Demonstrasi diperlakukan sebagai ancaman, sementara pelanggaran aparat dibiarkan tanpa akuntabilitas.
Penulis: Dita Alyaaulia
Editor: Malika, Sindu

KBR, Jakarta– Aksi #BubarkanDPR pada 25-30 Agustus 2025 yang awalnya berlangsung damai berakhir jadi salah satu episode paling represif pascareformasi.
Menurut Wakil Ketua Riset Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana, massa yang turun dengan poster dan orasi dibubarkan paksa aparat hingga menyebabkan kepanikan.
“Mereka menggunakan kekuatan berlebihan termasuk senjata misalkan gas air mata, peluru karet. Bahkan, kita tahu bahwa Affan Kurniawan seorang pengemudi ojol meninggal karena dilindas mobil rantis,” ujar Arif kepada KBR, Selasa, (09/09/2025).
Data pemantauan YLBHI, ada skala represi yang meningkat. Sekitar 3.337 orang ditangkap di 20 kota dan 1.024 mengalami luka, dan 10 orang meninggal.
“Awal September merilis data di 20 kota di Indonesia yang berhasil kami pantau, ada sekitar 3.337 orang yang ditangkap kepolisian berkaitan aksi demonstrasi. Dan ada kurang lebih sepuluh orang meninggal, beberapa di antaranya dugaannya kekerasan aparat kepolisian,” kata Arif.
Pascapembubaran, penangkapan dilakukan secara acak. Banyak pelajar dan mahasiswa diciduk tanpa bukti cukup, bahkan hanya karena berada di sekitar lokasi.
“Ada 616 pengaduan yang masuk ke hotline kami di tim advokasi untuk demokrasi (TAUD) dan kami mencatat ada 399. Di antara pengadu itu adalah anak di bawah 18 tahun yang kemudian mengalami penangkapan oleh aparat penegak hukum. Dan ada kurang lebih 125 masih ditahan di antara beberapa yang kemudian dibebaskan,” jelas Arif.
Fenomena lain adalah banyak yang melaporkan kehilangan anggota keluarganya setelah aksi. Usai berhari-hari pencarian, mereka baru mengetahui kerabatnya ditahan di kantor polisi. Praktik ini, menurut YLBHI, sama dengan penghilangan paksa.
“Memang lagi-lagi penangkapan penahanan banyak dilakukan secara sewenang–wenang akhirnya keluarga banyak yang menganggap keluarganya hilang dan ini mirip penculikan sebetulnya secara praktik, bukan penegakan hukum,” ungkap Arif.

Diperlakukan Tak Manusiawi
Di balik jeruji, korban melaporkan perlakuan tidak manusiawi: dipukul, diancam, diperiksa tanpa pendampingan hukum, bahkan ditahan lebih lama dari aturan. Barang pribadi mereka disita tanpa izin pengadilan, sementara akses pendampingan hukum dihalangi aparat.
“Dan juga kita melihat bahwa penangkapan-penangkapan yang dilakukan itu disertai dengan tindakan kekerasan bahkan mengarah pada penyiksaan yang sifatnya sistematis,” kata Arif.
Bagi pelajar di bawah umur, syarat tambahan diberlakukan: mereka hanya bisa pulang bila orang tua menandatangani surat pernyataan tidak akan kembali ikut aksi. YLBHI menilai, langkah ini membatasi kebebasan berekspresi anak yang dijamin konstitusi.
“Penghalang-halangan akses bantuan hukum termasuk untuk para pelajar rata-rata kemudian kalau memang mau dijemput orang tuanya harus menandatangani surat untuk tidak lagi melakukan demonstrasi. Saya pikir ini bentuk pengekangan, pembatasan, kebebasan berpendapat berekspresi warga negara yang dijamin konstitusi dan itu dilakukan secara melawan hukum,” tegas Arif.
Empat Anak jadi Tersangka
Tercatat, ada empat anak ditetapkan tersangka perusakan kantor polisi oleh Polres Metro Jakarta Timur.
Merespons itu, Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kawiyan meminta penyidik menjalankan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dan Undang-Undang Perlindungan Anak saat penanganan mereka.
Menurutnya, UU Perlindungan Anak menjamin anak yang berkonflik dengan hukum diperlakukan manusiawi, memerhatikan kebutuhan sesuaiumur, mendapat bantuan hukum, bebas dari penyiksaan, tetap mendapatkan hak pendidikan, pelayanan kesehatan, dan didampingi orang tua atau wali.
"Aturan tersebut ada dalam Pasal 64 UU PA," kata Kawiyan kepada ANTARA, Senin, 9 September 2025, seperti dikutip KBR.

Tudingan Polisi
Selain anak-anak, ada tujuh tersangka yang ditangkap polisi karena dituding menyebarkan konten provokatif di media sosial pada aksi unjuk rasa 25–28 Agustus 2025. Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri bersama Polda Metro Jaya mengumumkan penangkapan mereka, yaitu:
· WH (31), pemilik akun Instagram @bekasi_menggugat.
· KA (24), mahasiswa semester 11, pemilik akun Instagram Aliansi Mahasiswa Penggugat dengan 202 ribu pengikut.
· LFK (26), pegawai kontrak, pemilik akun Instagram @edlarasfaizzati.
· CS (30), karyawan swasta, pemilik akun TikTok @JatJetMunik (dikenakan wajib lapor).
· IS (39), karyawan swasta, pemilik akun TikTok @HS02775.
· SB (35), karyawan swasta, pemilik akun Facebook Nano sekaligus admin grup WhatsApp Kopi Hitam/BEM RI.
· G (20), ibu rumah tangga, pemilik akun Facebook Bambu Runcing.
Polisi mengklaim, akun-akun tersebut menyebarkan manipulasi informasi, ajakan unjuk rasa, hingga hasutan penjarahan rumah pejabat. Para tersangka dijerat pasal berlapis UU ITE dan KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.
BBC Indonesia melaporkan, selain tujuh tersangka, aparat juga memproses aktivis dan pemengaruh, antara lain:
· Delpedro Marhaen (DMR), direktur Lokataru Foundation, pemilik akun @lokataru_foundation.
· Muzaffar Salim (MS), admin akun @bpp (Blok Politik Pelajar), ditangkap di kantin Polda Metro Jaya pada 2 September.
· Syahdan Husein (SH), terkait akun @GejayanMemanggil, ditangkap di Bali.
· Figha Lesmana, pemilik akun TikTok @tmg yang menyiarkan langsung aksi 25 Agustus dan ditonton 10 juta kali.
· RAP, pemilik akun Instagram @rap, dituduh menyebarkan tutorial pembuatan bom molotov.

Ferry Irwandi jadi Terduga
Sementara itu, empat jenderal TNI belum lama ini mendatangi Polda Metro Jaya, untuk berkonsultasi dengan jajaran kepolisian, Selasa, (10/9). Kedatangan mereka terkait dugaan tindak pidana yang melibatkan CEO Malaka Project, Ferry Irwandi.
Ferry Irwandi lantas menanggapi tindakan para jenderal tersebut. Melalui akun YouTube pribadinya, ia menyatakan tidak mengetahui persoalan yang dikonsultasikan TNI.
“Gua (saya) enggak tahu apa-apa, gua lagi main FIFA,” kata Ferry.
Ia juga menegaskan, tidak akan melarikan diri.
“Tenang aja Pak Jenderal, saya tidak pernah lari. Saya masih di Jakarta, saya tidak akan pergi ke Singapura, Cina, dan lain sebagainya, Pak,” ujarnya.
Ferry mengaku siap menghadapi jika aparat ingin memproses hukum.
“Tindakan ini dianggap bikin saya takut, khawatir, cemas, tidak Pak. Saya akan jalani, saya enggak akan playing victim, merengek-rengek, tidak. Kalau memang mau diproses hukum, ya, ini kan negara hukum. Kita jalani bersama saja,” jelasnya.
Menurut Ferry, hingga kini ia tidak mengetahui tuduhan pidana yang diarahkan kepadanya.
“Saya juga enggak tau tindak pidana apa yang saya lakukan. Hahaha. Ya, memang Republik ini pantas untuk pemerintah, aparat, dan sistem yang lebih baik,” katanya.
Dalam pernyataannya, Ferry menutup dengan penegasan bahwa gagasan tidak bisa diberangus.
“Satu hal yang selalu gue ingat adalah ide itu enggak bisa dibunuh ataupun dipenjara,” ucapnya.
Keadilan Restoratif
Data per Minggu, 8 September 2025, ada 5.444 orang ditangkap selama demonstrasi. Dari jumlah itu, 4.800 sudah dipulangkan Polri.
Menurut Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Kemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, masih ada 583 demonstran yang diproses hukum. Mereka kemungkinan akan diteruskan ke pengadilan jika sudah terkumpul cukup bukti.
Pemerintah mengklaim, massa yang ditahan didampingi penasihat hukum. Selama mereka ditahan, pemerintah memastikan berbagai haknya terpenuhi, seperti mendapat perlakuan manusiawi.
"Kalau tidak, maka negara wajib menyediakan pendampingan gratis (advokat) kepada mereka," katanya kepada ANTARA.
Selain itu, pemerintah bakal mengedepankan keadilan restoratif kepada tahanan anak yang ditangkap saat aksi demonstrasi, termasuk untuk para aktivis seperti Delpedro Marhaen.
Kata Yusril, aspek pendidikan dan pembinaan akan diutamakan kepada para tahanan anak ketimbang aspek penjatuhan hukuman. Sedangkan, untuk para aktivis yang masih ditahan bakal menunggu penyidikan.
Sebab, mekanisme keadilan restoratif baru bisa dilakukan ketika penyidik meyakini kasus itu bisa dilimpahkan ke ranah pengadilan.
Sebelumnya, permintaan penggunaan mekanisme keadilan restoratif juga disuarakan Menteri Hak Asasi Manusia (MenHAM), Natalius Pigai.

Tuntutan Rakyat 17+8
Namun, bukan keadilan restoratif yang diinginkan. Keinginan pendemo, koalisi masyarakat sipil, dan sebagian pihak lain adalah pembebasan seluruh demonstran yang ditangkap polisi. Poin ini tertuang juga di dalam Tuntutan Rakyat 17+8 yang disuarakan.
Seruan ini juga disampaikan ketika perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari sejumlah kampus bertemu pimpinan DPR.
Saat itu, Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, bakal berkoordinasi dengan kepolisian soal permintaan demonstran.
"Ini di luar yang melakukan tindakan anarkis yang memang terbukti," katanya usai serap aspirasi dengan sejumlah organisasi mahasiswa di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 3 September 2025.
Hilang?
Selain penangkapan, sejumlah orang dikabarkan masih hilang usai aksi demo. Catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), ada tiga orang yang hilang. Semula, ada delapan yang dilaporkan hilang, lalu berubah menjadi lima dan kini tiga.
Satu orang yang sempat dinyatakan hilang lantaran miskomunikasi dengan pelapor, sehingga hilang kontak. Satu lainnya, telah kembali ke rumah. Namun, belum diketahui apakah sekadar hilang kontak atau mengalami penghilangan paksa.
Lalu, satu di antaranya mengalami penghilangan paksa jangka pendek dan ditahan di Polres Jakarta Timur. Kondisinya luka dan lebam, diduga akibat penyiksaan.
Mengutip CNNIndonesia, mereka adalah:
1. Reno Syahputradewo
Hilang sejak: 30 Agustus 2025
Lokasi terakhir: Mako Brimob Kwitang
2. Muhammad Farhan Hamid
Hilang sejak: 31 Agustus 2025
Lokasi terakhir: Mako Brimob Kwitang
3. Bima Permana Putra
Hilang sejak: 31 Agustus 2025
Lokasi Terakhir: Glodok, Jakarta Barat
Bagi siapa pun yang mengetahui Informasi keberadaan orang hilang dapat disampaikan ke nomor 089635225998. Pengaduan orang hilang dapat disampaikan melalui formulir bit.ly/PoskoOrangHilang.

Alarm Demokrasi dan Keterlibatan Aparat
Analisis YLBHI, pola kekerasan yang terjadi tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari strategi sistematis negara membungkam kritik.
Aparat menggunakan kekuatan berlebihan, menghalangi bantuan hukum, hingga menyita barang pribadi warga tanpa prosedur. Sementara itu, korban sipil dibiarkan tanpa keadilan, sedangkan aparat yang terluka justru mendapat penghargaan.
“Bahkan ironisnya Presiden Republik Indonesia merintahkan kepada kapolri untuk memberikan penghargaan bagi kepolisian yang mengalami luka-luka. Sementara rakyat yang mengalami luka-luka, cedera serius, bahkan meninggal, ini tidak diproses hukum secara benar. Dan penegakan hukumnya juga masih tidak dilakukan,” kata Arif.
Arif mengatakan, laporan investigasi media juga menyebut ada dugaan keterlibatan TNI dalam kerusuhan. Beberapa anggota bahkan sempat tertangkap, namun kasus itu tidak diproses serius. Situasi ini membuat YLBHI mendesak pemerintah dan DPR membentuk tim investigasi independen.
“Dan kita tahu juga di lapangan kerusuhan ini didorong pihak-pihak tertentu. Dan di dalam investigasi salah satu media seperti Tempo menemukan ada keterlibatan tentara nasional Indonesia dalam kerusuhan. Dan saya kira ini harus dilihat secara cermat tidak boleh kemudian begitu saja menyalahkan warga negara, menyalahkan masyarakat yang menyampaikan pendapat di muka umum sebagai pelaku kambing hitam,” ungkap Arif.
Bagi YLBHI, gelombang represi ini alarm berbahaya bagi demokrasi. Demonstrasi diperlakukan sebagai ancaman, sementara pelanggaran aparat dibiarkan tanpa akuntabilitas.
“Kalau kemudian praktik-praktik antidemokrasi seperti ini itu dibiarkan, kami melihat bahwa negara melalui aparat kepolisian ingin menciptakan kondisi atau situasi yang aman dalam kacamata penguasa, kalau kemudian demonstrasi itu dimaknai sebagai ancaman terhadap negara artinya negara memusuhi rakyatnya,” tutup Arif.
Gelombang represi itu tidak hanya terjadi di jalanan. Aparat juga membidik ranah digital dengan menelusuri akun-akun media sosial yang dianggap menyebarkan informasi provokatif terkait aksi #BubarkanDPR.
Salah satu yang jadi sorotan dalam aksi demo akhir Agustus hingga awal September adalah keterlibatan para pelajar. Ratusan dari mereka ditangkap polisi saat menggunakan hak konstitusional. Ada yang terluka hingga jadi tersangka.
Peran pelajar membuat sebagian pihak mengeluarkan pernyataan. Semisal, juru bicara Polda Metro Jaya, Ade Ary Syam Indradi. Ia mengimbau, para pelajar tidak turun ke jalan saat jam sekolah. Sementara, Mendikdasmen Abdul Mu’ti meminta siswa di seluruh Indonesia tidak terprovokasi isu menyesatkan.
Suara Pelajar Melawan Stigma
Sebagian pelajar merespons narasi yang menyebut “pelajar tugasnya belajar, bukan ikut demo”. Salah satunya melalui akun Instagram resmi @senatgonzaga, SMA Kolese Gonzaga. Para siswa merilis pernyataan sikap pada 4 September 2025. Mereka menolak anggapan bahwa pelajar tidak boleh berpartisipasi dalam demokrasi.
“Sebagai pelajar SMA yang menjunjung tinggi nilai moral, serta berpegang pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, kami merasa berkewajiban untuk mengedepankan hati nurani, kecerdasan intelektual, kepedulian terhadap sesama, komitmen, kerendahan hati, dan integritas dalam menghadapi situasi ini,” bunyi pernyataan resmi.
Menurut para siswa itu, partisipasi generasi muda adalah bagian dari hak konstitusional yang sah.
“Kami menolak pandangan umum bahwa pelajar SMA, SMK, dan setingkat dianggap tidak perlu untuk berpartisipasi dalam kegiatan demokratisasi melalui kampanye media sosial, penyebaran petisi, penyuaraan aspirasi, dan sejenisnya. Sebab, bentuk-bentuk tersebut merupakan wujud nyata dari kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh Pasal 28 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945,” tegas mereka.
Para pelajar Gonzaga menekankan komitmen untuk terus bersuara kritis dan konstruktif demi terwujudnya demokrasi yang sehat di Indonesia.
“Sebagai pelajar Indonesia, kami menjunjung tinggi prinsip demokrasi dalam upaya memperjuangkan keadilan. Kami berkomitmen memberikan sikap tegas dan kritis dalam menanggapi seluruh dinamika sosial politik yang terjadi di tanah air. Semoga segala aspirasi dapat ditindaklanjuti penuh tanggung jawab dan transparan,” tutup pernyataan tersebut.
Baca juga: