Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) menilai penangkapan yang dilakukan terhadap para aktivis ini tergesa-gesa dan tanpa melalui prosedur hukum yang tepat.
Penulis: Naomi Lyandra, Shafira AM
Editor: Resky Novianto

- Penangkapan Delpedro dan tiga aktivis oleh Polda Metro Jaya dinilai dipaksakan serta cacat hukum oleh Tim Advokasi.
- Kasus ini memicu desakan penghentian kriminalisasi, penerapan keadilan restoratif, serta pembentukan Tim Pencari Fakta.
- Polda Metro Jaya membantah kejanggalan, menyatakan proses sesuai prosedur, dengan aktivis didakwa provokasi perusakan.
KBR, Jakarta- Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) menilai proses penetapan tersangka sekaligus penahanan aktivis Prodemokrasi terhadap Direktur Lokataru Foundation Delpedro Marhaen dan tiga aktivis lain terkesan dipaksakan oleh Polda Metro Jaya.
Menurut Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Dimas Bagus Arya, penangkapan terhadap DelPedro Marhaen, Muzaffar Salim, Syahdan Hussein, dan Khariq Anhar penuh kejanggalan dan cacat hukum.
“Kita bisa lihat konstruksi pasal yang dikenakan kepada empat orang ini, semuanya secara garis besar memang menjelaskan soal penghasutan. Padahal, kalau kita lihat bukti yang dipermasalahkan hanya satu postingan berupa ajakan untuk melaporkan aduan terkait dengan kekerasan aparat,” ujarnya dalam Diskusi Ruang Publik, Senin (8/9/2025).
Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) terdiri dari YLBHI, KontraS, LBH Jakarta, dan LBH Pers.
Dimas menilai penangkapan yang dilakukan terhadap para aktivis ini tergesa-gesa dan tanpa melalui prosedur hukum yang tepat.
“Laporan polisi itu 29 Agustus, lalu ada penangkapan kepada Pedro tanggal 1 September 2025. Kami lihat prosesnya sangat terburu-buru. Artinya ada pemaksaan, semacam witch hunting,” ucapnya.
Lebih jauh, Dimas menekankan perlunya penguatan lembaga pengawas. Ia pun mengingatkan ancaman bahaya bagi generasi muda ketika mereka berekspresi den berpendapat.
“Dengan mereka (aktivis) ditangkap, artinya semakin menjauhkan narasi generasi emas dan semakin mendekatkan asumsi publik bahwa bukan generasi emas yang akan dilahirkan, tapi generasi cemas,” terangnya.
Sementara itu, TAUD menyebut sudah mengajukan permohonan penangguhan penahanan terhadap Delpedro Cs.
Jangan Kambinghitamkan Aktivis
Aktivis lingkungan Karimunjawa, Jepara, Daniel Frits Maurits Tangkilisan meminta kepolisian menghentikan penangkapan sewenang-wenang terhadap aktivis dan masyarakat sipil lainnya terkait demonstrasi akhir Agustus.
Daniel Frits Maurits Tangkilisan, yang akrab disapa Daniel, adalah salah satu dari sekian banyak aktivis lingkungan yang dikriminalisasi karena memperjuangkan kelestarian alam di Indonesia.
Ia menilai tindakan penangkapan aparat terhadap aktivis melanggar prinsip-prinsip HAM.
"Jangan mengkambinghitamkan masyarakat. Jangan semena-mena menangkap. Pemerintah, DPR, TNI, Kepolisian harus introspeksi diri. Semua kemarahan masyarakat ini kenapa?. Kemarahan ini timbul itu karena ruang hidup masyarakat ini sudah dijarah duluan, sudah dirusak deluan. Kita disuruh bayar pajak tapi tidak berpihak pada masyarakat. Wajar jika masyarakat marah karena hak nya tak dipenuhi," ujar Daniel kepada KBR, Senin (8/9/2025).
Sebagai korban yang pernah dikriminalisasi, Daniel menyayangkan fenomena penangkapan terhadap masyarakat terus berulang. Ia pun mengecam aparat kepolisian yang kerap melakukan tindakan kekerasan.
"Ini saya jadi bertanya-tanya. Kenapa mereka selalu mengorbankan masyarakat?. Jangan-jangan ada yang mereka lindungi, jangan-jangan ada kepentingan tertentu," katanya.
Untuk itu, Daniel mendesak pemerintah bersikap tegas dan sungguh-sungguh berpihak pada rakyat.
Daniel juga mendorong teman-teman aktivis maupun mahasiswa untuk terus bersuara dan tidak takut dalam memperjuangkan hak-haknya sebagai warga Indonesia.
"Jangan diam lawan!,"tegasnya.

Kompolnas Memonitor Kasus Delpedro Cs
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Yusuf Warsyim, mengaku terkejut saat menerima kabar penangkapan Delpedro Cs.
“Tentu pada saat kita mendapatkan kabar tanggal 1 September bahwa Direktur Lokataru ada ditangkap, tentu kita sangat terkejut. Ada apa? Direktur kok ditangkap?” ujarnya dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (8/9/2025).
Ia menambahkan, Kompolnas memantau opini yang berkembang sekaligus memonitor langsung ke Polda Metro Jaya.
“Tentu ada bukti permulaan yang cukup, seperti itu yang dijelaskan oleh polda Metro Jaya. Namun apabila dalam 1x24 jam memang tidak ada cukup bukti yang jelas tentu dibebaskan,” katanya.
Yusuf menjelaskan bahwa tidak semua orang yang ditangkap lantas ditahan. Itu sebab, terkait Kasus Delpedro Cs, Kompolnas terus memantau mekanisme SOP kepolisian.
“Tidak semuanya kemudian ditahan setelah 1x24 jam banyak yang dibebaskan karena memang tidak cukup bukti melakukan anarkisme, pelanggaran hukum di saat menyampaikan pendapat di muka umum,” jelasnya.
“Ketika ada pelanggaran terhadap SOP tentu mekanisme internalnya sudah ada. Itu bisa dilakukan proses disiplin ataupun proses di Propam,” tambahnya.
Pemerintah Bicara Keadilan Restoratif
Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menyebutkan opsi penerapan keadilan restoratif alias restorative justice terhadap aktivis Delpedro Marhaen dan beberapa aktivis lainnya yang ditahan akan menunggu penyidikan.
Sebab, kata dia, mekanisme keadilan restoratif baru bisa diterapkan saat penyidik telah meyakini kasus tersebut bisa dilimpahkan ke pengadilan dengan cukup alat bukti.
"Kalau belum sampai ke tahap itu bagaimana kita mau melakukan restorative justice," ungkap Yusril dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (8/9/2025) dikutip dari ANTARA.
Maka dari itu meskipun opsi keadilan restoratif tetap dipertimbangkan, kata dia, namun penegakan hukum tetap harus berjalan dengan benar.
"Jangan kami lakukan restorative justice tapi orang ini sebenarnya apa benar dilakukan ini, apa enggak, kan bingung juga kami mau melakukan restorative justice ya. Supaya membuat masyarakat paham," tuturnya.

Sementara, Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai meminta proses hukum yang menjerat Delpedro diselesaikan secara keadilan Restoratif atau restorative justice.
Ia mengaku telah memberikan atensi khusus kepada masyarakat sipil yang terjerat kasus hukum usai gelombang unjuk rasa beberapa waktu lalu.
"Kalau itu melibatkan civil society, kami akan memberikan atensi. Karena kami ini berasal dari civil society. Kita akan berikan atensi. Paling tidak jalan keluar yang kita akan lakukan adalah restorative justice," kata Pigai di kantornya, Selasa (2/9/2025) dikutip dari ANTARA.
Bentuk TGPF untuk Cari Aktor Utama
Pakar Hukum Pidana, Chairul Huda menilai peristiwa unjuk rasa di Jakarta dan daerah lain di Indonesia perlu ditelisik lebih jauh lewat pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
Terkait penangkapan para aktivis yang dituding sebagai aktor penghasut demo, menurutnya hal itu perlu dibuktikan lebih mendalam lewat serangkaian penyidikan yang cermat.
“Itu nggak bisa lain, harus dilakukan tim pencarian fakta secara komprehensif oleh tim independen. Benarkah TNI ikut, katakanlah menjadi provokasi. Benarkah orang yang pakai hoddie putih, pake topi putih itu jadi provokator. Ini semuanya yang kemudian menjadi penyebab dari masa yang beringas, aparat yang represif,” katanya dalam Diskusi Ruang Publik KBR Media, Senin (8/9/2025).
Terkait dorongan restorative justice untuk penyelesaian kasus penangkapan aktivis prodemokrasi, Chairul mempertanyakan hal tersebut. Sebab, ada masalah utama yang menjadi inti dari demonstrasi besar pada akhir Agustus lalu.
“Tiba-tiba muncul isu berkenaan dengan restorative justice. Apa yang mau di-restore? Sementara kerugian hampir 1 triliun objek yang terbakar. Apa yang mau di-restore? Nggak relevan lah. Kalau teman-teman yang sekarang aktivis yang ditangkap ditahan, urusannya dengan restoratif nggak ada urusannya seperti itu,” terangnya.
Chairul justru mendorong agar penuntasan kasus demonstrasi Agustus lalu bisa ditemukan dan dibuktikan secara gamblang, sehingga ada pihak yang benar-benar bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.
“Temukan masalahnya apa ini. Kenapa bisa massa begitu beringas, benarkah aparat terlibat, TNI, Polri, intelijen terlibat dalam memprovokasi massa. Benarkah pembakaran itu dilakukan terencana? Penjarahan itu dilakukan terencana? Itu nggak mungkin (penyelidikan) dilakukan oleh kepolisian. Harus dilakukan oleh tim pencari fakta,” tegasnya.

Dalih Polisi
Polda Metro Jaya membantah pernyataan tim kuasa hukum Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Delpedro Marhaen dan para aktivis lainnya.
Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol. Ade Ary Syam Indradi, penegakan hukum oleh penyidik dilakukan berdasarkan fakta.
“Dasar tindakan dari penyidik adalah berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan, berdasarkan barang bukti yang ditemukan, dan berdasarkan alat bukti yang didapat,” kata Ade Ary kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Senin (8/9/2025) dikutip dari ANTARA.
Ade Ary juga mematsikan penyidik bekerja dengan cermat serta hati-hati dan tentu sesuai prosedur
“Polda Metro Jaya akan usut tuntas kasus ini sebagaimana SOP berlaku, secara profesional dan proposional,”tambahnya.
Delpedro dan Aktivis Lain Disangka Lakukan Provokasi Demo
Delpedro dan tiga tersangka lainnya ditangkap oleh Polda Metro Jaya atas dugaan provokasi untuk tindakan perusakan. Delpedro disangkakan melakukan tindak provokasi pada demonstrasi akhir Agustus di Jakarta.
Delpedro cs dikenakan Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan/atau Pasal 45A ayat 3 juncto Pasal 28 ayat 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan/atau Pasal 76H jo. Pasal 15 jo. Pasal 87 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Selain Delpedro, aktivis lain yang ditahan yakni Staf Lokataru, Muzaffar Salim; Admin Instagram @gejayanmemanggil, Syahdan Husein; dan admin Instagram Aliansi Mahasiswa Penggugat, Khariq Anhar.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media
Baca juga:
- Evaluasi Sekolah Rakyat: Catatan Kritis, Harapan, dan Tantangan
- Mengapa Pembatasan Informasi jadi Masalah Serius dalam Aksi Bubarkan DPR?