ragam
Puluhan Orang Diduga jadi Korban Salah Tangkap Polda DIY, Pengacara Bentuk BARA ADIL

Ada sekitar 66 orang sipil ditahan dan mengalami luka-luka.

Penulis: Ken Fitriani

Editor: Sindu

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
Puluhan Orang Diduga jadi Korban Salah Tangkap Polda DIY, Pengacara Bentuk BARA ADIL
Forum Ojek Online Yogyakarta Bergerak mendatangi Mapolda DIY untuk menyampaikan aspirasi, Jumat, 29-8-2025. Foto: KBR/Ken
TL;DR
  • Puluhan orang, termasuk anak-anak, diduga jadi korban salah tangkap Polda DIY saat demo, satu mahasiswa meninggal dengan luka kekerasan.
  • LBH DIY membentuk BARA ADIL untuk melawan dugaan salah tangkap dan represi negara, mendampingi korban demonstrasi.
  • Kapolri mendalami penyebab kematian mahasiswa Amikom DIY, Kompolnas lakukan pengawasan.

KBR, Yogyakarta- Puluhan orang diduga jadi korban salah tangkap Polda DIY saat demonstrasi akhir Agustus 2025. Dugaan ini disampaikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Data LBH DIY menyebut, ada sekitar 66 orang sipil ditahan dan mengalami luka-luka. Di antara mereka terdapat 24 anak-anak. Lalu, ada pula satu mahasiswa meninggal dari Universitas Amikom, yakni Rheza Sendy Pratama.

Pengacara Publik LBH DIY, Kharisma Wardhatul Khusniah mengatakan, ada dua yang ditetapkan tersangka polisi.

"Kemudian untuk dua orang tersangka yang masih ditahan itu ditangkap pada tanggal 31 Agustus yang itu sebetulnya tidak ada aksi yang terkoordinasi begitu. Tetapi, justru masa-masa yang lewat depan polda itu yang banyak direpresi dan ditangkap," jelasnya.

Pada hari itu, LBH DIY mendatangi Polda DIY, setelah mendapatkan aduan dari keluarga maupun rekan yang kehilangan orang terdekatnya.

"Kami mengonfirmasi mereka di Polda DIY, tetapi pada akhirnya tidak bisa ditemui meskipun sudah dibebaskan pada1 September, kecuali dua orang yang tersangka," katanya usai Deklarasi Pembentukan Barisan Advokasi Rakyat untuk Demokrasi dan Keadilan (BARA ADIL) di Universitas Islam Indonesia (UII) Cik Di Tiro Yogyakarta, Jumat, (12/9/2025).

Kini, LBH DIY mendalami keterlibatan kedua tersangka apakah betul sesuai tudingan aparat kepolisian dalam aksi demonstrasi di Mapolda DIY, Jumat, (29/8/2025).

"Betul dia melakukan apa yang dituduhkan atau itu hanya sangkaan saja dari kepolisian, motifnya seperti apa, dan apakah betul ada upaya anarkistis dan lain sebagainya," ungkapnya.

Dihalangi?

Dua orang tersangka terdiri dari satu orang dewasa dan satu anak. Namun hingga kini, LBH DIY belum bisa berkomunikasi dengan mereka.

“Terakhir itu memang ada upaya penghalang-halangan untuk ketemu, bahkan kami sudah mendapatkan kuasa lisan atau kuasa melalui hotline dari keluarga maupun rekan-rekan yang bersangkutan, tetapi tidak diperbolehkan ketemu begitu.”

Tetapi, untuk satu tersangka dewasa, LBH DIY sempat melakukan komunikasi, namun tidak secara tidak langsung.

"Satu orang itu kami baru bahas lagi di BARA ADIL untuk didampingi. Kalau yang anak kami belum tahu detailnya, tetapi saat di Polda mereka didampingi KPAD. Saat ini dititipkan di tempat rehabilitasi. Tersangka anak membawa molotov, yang dewasa membawa senjata tajam," paparnya.

Menurut Kharisma, penghalangan pengacara bertemu korban adalah pelanggaran hukum. Bahkan di dalam pemeriksaannya, korban juga tidak didampingi pengacara. Hal ini juga menjadi salah satu catatan penting penanganan kasus penangkapan masa demonstrasi oleh aparat.

Menurut Kharisma, di berbagai daerah kasus salah tangkap banyak terjadi. Ia juga menduga ke-66 orang yang ditangkap pada aksi tersebut juga korban salah tangkap. Karena itu, dibentuklah Barisan Advokasi Rakyat untuk Demokrasi dan Keadilan (BARA ADIL) di Universitas Islam Indonesia (UII) Cik Di Tiro Yogyakarta, Jumat, (12/9/2025).

"Pembentukan BARA ADIL ini diupayakan menjadi tempat, menjadi ruang kita semua, pengacara, pencari keadilan melihat situasi negara yang sangat tidak berpihak kepada rakyat. Kemudian juga menggunakan kekerasan secara berlebihan untuk melindungi kekuasaan yang saat ini berjalan," tandasnya.

Terinspirasi Gerakan Daerah Lain

Aktivis Forum Cik Di Tiro, Elanto Wijoyono memaparkan, konsep atau gagasan BARA juga merujuk pada jaringan pegiat hukum di daerah lain. Misalnya di Jakarta ada Tim Advokasi untuk Demokrasi dan di Surabaya ada Tim Advokasi untuk Warga Jawa Timur.

Sementara konsep BARA ADIL di Yogyakarta ini, juga berangkat dari kasus-kasus kekerasan yang dilakukan negara dan peliknya proses pendampingan hukum pada periode aksi sebelumnya.

"Kalau kita melihat ke belakang, ada aksi Omnibus Law. Kita punya kapasitas dan sumber daya pendampingan hukum yang cukup baik di Yogyakarta. Tetapi, selama ini masih terserak karena proses pendampingan hukum antara kampus satu dengan yang lainnya masih belum terkonsolidasi," jelasnya.

Elanto berharap, BARA ADIL ini bisa berjalan beririsan dengan elemen-elemen gerakan yang ada di Yogyakarta. Artinya, BARA ADIL didirikan tidak hanya sekadar memberikan bantuan hukum kepada aksi-aksi yang diselenggarakan Forum Cik Di Tiro atau aksi dari Jogja Memanggil saja.

red
Deklarasi Pembentukan Barisan Advokasi Rakyat untuk Demokrasi dan Keadilan (BARA ADIL), di Universitas Islam Indonesia (UII) Cik Di Tiro Yogyakarta, Jumat, 12 September 2025. Foto: KBR/Ken
advertisement


Peran Pengacara

Sekretaris Jenderal Caksana Institute yang juga pengacara, Wasingatu Zakiyah menambahkan, sesuai UUD 1945, tidak seorang pun boleh merepresi, menangkap seseorang saat menyatakan pendapatnya di muka umum.

"Apa yang dilakukan masyarakat sipil sebelumnya, landasan hukumnya juga jelas. Jadi, ada kebebasan itu yang dijamin dalam peraturan perundang-undangan yang tidak satu orang pun hak-hak sipil dan politik itu bisa dihentikan oleh satu orang pun, termasuk represi negara," ungkapnya.

Menurutnya, peristiwa 30 Agustus lalu bukanlah puncak dan bukan satu-satunya yang memicu kemarahan masyarakat. Namun kondisi itu diperburuk sejak terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum dan ada pembiaran dari pemerintah.

"Kita tahu lagi ada beberapa peristiwa korupsi yang tidak selesai, dibiarkan begitu saja. Ada rangkaian peristiwa naiknya PPN, ini sebenarnya menjadi pemicu kemarahan masyarakat," lanjutnya.

Di sisi lain, masyarakat disuguhkan tontonan pembabatan hutan yang digantikan sawit konsesi dan diberikan kepada kelompok tertentu. Hal itu menjadi bentuk ketidakadilan yang terakumulasi dan terlihat jelas masyarakat.

Lalu, ada banyak gerakan yang memberikan masukan kepada DPR RI dan DPRD, namun selalu mental. Terakhir, DPR RI memberikan tunjangan perumahan fantastis yang menjadi akumulasi dan memicu kemarahan masyarakat.

"Kejadian itu bukan tiba-tiba, apa yang disampaikan masyarakat sebagai bentuk kemarahan. Apalagi anggota dewan tidak menjadi representasi dari masyarakat itu sendiri, tetapi malah menjadi musuh dari masyarakat," imbuhnya.

Zakiyah mendorong, represi yang dilakukan pemerintah atau negara kepada masyarakat sipil harus dihentikan dan tidak boleh lagi terjadi.

"Dan inilah pentingnya kita berdiri sebagai negara hukum, kita berdiri di atas hukum yang ada dan tidak boleh undang-undang itu dijadikan tameng untuk kemudian bisa berbuat apa pun," tegasnya.

Kata dia, kehadiran pengacara, paralegal, dan pekerja bantuan hukum sangat penting di tengah kondisi saat ini yang sangat lekat dengan represif. Karenanya, bantuan hukum dan pendampingan hukum probono diberikan kepada korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), demonstrasi, atau korban represi politik.

"Sudah saatnya memang harus diberikan. Mulai dari proses interogasi sampai di persidangan, bahkan sampai ke banding dan seterusnya," tegasnya.

Di sisi lain, kata dia, edukasi soal hukum ini juga penting diberikan kepada masyarakat. Saat seseorang sedang menyuarakan aspirasinya, baik lewat aksi maupun seni dan lainnya, tidak bisa direpresi.

"Dan tentu Yogyakarta tidak sendiri, jaringan para pekerja hukum dan pembela HAM ini akan terus berdiri di tengah represivitas yang terjadi," jelasnya.

Tak Datang Tiba-Tiba

Pada kesempatan sama, Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Rizky Ramadhan Baried mengatakan, berkumpulnya para pekerja hukum ini merupakan akumulasi dari berbagai macam peristiwa yang patut dan penting untuk diadvokasi bersama.

Saat ini yang juga sedang diperjuangkan BARA ADIL, khususnya LKBH FH UII adalah korespondensi dengan humas-humas rumah sakit yang diduga didatangi korban represi pada saat menyuarakan haknya.

"Baik yang biayanya ditanggung sendiri maupun negara. Ini dilakukan untuk mendapatkan data yang jelas agar ke depan bisa melakukan tindakan preventif," imbuh Rizky.

red
Aksi damai yang digelar oleh Front Aliansi Mahasiswa Jogja Bergerak di DPRD DIY, Senin, 1 September 2025. Foto: KBR/Ken
advertisement


Puluhan Orang Ditangkap

Sebelumnya, demonstrasi berujung ricuh terjadi di Mapolda DIY, Sleman, Jumat, 29 Agustus-Sabtu dini hari, 30 Agustus 2025.

Juru bicara Polda DIY, Ihsan menjelaskan, sekitar pukul 21.40 WIB ada 50-an orang tak dikenal mendatangi mapolda. Mereka berteriak dan melempari petugas dengan petasan, batu, dan bom molotov. Situasi makin memanas, dan jumlah massa bertambah.

Kepada ANTARA, Ihsan menuturkan, pukul 01.30-06.00 WIB, aparat berusaha menghalau massa perusuh yang menyerang. Pembubaran baru bisa dilalukan 06.00 WIB lewat pasukan gabungan TNI/Polri.

Dalam peristiwa itu, puluhan orang ditangkap, termasuk pelajar SMP dan SMA/SMK. Sejumlah barang bukti disita, semisal senjata taja,. Tercatat, enam luka, terdiri dari massa dan satu personel.

Satu Tewas

Lalu, Minggu. 31 Agustus 2025, terjadi lagi demonstrasi di DIY. Aksi itu diduga mengakibatkan satu mahasiswa Amikom meninggal, yakni Rheza Sendy Pratama.

BEM se-DIY lewat akun Instagram mereka mengatakan, Rheza sempat mengikuti demo di Jogja, Minggu, 31 Agustus 2025.

Video diduga korban mengendarai sepeda motor di sekitar Polda DIY juga beredar di media sosial. Ketua BEM Amikom Yogyakarta, Alvito Afriansyah membenarkan sosok dalam video itu adalah Rheza.

"Korban tertinggal saat aparat melemparkan gas air mata, dan mungkin insiden itu terjadi saat itu," katanya, Senin, 1 September 2025.

Amikom Yogyakarta berharap kepolisian menjelaskan secara lengkap peristiwa yang terjadi. Selain itu. menurut Wakil Rektor III bidang Kemahasiswaan, Ahmad Fauzi, saat ini penelusuran kematian Rheza tengah dilakukan. Semisal dengan mengumpulkan informasi dari rumah sakit dan rekan-rekan korban.

Pernyataan Kapolri dan Kompolnas

Sementara itu, Kapolri Listyo Sigit Prabowo bakal mendalami kematian Rheza saat ikut demonstrasi, Minggu, 31 Agustus 2025.

"Ya, saya kira, semuanya sudah jelas, kan, apa yang terjadi, dan saat ini sedang dilaksanakan pendalaman meninggalnya karena apa?" katanya di RS Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur, Senin, 1 September 2025, seperti dikutip dari ANTARA.

Penelusuran juga dilakukan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Komisioner Kompolnas, Choirul Anam mengatakan, bakal mengawasi seluruh proses penanganan.

"Kompolnas sedang menurunkan tim dan melakukan pengawasan di beberapa titik, salah satu yang sedang bekerja timnya ada di Yogyakarta," katanya di Jakarta, Selasa, 2 September 2025, mengutip ANTARA.

red
Pemakaman Rheza, salah satu mahasiswa Amikom DIY yang tewas diduga saat aksi demo,Minggu, 31-8-2025. Foto: KBR/Ken
advertisement


Gas Air Mata 

Ayah Rheza, Yoyon Suryono mendapatkan informasi dari keluarga pada Minggu pagi. Sebelumnya, ada tetangga yang datang menunjukkan foto KTP Rheza yang sudah berada di RS Sardjito.

"Saya tanya kenapa? Katanya kena gas airmata, enggak apa-apa itu di Sardjito. Saya ke sana ternyata sudah terbujur begitu," jelasnya di rumah duka.

Yoyon juga bertanya siapa yang mengantarkan anaknya ke RS Sardjito. Ia mendapatkan jawaban hanya dua orang dari Dinas Kesehatan Polda DIY. Ia menyebut, saat ini dompet, KTP dan motor Rheza belum ditemukan.

"Dengan kondisi kena gas air mata. Pagi-pagi dia enggak tahu kenapa apa. Yang jelas aku ikut mandiin, sini tuh kaya patah, ada bekas kaki PDL, ada sayatan-sayatan, kepala bocor, sini itu putih kena gas air mata, sama kaki tangan punggung lecet," jelasnya.

Yoyon menjelaskan, dari penjelasan rumah sakit tidak ada otopsi dan keluarga tidak menyetujui otopsi.

"Dari keluarga pasrah, apa pun yang terjadi itu musibah. Makanya kami enggak mau otopsi. Harusnya sampai jam 1, tetapi sampai sini jam 3. Meninggalnya jam 7 pagi. Dia enggak pakai baju, bukti CCTV yang ada. Yang ngantar ada rombongan dari unit kesehatan Polda," ungkapnya.

Bekas Injakan Sepatu PDL di Tubuh?

Yoyon mengungkapkan, berdasarkan keterangan dari yang mengantar, ada aksi demo. Sebelumnya, Rheza bersama teman-temannya ngopi di dekat Tugu. Namun, ia juga belum bertemu dengan teman-teman Rheza tersebut.

"Malamnya diajak ngopi sama temen SMK. Pagi itu di depan polda, saya enggak ngira, anak saya baru semester lima soalnya di Amikom. Baru saja bayar (kuliah) kemarin, ini baru libur ini makanya saya suruh di rumah saja," tandasnya.

Yoyon kembali menegaskan, ada bekas sayatan dan injakan sepatu PDL di tubuh anaknya. Selain itu, kepala juga ada luka terbuka yang darahnya sudah menghitam.

"Kepala dibenerin, yang kelihatan sepatu PDL, ada sayatan bekas digebuk, yang bocor sebelah sini, darah muka itu item, muka badan rambut enggak karuan. Sabetan tongkat," lanjutnya.

"Harapannya demo yang damai, minimalisasi setidaknya pengamanan. Rata-rata yang demo campuran, pengamanan diperjelas, diperketat jangan asal main gebuk. Kasihan kalau orang enggak ngerti," imbuhnya.

Baca juga:

Polda DIY
Bara Adil
Demonstrasi
Salah Tangkap

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...