Perusakan nisan memiliki berbagai potensi ancaman selain intoleransi.
Penulis: Ken Fitriani
Editor: Sindu

KBR, Yogyakarta- Belasan makam bersalib dirusak di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul belum lama ini.
Menanggapi kejadian itu, Ketua Komisi bidang Ketertiban dan Kesatuan Bangsa (A) DPRD DIY, Eko Suwanto mengatakan, perusakan tersebut menunjukkan masih ada intoleransi yang jadi pekerjaan rumah (PR) pemprov.
"Bhineka Tunggal Ika harus terus digelorakan agar kita punya kesadaran bahwa memang hidup di Yogyakarta ini memiliki perbedaan-perbedaan cara pandang, yang menurut saya harus saling menghormati," katanya dalam konferensi pers di Gedung DPRD DIY, Rabu, (28/5/2025).
Eko menilai, perusakan nisan memiliki berbagai potensi ancaman selain intoleransi. Ancaman tersebut antara lain separatisme dan terorisme. Kedua hal tersebut harus menjadi perhatian semua pihak.
"Ini tentu saja menjadi potret betapa sinau Pancasila harus terus digelorakan dan diperkuat," ujarnya.
Kecaman
Eko menegaskan, Komisi A DPRD DIY mengecam perusakan makam tersebut karena bukan saja intoleran, tetapi melanggar etika dan norma di masyarakat. Ia menghargai proses hukum yang kini berjalan, namun pendampingan kepada pelaku juga perlu dilakukan agar tidak mengulangi hal serupa ke depan.
"Pemda DIY harus menjamin ini tak boleh terjadi lagi. Ini bukan kejadian pertama," tandasnya.
Eko meminta, kasus perusakan makam tak dibawa ke ranah SARA. Ia menilai, kejadian ini murni intoleransi yang tak terkait agama masing-masing.
"Saya menyoroti, pelaksanaan Perda Pendidikan Pancasila dan Wawasan Kebangsaan Nomor 1 Tahun 2022 harus dilakukan. Bagaimana pemda serius melakukan edukasi, pendidikan pada masyarakat," tegasnya.
"DIY memiliki Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, juga Perda Ketahanan Keluarga di mana keluarga punya tanggung jawab mendidik anaknya dengan baik. Kesadaran ini dan penanganan bersama harus dibangun dan dilakukan terus menerus," imbuh Eko.
"Komisi A akan membahas untuk 2026 agar metode sinau Pancasila disesuaikan dengan perkembangan zaman yang ada," ujarnya.

Imbauan
Pada kesempatan sama, Anggota Komisi A DPRD DIY, Radjut Sukasworo menambahkan, perusakan makam secara konstelasi atau keadaan sudah berubah, meski secara fisik pelaku sudah ditangkap. Namun, yang beredar di media sosial berubah, karena dibenturkan isu antaragama.
"Pelaku disebutkan beragama Kristen, tetapi keluarga melalui video menyatakan bahwa sejak kelas 6 SD sudah pindah agama. Kalau ini terus berkembang, menjadi bias persoalannya. Kami mengimbau masyarakat untuk mencermati sesuai berita sebenarnya," jelas Radjut.
"Mungkin karena keterbatasan pelaku masih muda dan dalam masalah keluarga. Harapannya ini tidak di bawa ke isu SARA," imbuhnya.
Ditangkap
Sebelumnya, Kepala Kepolisian Sektor Kotagede Kota Yogyakarta Basungkawa menjelaskan, terduga pelaku perusakan merupakan pelajar kelas 3 SMP di Kabupaten Bantul berinisial ANF beragama Kristen.
Ia dititipkan polisi ke Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Remaja (BPRSR) DIY yang berada di Kabupaten Sleman, sembari menunggu pemeriksaan lebih lanjut.
"Pelaku telah ditangkap pada 19 Mei 2025. Pelaku tidak ditahan di kantor polisi, namun sementara dititipkan di kantor BPRS karena riwayat kondisi kejiwaan bersangkutanan," jelasnya dalam konferensi pers di kantor Polsek Kotagede, Selasa, (20/5/2025).
Menurut Basungkawa, riwayat kejiwaan pelaku ditelusuri berdasarkan informasi dan riwayat yang dimiliki keluarganya. Katanya, kakak pelaku diketahui mengalami gangguan kejiwaan.
"Untuk kakak pelaku selama ini hanya berobat jalan, sedangkan untuk pelaku belum pernah dilakukan pemeriksaan," kata dia.

Tak Ada Motif SARA
Dari informasi yang diterima kepolisian, indikasi gangguan kejiwaan sudah muncul sejak pelaku masih duduk di kelas 1 SMP. Meski keluarga terduga memiliki riwayat kejiwaan, namun selama ini pelaku masih menjalankan aktivitas keseharian dengan normal. Ia juga aktif masuk sekolah dan masih mengikuti ujian.
"Hanya saja ketika ditangkap, komunikasi pelaku kadang ada hambatan berbicara. Namun, kami masih mendalami kondisi pelaku ini, soal kejiwaannya biar ahli yang menyimpulkan," ujarnya.
Basungkawa mengatakan, dari pemeriksaan sementara kepolisian, tidak menemukan motif berbau SARA dalam perusakan nisan tersebut.
"Pelaku melakukan aksinya sendiri, dia suka jalan kaki, kesehariannya tidak tidur di rumah, suka jalan-jalan terus, pagi sekolah pulang ganti, kadang berangkat sekolah, kadang tidak," paparnya.
Basungkawa belum membeberkan motif pelaku merusak nisan bersalib. Namun, ia membantah, saat ditanya apakah aksi pelaku dilatari kekecewaan pada agamanya sendiri.
"Kami belum mendalami soal (motif) itu, sementara hanya soal pelaku mengakui melakukan perbuatannya merusak nisan," paparnya.

Belasan
Dari informasi yang dihimpun, ada 11 nisan yang dirusak di dua makam Kecamatan Banguntapan Bantul. Sedangkan di Kota Yogyakarta ada lima nisan. Tepatnya di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Baluwarti Kembang Basen, Kecamatan Purbayan, Kotagede, Kota Yogyakarta.
"Pelaku terancam pasal 179 KUHP tentang tindakan menodai atau merusak kuburan dengan ancaman 1 satu tahun empat bulan," pungkas Basungkawa.
Kasus perusakan makam bukan kali pertama terjadi di DIY. Pada 2019, kejadian serupa pernah terjadi di beberapa nisan di Makam Bethesda, Yogyakarta.
Baca juga: