Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menolak anggapan bahwa ruang kebebasan telah sepenuhnya tertutup. Justru di tengah penyempitan ruang sipil, perlawanan warga menjadi faktor penentu. Mengapa?
Penulis: Dita Alya
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Kalender 2025 masuk di putaran terakhir, sebelum berganti tahun. Sejumlah catatan muncul di tahun pertama kepemimpinan baru era Presiden Prabowo Subianto. Beragam dinamika sosial-politik datang silih berganti, salah satunya peristiwa demonstrasi besar-besaran di berbagai daerah di akhir Agustus lalu.
Selain itu, ada pula kasus yang muncul berkaitan dengan program Makan Bergizi Gratis (MBG), proyek penulisan sejarah ulang RI, hingga pengesahan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan berlaku 2 Januari 2026.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai kondisi demokrasi Indonesia saat ini berada dalam fase kemunduran serius. Di tingkat elite, negara justru menjauh dari cita-cita keadilan dan kesejahteraan bersama, sementara di sisi lain, gerakan warga masih terus hidup dan menjadi sumber harapan untuk menahan laju kemerosotan tersebut.
Usman merujuk konsep imagined community dari Benedict Anderson untuk menggambarkan kontras tajam antara masa lalu dan kondisi hari ini. Jika dulu warga Indonesia tidak saling mengenal namun memiliki mimpi yang sama tentang keadilan, kesejahteraan, dan kemerdekaan, kini elite justru saling terhubung secara kekerabatan, tetapi memiliki mimpi yang berbeda-beda.
“Hari ini itu para elite kita punya mimpi yang beda-beda tentang jet pribadi, tentang perkebunan sawit, tentang tambang nikel, tapi saling kenal bahkan ponakan, adik ipar gitu. Jadi itu bedanya dalam refleksi Ben Anderson di zaman dulu itu orang-orang Indonesia Itu tidak saling kenal tapi punya mimpi yang sama,” kata Usman dalam Siaran Indonesia Baik Awards bertajuk “ Table Talk : Merawat Indonesia Baik, Harapan itu Masih Ada? Di Youtube KBR Media, Senin (15/12/2025).

Sorotan Elite Kekuasaan
Usman menilai gambaran Indonesia yang “baik” nyaris tak bisa ditemukan di level elite kekuasaan. Kerusakan lingkungan, konflik agraria, hingga punahnya ruang hidup satwa liar menjadi potret nyata dari kebijakan yang abai terhadap hak asasi dan keberlanjutan.
“Jadi kalau ditanya Indonesia baik? Tidak ada di atas itu Indonesia baik. Di tingkat elite itu yang ada Indonesia jahat. Lihat harimau mencari rumahnya, lihat orang hutan kehilangan rumahnya, lihat gajah itu mati. Elite-elite yang jahat. Yang baik ya masyarakatnya. Setiap hari kerja, ke sawah, ke pabrik gitu. Gojek (ojek online, red), panas-panas. Orang-orang Indonesia tekun kerjanya,” ujarnya.
Menurut Usman di tengah mengakarnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, ia melihat gerakan warga justru menjadi penyangga terakhir demokrasi. Serangkaian aksi protes dan konsolidasi publik dalam beberapa tahun terakhir ia nilai sebagai bentuk perlawanan yang menjaga harapan tetap hidup.
“Action is a mother of hope. Jadi selama ada tindakan itu, selama kita berkumpul mengambil tindakan. Selama itu pula lah harapan itu ada gitu. Tapi kalau kita udah masing-masing udah gak mau ketemu lagi. Ya itu mungkin harapan itu udah tidak ada,” katanya.

Kebebasan Sipil dan Ruang Demokrasi Menyempit
Usman mengingatkan bahwa ruang kebebasan sipil semakin menyempit. Kebebasan masih ada, tetapi dalam kondisi rapuh. Ia menyebutnya sebagai fainted liberty, kebebasan yang lemah di mana ekspresi pendapat masih dimungkinkan, tetapi menjadi berbahaya ketika warga mulai mengungkap penyalahgunaan kekuasaan atau memobilisasi protes di jalan. Kondisi itu, menurutnya, menunjukkan gejala negara yang bergerak ke arah otoritarianisme.
“Akibatnya kemarin Agustus itu 6.700 orang ditangkap, seribu tersangka, 600 ditahan. Sekarang sedang diadili gitu. Belum yang luka-luka, belum yang meninggal dunia, belum yang hilang dan selesai. Jadi itu ongkosnya. Itu yang disebut sebagai negara-negara otoritarian. Bukan berarti tidak ada kebebasan sama sekali,” ujarnya.
Usman bahkan sempat mengungkapkan kisah seorang pemuda bernama Azzril, 19 tahun. Azzril, disebutnya, mengalami kekerasan saat demo #BubarkanDPR, 25 Agustus 2025.
Tiga hari kemudian, Azzril dijemput polisi dini hari dan diperiksa tanpa pendamping keluarga. Kini, Azzril didakwa Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Usman bahkan menyebut Azzril sempat menulis surat tentang rasa sakit di kepala dan ketakutannya meski berada di balik jeruji besi tahanan.

Di sisi lain, Usman turut memperingatkan adanya kecenderungan glorifikasi kepemimpinan yang disertai delegitimasi institusi demokrasi, seperti media, partai politik, dan masyarakat sipil. Menurutnya, itulah ciri yang kerap muncul dalam negara-negara populis.
“Kok jadi kayak kesempatan untuk menglorifikasi kehebatan, kebaikan Prabowo, kebaikan orang-orangnya Prabowo,” ungkapnya
Di tengah krisis demokrasi yang kian dalam, Usman menegaskan bahwa daya juang warga yang terus bersuara, bergerak menjadi penahan terakhir agar Indonesia tidak sepenuhnya jatuh ke dalam kemunduran besar.
“Kemarahan kita semua harus dipertemukan. Lalu dirumuskan di dalam suatu tindakan yang membawa harapan. Karena kejahatan yang terorganisir itulah yang akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir. Itu kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib,” tutup Usman.

Demokrasi Tinggal Cangkang
Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Bivitri Susanti menilai demokrasi Indonesia saat ini hanya tersisa bentuk luarnya. Institusi terlihat megah dan prosedur tetap berjalan, tetapi substansi demokrasi yakni keterwakilan dan keadilan kian menghilang.
“Substansi yang saya maksud adalah bagaimana mereka mewakili kita. Jadi makanya kalau kita lihat misalnya undang-undang, undang-undangnya buat siapa? Benar buat kita? Orang nyatanya undang-undang BUMN aja sudah direvisi dua kali dalam setahun ini. Cuma gara-gara pemerintah mau satu bikin danantara, kedua baru berapa bulan direvisi, direvisi lagi cuma untuk masukin direktur bisa dari WNA. Itu contoh simple untuk nunjukin bahwa bikin undang-undang mau-maunya mereka aja,” kata Bivitri dalam Siaran Indonesia Baik Awards bertajuk “ Table Talk : Merawat Indonesia Baik, Harapan itu Masih Ada? Di Youtube KBR Media, Senin (15/12/2025).
Dalam konteks hukum, Bivitri yang turut terlibat dalam serial film “Dirty Vote” menilai prinsip equality before the law semakin kehilangan makna. Menurutnya, rancangan KUHAP justru memperlebar ketimpangan antara elite dan warga biasa
“Di kepala dia bisa dikontrol, kenapa? Karena dia gampang aja. Satu dia bisa ngeluarin pin dia, oh saya anggota DPR. Pada tau gak anggota DPR itu gak bisa langsung disidik sama polisi loh, harus izin presiden. Atau kedua dia tinggal telpon aja lawyer-nya yang dibayar mahal per jam. Tolong nih saya misalnya di ancam apa gitu sama polisi. Lah kita ada polisi datang, mau apa? Jadi beda POV ini yang di dunia politik. Mereka kelakuannya jahat tapi yang di bawah yang pun kena dalam hukum,” imbuhnya.

Perlawanan Masyarakat Jadi Tumpuan Demokrasi
Namun, Bivitri menolak anggapan bahwa ruang kebebasan telah sepenuhnya tertutup. Justru di tengah penyempitan ruang sipil, perlawanan warga menjadi faktor penentu yang menjaga sisa-sisa demokrasi.
“Kita merawat harapan itu. Karena kita berusaha untuk melawan. Dan ketika demokrasi itu saya membayangkan sudah kayak sarang laba-laba tipis mau jatuh. Nah yang bisa mempertahankan itu adalah warga. Dengan segala macem, komika bikin jokes yang sebenarnya sarkas kadang-kadang,” katanya
Ia menekankan pentingnya memperkuat jejaring solidaritas lintas sektor dan lintas generasi agar warga tidak terjebak dalam rasa takut yang disengaja untuk membungkam kritik.
“Kita jadi tiarap nanti malah mereka menang karena itu tujuan mereka. Bikin kita takut tiarap nggak ngomong lagi. Menurut saya supaya kita tetap berani bersolidaritas jaringan kita yang harus makin kuat dan juga menguatkan titik-titik tertentu,” ujarnya
Menurut Bivitri, perubahan tidak akan datang secara instan melalui revisi undang-undang atau janji elite politik. Ia menyebut upaya perlawanan ini membutuhkan “kesabaran revolusioner” kerja kecil yang konsisten dan saling terhubung untuk menciptakan perubahan jangka panjang
“Kecil-kecil-kecil tapi sebenernya inilah yang akan pelan-pelan bikin membawa perubahan. Dan jangan berharap bahwa itu akan terjadi 1-2 tahun aja. Dan juga jangan berharap bahwa eh kita tunggu deh sampai negara merevisi undang-undang KUHAP lagi. Aduh saya udah tidak percaya tuh. Kita yang harus bergerak,” katanya.

Media dan Demokrasi Sama-sama Rapuh
Jurnalis senior Ahmad Arif menilai kondisi sosial-politik Indonesia kian memburuk, ditandai oleh melemahnya demokrasi, ketimpangan dampak krisis iklim, serta rapuhnya ekosistem jurnalisme. Elite politik dinilai abai terhadap penderitaan yang terus menumpuk. Ia mengaku kemarahannya kian bertambah usai mengikuti konferensi iklim di Belém, Brasil.
“Dalam pavilion Indonesia, di dalam perundingan lebih sibuk menjajakan karbon ke para investor. Karbon kredit yang belum jelas itu menawarkan hutan kita. Dan seterusnya dengan menutupi berbagai macam persoalan yang ada, masyarakat adat yang memiliki hutan yang tidak diakui, yang sampai sekarang dan kerentanan yang ada terkait iklim justru tidak dibicarakan di situ,” kata Arif dalam Siaran Indonesia Baik Awards bertajuk “ Table Talk : Merawat Indonesia Baik, Harapan itu Masih Ada? Di Youtube KBR Media, Senin (15/12/2025).
Dalam konteks demokrasi, ia menyebut pekerjaan jurnalis kini semakin berat. Bukan semata karena represi langsung, melainkan karena ekosistem media yang kian ringkih dan tidak sehat untuk menjalankan fungsi pengawasan secara optimal.
“Saya yakin tidak ada lagi media di Indonesia yang mau mengeluarkan dana untuk membiayai jurnalisnya ke lapangan melakukan investigasi. Kami nunggu fellowship. Belum lagi ketika mau melakukan peliputan yang kritis nanti iklan gak datang nih. Kita udah susah nih ekonomi kita. Saya yakin itu terjadi. Sehingga apa? Sulit nih sekarang kalau hanya sendirian media untuk bersuara,” ujar Arif.

Kolaborasi untuk Supremasi Sipil
Meski demikian, ia menegaskan bahwa daya juang warga belum padam. Justru di tengah krisis inilah, inisiatif kolaboratif antara jurnalis, akademisi, masyarakat sipil, komika, hingga komunitas warga menjadi semakin penting.
“Harus saling dukung, harus saling kuat. Menurut saya itu satu-satunya senjata yang sekarang kita punya untuk menghadapi situasi seperti itu. Terutama ketika rezim semakin menguat dan demokrasi semakin melemah seperti sekarang,” katanya.
Arif mengakui harapan tentang “Indonesia baik” kini terasa semakin berat. Persoalan lingkungan, sosial, dan politik saling berkelindan dan terjadi secara bersamaan. Namun, ia meyakini setiap zaman akan melahirkan pahlawannya sendiri mereka yang memilih tetap bersuara dan bertahan.
“Negara ini, bumi ini bukan hanya untuk kita. Kita mungkin mewarisi yang lebih baik dan itu yang harus kita wariskan seharusnya menjadi lebih baik untuk anak-anak kita. Walaupun itu berat tetapi tetap harus disuarakan,” ujarnya.

Humor Sebagai Bahasa Perlawanan
Sementara itu, Komika Eky Priyagung menilai praktik “no viral, no justice” kian menegaskan rusaknya sistem keadilan, sekaligus mendorong warga mencari cara lain untuk tetap bersuara.
“Jadi ya beginilah kita dipaksa waras di negara yang sakit. Jadi aku ngerasa sebagai seorang stand up komedian, belakangan diundang untuk ngomong jauh lebih serius. Karena pejabatnya yang lucu,” kata Eky
Menurutnya, situasi sosial-politik saat ini memaksa komedian dan warga beradaptasi dalam menyampaikan kritik. Satire dan bahasa berkode menjadi strategi agar pesan tetap tersampaikan tanpa harus berhadapan langsung dengan risiko pembungkaman.
“Jadi kayaknya kita ini sesama rakyat dipaksa untuk punya sinyal-sinyal kode buat berkomunikasi,” ujarnya.
Eky juga menyinggung anggapan bahwa karya seni besar kerap lahir dari negara-negara yang represif. Namun, ia menegaskan kondisi tersebut bukanlah sesuatu yang layak dirayakan.
“Katanya seniman yang hebat sering diciptakan di negara-negara yang sangat represif. Makanya aku semoga itu tidak perlu terjadi teman-teman. Mending tidak usah jadi seniman hebat. Seniman yang nyaman aja deh,” katanya.

Mengkritik Lewat Karya Seni
Ia menilai transformasi kritik ke dalam bentuk budaya popular seperti komedi, animasi, dan ekspresi kreatif lain membantu warga memahami realitas negara tanpa harus menelan kepahitan secara mentah.
“Karena kita kan kalau ngeliat sesuatu real banget kadang sakit banget ya karena ini beneran. Jadi ketika ditransformasi jadi pop culture tertentu atau hal-hal yang bisa kita nikmati gitu dalam konteks ini adalah kesenian misal animasi gitu. Sehingga akhirnya kayak oh iya kita ternyata ini tuh deket sama Indonesia terus kita jadi lebih kritis,” ujarnya.
Di tengah tekanan hukum, sensor, dan ketidakadilan yang kerap bergantung pada viralitas, Eky melihat tumbuhnya kesadaran kolektif sebagai tanda bahwa daya juang warga belum padam.
“Jadi masih ada harapan sebenarnya buat ke depannya karena pasukan yang sadar makin banyak harusnya sih,” pungkasnya.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube KBR Media:
Baca juga:
- Negara Gagal Jamin Hak Berkumpul: Bedah Buku “Reset Indonesia” Dibubarkan di Madiun





