perlu banget kita fact check ya.. Kekritisan kita berkurang ketika kita semakin percaya,” kata Mutiara.

red

Ilustrasi risiko curhat kepada artificial intelligence (AI) terhadap kesehatan mental. Ilustrasi dibuat menggunakan AI.

Amankah buat Perlindungan Data Pribadi?

Pengamat AI turut mengomentari tren manusia curhat ke AI. Principal of Indonesia Applied Digital Economy & Regulatory Network (IADERN) Tuhu Nugraha menyebut aktivitas ini banyak terjadi terutama di kalangan Gen-Z. Alasannya, menurut Tuhu, karena AI membuat penggunanya merasa nyaman, merespon dengan apa yang ingin didengar oleh orang yang curhat, ditambah lagi ada aplikasi yang bisa mengkustom karakter si pendengar curhatnya. Namun kata dia, yang mesti diwaspadai adalah, AI bisa mengambil data-data pribadi penggunanya.

“Bisa beragam. Mulai dari karakternya, ketakutan dan harapannya apa, tinggal di mana, bahkan mungkin kayak perasaan, penyakit yang dialami, traumanya, dan lain-lain,” kata Tuhu kepada KBR Media.

Tuhu menjelaskan data-data yang diambil hasil dari curhat itu bisa digunakan untuk personalisasi iklan, hingga memanipulasi fan social engineering. Sebab dengan data-data tadi, bisa dibuat prediksi soal bagaimana membuat seseorang mudah terbujuk, dirayu dan dimanipulasi. Itu sebabnya menurut Tuhu, penggunaan AI bisa jadi berbahaya ketika seseorang tidak paham syarat dan ketentuan dari aplikasi AI-nya soal pengaturan privasi, dan lain-lain.

Tuhu mendorong supaya ada edukasi secara terus menerus tentang pemanfaatan AI yang bertanggung jawab dari semua pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, media, sekolah, termasuk NGO, orang tua. Kata dia, literasi soal AI di Indonesia saat ini masih sangat rendah.

“Hampir jarang dibahas. Semua orang terlalu excited bicara adopsi AI untuk meningkatkan ekonomi dan mengentaskan kemiskinan, serta catch up biar tetap relevan. Itu tepat tadi tidak cukup. Perlu literasi AI, dan juga diedukasi soal manajemen risiko AI di semua sektor dan semua segmen masyarakat,” pungkasnya.

red

Ilustrasi risiko curhat kepada artificial intelligence (AI) terhadap keamanan data pribadi. Ilustrasi dibuat menggunakan AI.

Pengalaman Curhat Sama AI

Seorang pengguna, Malika membagikan pengalamannya curhat dengan AI chat GPT. Ia memilih curhat dengan AI karena khawatir jika curhat soal masalah yang dia hadapi ke teman-temannya, bakal mengganggu mereka yang sedang sibuk dengan urusan dan masalahnya masing-masing.

Tetapi Malika sadar, penggunaan AI untuk curhat ada batasnya. Jika menghadapi kondisi terganggu secara psikis karena problem hidup yang dijalani, ia percaya bukan chat GPT solusinya, tetapi mencari bantuan dari profesional.

Namun untuk sekadar curhat, meminta bantuan bikin mood tracker, untuk mengetahui kondisi seberapa minggu terakhir, maka menurutnya menggunakan AI tidak masalah. Tapi di sisi lain, Malika juga mempertanyakan keamanan data orang-orang yang curhat dengan AI seperti dirinya.

“Aku gak yakin kalau orang bisa, mau meluangkan waktu, energi, dan mencurahkan rasa empatiknya begitu baik menurutku ya, yang aku dapat dari AI. Nah sebetulnya aku gak tahu ya, dari sisi misalnya keamanan, ketika kita curhat di AI gitu ya, data-data kita itu akan seperti apa sih,” kata Malika saat membagikan pengalamannya pada podcast Disko (Diskusi Psikologi) yang tayang di kbrprime.id, Spotify, dan Youtube KBR Media.

Namun Malika mengaku melakukan upaya-upaya menjaga keamanan data dirinya saat curhat dengan AI. Misalnya dengan tidak menyebut nama saat curhat, tidak terlalu detail tentang lokasi atau detail-detail lainnya. Saat curhat, Malika tidak membagikan informasi yang personal terkait biodatanya.

“Lalu aku juga meminta AI, untuk misalnya lupakan apa yang, baru saja aku sampaikan, anggap perbincangan ini tidak pernah ada. Jadi itu tidak ter-save gitu, di dalam memori robot itu. Sejauh ini begitu sih aku mencoba, untuk menjaga keamanan dari sisiku,” kata Malika.

Baca juga:

- Kesehatan Mental bagi Semua, Mengakhiri Era “Laki-Laki Tidak Bercerita”

- Belajar Sukses Bareng Teman Disabilitas

red

Ilustrasi konseling kepada psikolog. Ilustrasi dibuat menggunakan AI

AI Tidak Bisa Menggantikan Peran Profesional

Psikolog Klinis Aldo Rayendra mengatakan, yang membedakan curhat kepada AI dengan konseling yang dilakukan oleh profesional seperti psikolog terletak pada adanya kode etik serta batasan-batasan yang dimiliki oleh profesional. Itu sebab, Aldo menilai perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sejauh mana AI bisa membantu proses konseling. Aldo juga sudah mencoba mempraktekan curhat lalu bertanya ke AI soal fungsinya sebagai ‘teman curhat. Dan hasilnya, AI mengaku tidak bisa menggantikan peran profesional seperti psikolog dan konselor.

“AI yang ngomong ya, bilang kayak: Ya kita cuma memberikan validasi, memberikan kayak, apa istilahnya ya, validasi emosi, terus apa namanya tuh, penerimaan tanpa syarat, dan men-encourage, kalau yang dialami itu valid, yang dipikirin dan dialami itu valid. Tapi AI itu enggak bisa, ini AI yang bilang lagi-lagi ya, enggak bisa menggantikan peran profesional,” kata Aldo.

Sementara itu Psikolog Klinis Mutiara Maharini menambahkan, masyarakat juga mesti kritis dalam penggunaan AI untuk curhat. Mutiara bilang, secara jangka pendek tak masalah menggunakan AI untuk curhat. Tapi secara jangka panjang, ini bisa jadi enggak sehat untuk psikologis. Sebab seseorang bisa kehilangan social skills atau keterampilan sosial ketika terus-terusan menggunakan AI ketimbang berinteraksi dengan manusia lainnya.

“Dan mungkin kita juga perlu kritis, melihat kira-kira, AI ini yang kita buka kan, gampang aksesnya, gratis untuk beberapa percobaan pertama gitu ya. Sebenarnya AI ini maunya apa? Mereka kan maunya kita pada akhirnya, bayar, menggunakan jasa mereka. Mungkin sedikit berbeda, sama kalau kita pergi ke psikolog, atau ke konselor gitu. Kita tahu bahwa, mereka memang pengen kita menjadi semakin baik, gitu kan. Jadi lebih ada kredibilitas, dan kita tahu, tujuan mereka akan membuat kita, semakin mandiri dan sehat lah, secara psikologis. Jadi kita perlu kritis di area itu,” kata Psikolog Klinis yang juga Host Podcast Disko (Diskusi Psikologi) KBR Media, Mutiara Maharini.

Lantas, kapan pengguna perlu menyudahi curhatannya bareng AI dan mengakses layanan kesehatan mental untuk mencari pertolongan profesional? Simak obrolan lengkapnya berikut:

kesehatan mental
kecerdasan buatan
Chat GPT
AI
podcast
psikolog

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...