PSHK dan LBH Jentera mendesak Presiden melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Kapolri dan institusi Polri
Penulis: Naomi Lyandra, Shafira Aurelia, Ken Fitriani
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Represifitas terhadap massa demonstran yang berunjuk rasa terjadi di banyak daerah Tanah Air. Gelombang demonstrasi terus meluas seperti di Jakarta, Yogyakarta, Makassar, hingga berbagai kota lain sejak 25 Agustus 2025.
Di balik situasi panas, sejumlah pihak menyoroti pola lama aparat yang kembali berulang yaitu penggunaan kekerasan, pembatasan kebebasan, hingga penggunaan kekuatan berlebih saat menangani massa di lapangan.
Salah satu korban meninggal akibat represifitas dan brutalitas aparat yakni Affan Kurniawan.
Selain Affan, ada lima orang lain yang telah kehilangan nyawa dalam rangkaian unjuk rasa di berbagai kota selama enam hari terakhir.
Mereka yakni mahasiswa Rheza Sendy Pratama di Yogyakarta, serta empat orang di Makassar, yakni Sarina Wati, Saiful Akbar, Muhammad Akbar Basri ketiganya merupakan ASN, lalu terakhir masyarakat sipil Bernama Rusdamdiansyah.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menghimpun sejumlah temuan awal terkait peristiwa di sejumlah daerah.
“Ada beberapa temuan yang sejauh ini sudah dihimpun Komnas HAM. Yang pertama adalah terkait dengan dugaan kuat, penggunaan kekuatan berlebih, excessive use of force, oleh aparat dalam pengamanan aksi unjuk rasa, di mana ini mengakibatkan beberapa korban meninggal. Salah satunya tentu Affan (Affan Kurniawan) di Jakarta, di Makassar 4 orang, kemudian di Bone, dan di beberapa tempat yang lain,” ungkap Ketua Komnas HAM Anis Hidayah dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (1/9/2025).
Komnas HAM, lanjut Anis, juga mencatat adanya indikasi pembatasan kebebasan berekspresi secara tidak proporsional, termasuk penahanan massal pengunjuk rasa.
“Itu setidaknya 351 orang ditahan. Pada tanggal 28 Agustus ada 600 orang ditahan. Itu di Polda Metro Jaya. Kemudian pada tanggal 25 Agustus, di Medan juga ada sejumlah orang, ada 49 yang ditahan. Kemudian di Semarang juga sama. Ada sekitar 200 orang yang ditahan dan di beberapa wilayah-wilayah yang lain. Ini terus berulang,” ujarnya.

ICJR: Kultur Impunitas dan Gagalnya Reformasi Hukum
Dari perspektif hukum pidana, Maidina Rahmawati, Plt Direktur Eksekutif ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) menyoroti brutalitas aparat yang terus berulang sejak 2019. Terkait penggunaan kekuatan berlebihan seperti gas air mata, kendaraan taktis, hingga peluru karet.
“Sebenarnya catatan kami dari brutalitas aparat itu banyak gitu ya. Salah satunya misalnya yang selalu kami dorong adalah soal akuntabilitas. Nah yang pertama sayangnya ya kita masih punya culture impunitas tersebut gitu ya,” jelas Maidina dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (1/9/2025).
Ia mencontohkan kasus terbaru yang menewaskan Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang tewas di tangan aparat kepolisian saat demonstrasi di Jakarta.
“Bahkan juga beredar rekaman videonya bahwa memang aparatnya gitu ya, polisinya melakukan intensi untuk menabrak. Itu kan udah jelas gitu ya, bahwa itu dugaan tindak pidana pembunuhan,” tegasnya.
Maidina juga menyoroti respons Presiden yang dianggap gagal memahami akar masalah.
“Respons Presiden masih ngerespon dalam tataran permukaan. Seolah-olah memberikan respon terhadap masyarakat padahal itu tidak menyentuh akar permasalahannya,” ujarnya.
Menurut ICJR, akar persoalan ada di dua sisi yaitu dari sisi ekonomi yang timpang dan sisi politik yang represif.
“Kemarahan publik itu ya berkutat di dua aspek gitu ya, di aspek ekonomi dan di aspek politiknya. Respons terhadap kemarahannya itu pun juga respon represif,” kata Maidina.

Antropolog: Kemarahan Publik, Orkestrasi, dan Krisis Ekonomi
Sementara itu, Antropolog Geger Riyanto melihat dimensi sosial-politik dari eskalasi gelombang protes di berbagai daerah. Ia mengaitkan fenomena kekerasan dalam aksi dengan pola lama sejak 1998.
“Rekaman-rekaman itu menunjukkan ada kelompok yang kelihatannya memang berusaha untuk merancang dan mendorong adanya pecahnya huru hara dan ini kalau kita balik berkaca ke 1998, selalu ada sekelompok orang yang mendorong, memprovokasi massa gitu, dan juga ada massa yang dibawa gitu dari tempat lain,” ujar Geger dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (1/9/2025).
Ketika demonstrasi menimbulkan korban seperti meninggalnya Affan Kurniawan yang dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob, menurut Geger, hal itu makin membakar amarah rakyat.
“Affan itu memang peristiwa yang menjadi simbol dari sangat banyak kesulitan kita tapi kemudian diresponsnya dengan kekerasan, diresponnya dengan sangat-sangat bahkan mengintimidasi, bisa dibilang merendahkan, kan dilindas, diinjak,” tuturnya.
Namun, ia menegaskan bahwa faktor ekonomi tak bisa diabaikan. Sebab, kebijakan efisiensi pemerintah menimbulkan efek domino yang luas terhadap masyarakat.
“Uang yang biasanya berputar di masyarakat saat ini itu nggak bisa berputar sama sekali. Jadi ini situasi yang juga ya memang ada kontribusinya dari situasi ekonomi global yang lagi lesu ya,” jelas Geger.
Prabowo: Kalau Demonstran Murni yang Baik akan Dilindungi Aparat
Presiden Prabowo Subianto menegaskan hak menyampaikan pendapat dijamin Undang-Undang, namun harus dilakukan secara damai dan sesuai aturan.
"Kalau demonstran murni yang baik justru oleh aparat harus dilindungi," ujarnya di RS Polri Jakarta, Senin (1/9/2025) dikutip dari ANTARA.

Namun, Prabowo menilai sejumlah aksi telah disusupi perusuh yang berniat merusak dan membakar fasilitas publik, termasuk gedung DPR dan DPRD.
"Niatnya bukan menyampaikan pendapat, niatnya adalah bikin rusuh, mengganggu kehidupan rakyat, menghancurkan upaya pembangunan nasional," kata Presiden.
Prabowo menyatakan pemerintah akan bertindak tegas dan mengusut tuntas pihak-pihak yang bertanggung jawab atas aksi anarkis tersebut.
"Saya tidak ragu-ragu membela rakyat, saya akan hadapi mafia-mafia yang sekuat apapun saya hadapi atas nama rakyat," ucapnya.
Mahasiswa di Yogyakarta Diduga Meninggal Dianiaya Aparat
Selain Affan Kurniawan, seorang ojol yang meninggal karena tubuhnya dilindas rantis Brimob di Jakarta, teranyar seorang mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Amikom Yogyakarta, Rheza Sendy Pratama meninggal dengan luka lebam dan bekas injakan sepatu. Diduga ia meninggal akibat dianiaya aparat saat berdemonstrasi di depan Mapolda DIY, Minggu (31/8/2025).
Ayah Rheza, Yoyon Suryono menambahkan, dirinya mendapatkan informasi dari keluarga pada Minggu pagi. Sebelumnya ada tetangga yang datang menunjukkan foto KTP Reza yang sudah berada di RS Sardjito.
"Saya tanya kenapa? Katanya kena gas airmata, nggak apa-apa itu di Sardjito. Saya ke sana ternyata sudah terbujur begitu," jelasnya di rumah duka, Minggu (31/8/2025).

Yoyon juga bertanya siapa yang mengantarkan anaknya ke RS Sardjito. Ia mendapatkan jawaban hanya dari Dinas Kesehatan Polda DIY dua orang saja. Ia menyebut, saat ini dompet, KTP dan motor Rheza belum ditemukan.
"Dengan kondisi kena gas air mata. Pagi-pagi dia nggak tahu kenapa apa. Yang jelas aku ikut mandiin, sini (leher) tuh kaya patah, ada bekas kaki PDL, ada sayatan-sayatan, kepala bocor, sini itu putih kena gas air mata, sama kaki tangan punggung lecet," jelasnya.
Yoyon menjelaskan, dari penjelasan rumah sakit tidak ada otopsi dan keluarga tidak menyetujui dilakukan autopsi.
"Dari keluarga pasrah, apapun yang terjadi itu musibah. Makanya kami nggak mau otopsi. Harusnya sampai jam 1, tapi sampai sini jam 3. Meninggalnya jam 7 pagi. Dia nggak pakai baju, bukti CCTV yang ada. Yang nganter ada rombongan dari unit kesehatan Polda," ungkapnya.
Yoyon kembali menegaskan, ada bekas sayatan dan injakan sepatu PDL di tubuh anaknya. Selain itu, kepala juga ada luka terbuka yang darahnya sudah menghitam.
"Kepala dibenerin, yang kelihatan sepatu PDL, ada sayatan bekas digebuk, yang bocor sebelah sini, darah muka itu item, muka badan rambut nggak karuan. Sabetan tongkat," lanjutnya.

Pihak Kampus dan BEM Bakal Investigasi
Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Amikom Yogyakarta, Achmad Fauzi, membenarkan bahwa Rheza merupakan mahasiswa aktif di kampusnya.
"Kalau secara kronologis memang itu (saat kejadian) tidak dalam pantauan kami, sehingga kami secara pasti tidak tahu persis kejadiannya, sehingga kami tidak bisa memberikan keterangan yang terkait peristiwa yang terjadi seperti apa, karena belum investigasi," katanya saat ditemui di rumah duka, Minggu (31/8/2025).
Meski begitu, Fauzi berharap agar aparat kepolisian bisa segera memberikan penjelasan dan membuka komunikasi dengan pihak kampus untuk mengungkap secara utuh kejadian yang merenggut nyawa salah satu mahasiswa mereka tersebut.
"Harapannya pihak kepolisian bisa memberikan informasi yang lengkap kepada kami tentang peristiwa yang terjadi seperti apa. Bagaimanapun juga ini mahasiswa kami, meskipun sudah di luar pantauan dan kendali kami, tetap ini mahasiswa, sehingga harus dilakukan investigasi," ujarnya.
Sementara, Ketua BEM Amikom, Alvito Afriansyah, menyatakan pihaknya saat ini tengah mengumpulkan informasi lebih lanjut untuk mengungkap kronologi pasti peristiwa yang menyebabkan kematian mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi tersebut.
"Ya perihal itu kami sampaikan di sini bahwa betul itu adalah korban yang kita sama-sama lihat di video bawa korban tertinggal pada saat aparat melemparkan gas air mata dan mungkin insiden itu terjadi saat itu. (Petunjuk) dari motor dan juga itu kami dapatkan dari informasi teman sekelas bahwa itu betul saudara Rezha," kata Alvito.
Dalih Polisi
Terpisah, Kapolda DIY Anggoro Sukartono melayat ke rumah duka almarhum di Jaten, Sendangadi, Mlati, Kabupaten Sleman pada Minggu (31/8/2025) malam.
Dalam kesempatan tersebut, ia menyampaikan belasungkawa dan menyampaikan kesiapan kepolisian untuk menindaklanjuti kasus ini apabila keluarga menginginkannya.
"Kami siapkan semuanya proses itu. Mulai dari penyelidikan, penyidikan. Namun proses awal keluarga menolak untuk melakukan ekshumasi. Dan keluarga menerima," kata jenderal bintang dua tersebut.

Anggoro mengungkapkan, jika suatu hari nanti keluarga berubah pikiran dan mempertanyakan penyebab kematian Rheza, maka pihaknya siap melakukan penyelidikan.
"Apabila ada masyarakat yang bisa membantu, ada saksi bagaimana saudara Rheza, ada info, kasih ke saya," imbuhnya.
Bantuan Hukum Dipersulit di Daerah
Kendala akses bantuan hukum masih menjadi permasalahan untuk para demonstran yang ditahan dan menjadi korban represifitas aparat kepolisian di daerah.
Salah satunya disampaikan Lembaga Bantuan Hukum(LBH) Surabaya yang menemukan adanya indikasi penutupan akses bantuan hukum untuk orang-orang yang ditangkap dalam aksi sepanjang 29 hingga 31 Agustus 2025 oleh pihak kepolisian.
Habibus Shalihin, Direktur LBH Surabaya menjelaskan, saat mencoba memberikan bantuan hukum pada 109 orang yang tertangkap dalam aksi, Tim Advokasi Surabaya sempat tertahan dan diminta menunggu cukup lama.
“Pada Minggu (31/8/2025), sejak pukul 10.00 WIB, baik di Polrestabes Surabaya dan Polda Jatim, mereka menutup akses terhadap informasi dan layanan hukum. Kami baru dapat data resmi sekitar pukul 17.00 WIB dan informasi lebih jelas pukul 21.00 WIB, sebelum massa yang ditangkap dibebaskan,” ujar Habib, Senin dalam keterangannya (1/9/2025).
Hal ini, lanjut Habib, membuat orang-orang yang ditangkap kehilangan akses pendampingan hukum karena menjalani pemeriksaan tanpa didampingi pengacara.
“Tentu saja ini dapat menimbulkan kerentanan lebih besar terhadap intimidasi maupun penyiksaan,” tambahnya.
Menurut Habib, tindak pihak kepolisian telah melanggar etika pelayanan publik dalam Pasal 54–60 KUHAP yang menjamin hak tersangka dan saksi untuk didampingi penasihat hukum. Padahal, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum juga menjamin hak warga negara, khususnya kelompok rentan, untuk mendapatkan bantuan hukum tanpa diskriminasi.
Pembelian Alat Pengendali Massa yang Masif
Kontrol aparat dalam mengendalikan massa demonstran dalam setiap unjuk rasa, tidak terlepas dari anggaran jumbo untuk pengadaan alat pengendali massa yang digunakan aparat. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mencatat sepanjang 2021-2025 alokasi tersebut mencapai Rp 2,6 Triliun.
Berdasarkan data yang dihimpun Fitra, anggaran untuk pengadaan alat pengendalian massa terbesar dialokasikan untuk gas air mata, pelontar dan masker senilai Rp 1,1 triliun. Selain itu untuk pembelian tongkat baton senilai Rp 1,02 triliun.
“Sisanya untuk barang lain seperti peluru karet senilai Rp 50 miliar. Ada pula alokasi untuk alat lain seperti kendaraan taktis (rantis) untuk menghalau massa senilai Rp 200 miliar,” tulis rilis keterangan resmi Fitra, dikutip Senin (1/9/2025).
Alat-alat tersebut dikenal sebagai instrumen represif dalam menghadapi demonstrasi.

Peneliti di Sekretariat Nasional Fitra, Gurnadi Ridwan menyatakan penggunaan anggaran tersebut utuh dievaluasi. Pengalokasian dana yang tak terukur berisiko bagi keselamatan warga serta menurunkan kualitas hukum dan demokarasi.
“Terbukti, penggunaan alat represif berulang kali menimbulkan korban, bahkan di beberapa kasus dapat menghilangkan nyawa.” ujar Gurnadi lewat keterangan resmi.
Fitra menilai, seiring dengan semakin besarnya anggaran instrumen represif, tindakan kekerasan aparat ke para demonstran juga bertambah marak.
“Alih-alih memperbesar anggaran untuk gas air mata, negara seharusnya mengutamakan belanja yang mendorong penguatan kapasitas aparat. Khususnya dalam mengatasi demonstrasi dengan pendekatan humanis, dialog, dan persuasif,” terangnya.
Anggaran Polri Terus Naik
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, alokasi anggaran untuk Polri juga terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Dalam lima tahun terakhir, kenaikannya mencapai 42 persen dari Rp102,2 triliun pada tahun 2021 menjadi Rp145,6 triliun pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.
Anggaran Polri ini diarahkan ke program profesionalisme SDM (Rp1,2 triliun), penyelidikan (Rp3,6 triliun), modernisasi alat utama dan sarana prasarana (Rp52,7 triliun) serta dukungan manajemen yang mencapai Rp 73 triliun.
Hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap belanja Polri menunjukkan bahwa Polri pada rentang 2019-2025 membeli barang untuk penanganan massa aksi dengan total anggaran sekitar Rp3,8 triliun yang bersumber dari pajak publik.
Terdapat 11 jenis kategori barang yang dibeli Polri, 30 persen atau Rp1,53 triliun diantaranya digunakan untuk membeli set alat pengamanan massa yang terdiri dari helm, rompi, tameng, tongkat baton, pelindung siku dan lutut, hingga tameng.

Aparat Mestinya Melindungi Bukan Sebaliknya
Sementara Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Biantara Albab menambahkan, peristiwa demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah telah menyentuh dimensi Hak Asasi Manusia (HAM).
“Pasal 28 UUD 1945 menjamin hak hidup warga negara, sementara Pasal 30 menegaskan tugas polisi adalah melindungi dan mengayomi masyarakat. Namun, fakta di lapangan justru memperlihatkan hal yang bertolak belakang ketika masyarakat sedang menunaikan haknya untuk bersuara,” tuturnya.
Lebih jauh, Bian menilai kasus ini membuka tabir persoalan akuntabilitas dalam tubuh institusi negara, khususnya Polri. Prinsip equality before the law harus menjadi pijakan utama dalam penanganan kasus tersebut.
“Pemerintah harus membuka seluruh proses hukum dari awal hingga akhir secara transparan kepada publik. Penanganan kasus harus imparsial, tanpa keberpihakan, dan tidak boleh melindungi aparat hanya karena statusnya sebagai bagian dari institusi negara. Selain itu, akses keadilan bagi korban maupun keluarga harus benar-benar terjamin, baik secara hukum maupun sosial,” ujarnya.
Bian juga menekankan bahwa proses hukum tidak boleh berhenti pada sanksi internal berupa kode etik atau disiplin kepolisian.
Ia menambahkan, pelajaran terpenting dari kasus ini adalah pengingat akan fungsi negara dalam sistem demokrasi dan negara hukum. Prinsip perlindungan warga negara dan keadilan harus dijunjung tinggi tanpa kompromi.
“Negara harus melindungi rakyatnya, karena itu dijamin dalam UUD 1945. Negara wajib hadir memberikan keadilan tanpa pandang bulu. Setiap orang setara di hadapan hukum, sehingga tidak boleh ada perbedaan antara aparat dan masyarakat biasa," imbuhnya.

Negara Gagal Menangani Penyampaian Aspirasi Publik
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Bachtiar Dwi Kurniawan mengungkapkan, peristiwa ini mencerminkan kegagalan pemerintah dan aparat dalam menangani penyampaian aspirasi publik. Ia juga mengecam sikap sejumlah pejabat yang dinilai tidak peka dan justru memperkeruh suasana.
Menurutnya, dalam negara demokrasi rakyat memiliki hak untuk mengontrol kekuasaan atau the people control the leader. Oleh karena itu, aparat dan pemerintah seharusnya tidak alergi terhadap kritik, melainkan memberi ruang yang layak bagi aspirasi publik.
"Jangan dihindari, jangan menghindar. Kalau bisa, hadapi, temui, dan dengarkan apa yang disampaikan rakyat. Kalau aspirasi didengar dan diartikulasikan dalam kebijakan publik yang menguntungkan, kenapa tidak?” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Menanggapi adanya korban jiwa, Bachtiar menegaskan bahwa aparat harus bertanggung jawab. Ia mengecam tindakan represif yang berujung hilangnya nyawa dan menegaskan bahwa permintaan maaf saja tidak cukup.
“Pemerintah dan pemimpin kita perlu belajar bagaimana menangani demonstrasi. Ini bukan peristiwa pertama. Jangan menunggu ada korban untuk mendengarkan aspirasi,” tegasnya.

PSHK dan LBH Jentera Minta Kapolri Dievaluasi
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jentera menilai tindakan represif dan brutalisme aparat kepolisian selama aksi demonstrasi pada 25 hingga 28 Agustus 2025 merupakan bentuk penghalang-halangan terhadap ruang berpendapat masyarakat di muka umum.
Padahal, aksi demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat tersebut merupakan reaksi atas kesewenang-wenangan penguasa dan kebijakan yang tidak mencerminkan keadilan bagi rakyat.
“Untuk kesekian kalinya, polisi menerapkan penggunaan kekuatan yang berlebih dan tidak proporsional dalam menangani massa aksi di berbagai daerah, antara lain berupa penggunaan gas air mata hingga penyemprotan meriam air yang diarahkan kepada para massa aksi. Tak hanya itu, pasukan khusus hingga kendaraan taktis Polri juga diturunkan untuk membubarkan massa aksi,” tulis keterangan resmi PSHK dan LBH Jentera, dikutip Senin (1/9/2025).
Berbagai rekaman yang tersebar melalui kanal media sosial juga menunjukkan tindak kekerasan oleh aparat Polri, seperti sweeping, pemukulan, hingga penganiayaan terhadap massa aksi, termasuk jurnalis di dalamnya.
Setidaknya terdapat 600 massa aksi–sebagian di antaranya berusia di bawah 18 tahun– ditangkap secara sewenang-wenang di Jakarta. Kesewenang-wenangan pun berlanjut ketika Polisi membatasi akses bantuan hukum terhadap massa aksi yang tertangkap.
Tak berhenti sampai di situ, brutalisme Polisi juga telah memakan nyawa seorang pengemudi ojek daring yang dilindas kendaraan taktis.
“Kasus terakhir tersebut harus diselesaikan di jalur hukum. Walaupun publik memiliki keraguan karena kasus selama ini menunjukkan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota polisi sebagian besar berujung pada impunitas. Hal itu menunjukkan kekosongan hukum karena Kejaksaan hanya dapat menjadi penyidik dalam kasus korupsi dan pelanggaran HAM yang berat. Peluang lain adalah jaksa sebagai pengacara negara, tetapi itupun hanya untuk perkara perdata & TUN (Tata Usaha Negara),” tambah pernyataan PSHK dan LBH Jentera.

Atas dasar tersebut, PSHK dan LBH Jentera mendesak pihak-pihak yang bertanggung jawab.
Pertama, Kapolri harus mampu menghentikan segala bentuk tindak kekerasan, termasuk penggunaan kekuatan yang berlebihan dan tidak proporsional, dalam menangani massa aksi yang sedang menjalankan haknya menyampaikan pendapat di muka umum.
“Kedua, Kapolri harus memastikan terbukanya akses bantuan hukum bagi massa aksi yang sedang ditangkap dan ditahan, serta segera membebaskan seluruh massa aksi yang berada dalam penangkapan dan penahanan,” jelas pernyataan tersebut.
Ketiga, Kapolri juga harus memastikan adanya proses hukum terhadap seluruh anggota Polri yang melakukan kekerasan dalam bentuk apapun. Memulihkan hak korban, keluarga korban, dan seluruh pihak yang terdampak.
Desakan keempat, Presiden sebagai atasan Kapolri harus menjalankan kewenangannya untuk menghentikan segala bentuk brutalisme aparat Polri serta tidak melakukan pembiaran terhadap pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dilakukan oleh anak buahnya;
“Kelima, Presiden harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Kapolri dan institusi Polri, untuk kemudian melakukan reformasi total atas kedudukan, kewenangan, tugas, dan fungsi Polri,” desak PSHK dan LBH Jentera.
Obrolan lengkap episode ini juga bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media berikut:
Baca juga:
- 48 Jam Lebih Demonstrasi “Tolak Tunjangan DPR”, Apa yang Perlu Kamu Tahu?