ragam
Kopdes Merah Putih Hadir, Siapa Bertahan dan Tersingkir?

“Bisa saja nanti si Kopdes dan si kepala desanya menggunakan otoritasnya. Semua sekarang pesannya harus melalui desa. Nah, itu yang bahaya banget.”

Penulis: Wahyu Setiawan, Muji Lestari

Editor: Ninik Yuniati, Malika

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
Kopdes Merah Putih Hadir, Siapa Bertahan dan Tersingkir?
Warga membawa gas elpiji 3 kilogram yang dibeli di Koperasi Desa Merah Putih Sarakan, Kabupaten Tangerang, Rabu (10/9/2025). ANTARA FOTO/Putra M Akbar

KBR, Jakarta - Rabu, 15 Oktober 2025 ditetapkan sebagai awal dimulainya pembangunan gerai dan gudang Koperasi Desa Merah Putih oleh Menteri Koperasi Ferry Juliantono. Hal itu dia utarakan usai acara Kadin Indonesia di Jakarta, Jumat (10/10). Politikus Gerindra ini menargetkan seluruh pembangunan fisik Kopdes rampung Maret 2026. 

"Jadi nanti Januari sampai dengan Maret kami akan tuntaskan pembentukan fisik dan operasional dari Koperasi Desa dan Kelurahan Merah Putih," kata Ferry di Jakarta, Jumat (10/10/2025).

Kopdes Merah Putih digadang-gadang bakal menjadi solusi menyejahterakan masyarakat desa. Keyakinan itu disampaikan Presiden Prabowo Subianto saat Peluncuran Kelembagaan Koperasi Desa dan Kelurahan Merah Putih di Klaten, Jawa Tengah, Juli 2025 lalu.

Kepala Negara beranggapan, melalui Kopdes, masyarakat bisa gotong-royong membangun perekonomian di desa menjadi lebih kuat.

“Jadi saudara-saudara, koperasi ini adalah usaha besar, strategis. Akhirnya saya memutuskan, daripada kita bikin satu koperasi, lima koperasi, seratus koperasi, kita berani. Kita bikin koperasi di semua desa, di semua kelurahan di Indonesia,” kata Prabowo dalam sambutannya, Senin (21/7/2025).

Tak tanggung-tanggung, Kopdes Merah Putih juga menyandang status sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).

Dengan begitu, program ini bakal mendapat dukungan lintas kementerian, keleluasaan regulasi, hingga percepatan realisasi anggaran.

Namun, hal itu justru membuat khawatir Erlina –bukan nama sebenarnya.

Terbersit dalam pikirannya: apa jadinya jika nanti Kopdes Merah Putih punya bisnis yang sama dengan koperasinya?

“Seumpama jadi itu (Koperasi) Merah Putih di setiap kelurahan dan desa, apalagi kalau banyak dananya di sana, pastilah bersaing.  Kalau kami, kan, sekitar anggota aja yang beli di situ. Kalau ini (Kopdes, red) kan, luas di seluruh masyarakat,” tutur Erlina saat dihubungi KBR, akhir September 2025.

Perempuan paruh baya yang tinggal di Indonesia bagian Timur itu merupakan pegiat koperasi UMKM di desanya.

red
Wakil Menteri Koperasi Farida Farichah memberikan arahan saat meninjau gerai agen sembako Koperasi Kelurahan Merah Putih Makassar Timur, Ternate, Maluku Utara, Jumat (3/10/2025). ANTARA FOTO/Andri Saputra
advertisement

Dibentuk Mendadak, Sepi Aktivitas

Pada Maret 2025, Erlina mendapat undangan untuk hadir di kantor kelurahan.

“Ada undangan lewat WhatsApp, katanya mau pembentukan (Koperasi) Merah Putih,” cerita perempuan 56 tahun itu.

Erlina tak menyangka kegiatan itu ternyata pemilihan pengurus Kopdes Merah Putih.

Lebih tepatnya, penunjukkan.

Saat itu, kata dia, ada 10 orang tokoh masyarakat yang hadir.

“Saya bilang 'bagaimana kita diadakan ini secara voting?' Tetapi pada waktu itu dia (Camat dan Dinas Koperasi) katakan tidak sempat, karena ini waktu sudah mepet. Langsung penunjukkan saja. Lho, kok penunjukkan berarti itu di dalamnya sudah ada diincar-incar begitu,” pikirnya.

Erlina ditunjuk menjadi pengawas Kopdes Merah Putih.

“Ketua (Kopdes) laki-laki, bendahara laki-laki, sekretaris laki-laki, akan ada bidang-bidangnya juga di bawah. Ada bidang usaha. Laki-laki semua. Saya sendiri perempuan,” kata dia.

Namun, setelah Kopdes resmi terbentuk, nyaris tak ada aktivias apapun.

“Hahaha iya saya ketawa karena masak sudah terbentuk sampai sekarang belum ada satu kata pun. Sampai sekarang belum ada kegiatan apa-apa, sampai sekarang belum ada pertemuan,” Erlina- bukan nama sebenarnya- salah satu pengawas Kopdes Merah Putih.

Ada grup Whatsapp pengurus Kopdes, tetapi tidak ada percakapan berarti. Anggota pun belum ada.

“Dia cuma ngurus-nguru legalitasnya, itu doang. Dia hanya ketua, bendahara, sekretaris, kalau kami (pengawas-red) tidak. Hanya nyundul-nyundul saja di WhatsApp, baca-baca, itu itu aja,” ceritanya.

Pembentukan Kopdes terasa janggal bagi Erlina yang sudah belasan tahun aktif berkecimpung mengurus koperasi.

Berkaca pada pengalaman kelompoknya membangun koperasi UMKM, setidaknya butuh empat tahun persiapan.

Prosesnya pun dimulai dari bawah, bukan instruksi dari atas.

“Kalau tidak ada bekal itu, kalau saya pribadi, pengorganisasinya ya sangat meragukan, apalagi kalau uang dikelola,” ujarnya.

Erlina sejatinya tak berminat mengurusi Kopdes Merah Putih.

Baginya, mengembangkan koperasi yang sudah ia bangun tentu lebih masuk akal.

red
Kader Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) berfoto bersama. (Dok pekka.or.id)
advertisement

Koperasi Pekka Terancam

Kegelisahan serupa juga mengusik batin Romlawati, Wakil Pengurus Harian di Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka).

Saat KBR temui di kantornya, Agustus 2025 lalu, Romla baru kembali ke Jakarta dari kunjungan ke kelompok-kelompok dampingan di berbagai daerah.

Romla mengaku banyak kader mengeluhkan keberadaan Kopdes Merah Putih di desa mereka.

“Usaha yang akan dikembangkan oleh koperasi (Merah Putih-red), beberapa, kan, berimpit dengan koperasi-koperasi yang sudah ada, termasuk dengan Koperasi Pekka, misalnya kegiatan simpan pinjam, ibu-ibu Pekka sudah dari dulu melakukan ini,” katanya.

Pekka sudah berkiprah lebih dari satu dekade dengan ribuan kader di seluruh Indonesia. Fokus kerjanya pada pemberdayaan ekonomi dan peningkatan kapasitas perempuan kepala keluarga.

Mereka mengembangkan 79 koperasi dan berbagai unit usaha, termasuk gerai grosir Pekka Mart.

“Kegiatan usaha berikutnya yang cukup akan bersaing ketat dengan Pekka adalah sembako. Ibu Pekka, kan, sudah punya Pekka Mart yang menjual produk-produk sembako dan scope-nya ada di desa. Jadi dia menjadi persaingan sama-sama konsumennya orang desa seputaran itu. Itu cukup membuat kekhawatiran ibu-ibu dalam beberapa bulan ini,” keluhnya.

Selain itu, sejumlah pengurus Koperasi Pekka di beberapa daerah juga ditarik menjadi pengurus Kopdes Merah Putih.

“Pekka pasti terganggu dengan Koperasi Desa. Terganggunya itu kader-kader pengurusnya Pekka banyak dilamar menjadi pengurus Kopdes,” kata Romlawati, Wakil Pengurus Harian Yayasan Pekka.

“Itu menjadi dilematis buat ibu-ibu ya, (jika) menolak, nanti khawatirnya mereka akan menghadapi, ya mungkin gak langsung intimidasi. Tetapi kemudian layanan-layanan yang harusnya diberikan oleh pemerintah desa jadi mereka dipersulit,” tutur Romla.

Menyikapi hal ini, Yayasan Pekka memutuskan tidak boleh ada pengurus koperasi Pekka yang merangkap jabatan sebagai pengurus Kopdes Merah Putih.

“Silakan jadi pengurus Koperasi Desa, tetapi berarti melepaskan jabatannya di Pekka, jadi jangan double,” tukasnya.

Romla sudah pernah mengutarakan uneg-uneg-nya ketika dimintai masukan soal pengembangan Koperasi Merah Putih.

“Saya ngomong sama Kementerian Koperasi, itu Mei kayaknya. Saya bilang, 'kenapa sih fokusnya membentuk? Pekka itu sudah punya 75 lebih koperasi. Kenapa tidak menggunakan koperasi yang sudah ada?' Pokoknya semua menteri jawabannya sama. Ini instruksi Presiden, jadi kami harus membentuk. Sudah, harga mati,” kata dia.

Baca juga: Koperasi Desa Merah Putih: Solusi Ekonomi Baru atau Mengulang Sejarah Kelam KUD?

Dengan statusnya sebagai PSN, Kopdes Merah Putih mendapat berbagai fasilitas, seperti pinjaman modal dari bank serta dukungan dana desa.

Romla khawatir, Kopdes Merah Putih bakal memonopoli pasar, menggerus usaha para kader Pekka, dan mengancam keberlangsungan koperasi lain yang sudah tumbuh lebih dulu.

“Itu memang mengkhawatirkan kalau prosesnya diimbangi misalnya dengan cara-cara pemaksaan dan sebagainya. Karena, kan, mereka punya infrastruktur. Desa, misalnya, punya sembako,” ungkapnya.

Ia mencontohkan, ada desa yang selama ini memesan katering ke ibu-ibu Pekka tiap kali menyelenggarakan rapat.

Bukan tak mungkin, desa nantinya mengalihkan pesanan ke Kopdes Merah Putih.

“Bisa saja nanti si Kopdes dan si kepala desanya menggunakan otoritasnya. Semua sekarang pesannya harus melalui desa. Nah, itu yang bahaya banget memang,” tuturnya.

red
Pembeli memilih sembako di Koperasi Kelurahan Merah Putih Bukit Tunggal, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Selasa (7/10/2025). ANTARA Foto/Auliya Rahman
advertisement

Kopdes vs BUMDes

Pihak desa pun sebenarnya juga ketar-ketir. Sebab, belum tuntas mengurusi pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), sudah diserahi tugas baru membangun Kopdes.

“Awal-awal mungkin juga agak pesimistis karena di tingkat desa, kan, sudah ada BUMDes. Takutnya ke depan akan ada persaingan usaha dengan BUMDes,” kata Suhartoyo, Kepala Desa Klotok di Tuban, Jawa Timur.

Senada, Erwin Pribadi, Kepala Desa Kepatihan di Jombang, Jawa Timur, mengutarakan kebingungannya.

“Belum lagi ditambah desa punya program ketahanan pangan yang mana BUMDes dituntut tahun ini juga dengan anggaran yang menurut saya fantastis minimal Rp150 juta - Rp300 juta,"

"Hari ini mereka juga dipaksa membuat usaha profit oriented yang berkelanjutan dan itu bisa melibatkan masyarakat, stakeholder di lingkungan sekitar. Pertanyaan saya, apakah enggak tabrakan ini dengan Koperasi Desa Merah Putih?” Erwin gusar.

Dia mempertanyakan alasan pemerintah mengharuskan semua desa dan kelurahan mendirikan Kopdes.

“Kan enggak mungkin mereka saya adu di lapangan kuat-kuatan. Ini yang saya enggak habis pikir ya, pemerintah membuat peraturan dengan satu obyek dengan dua peraturan, dengan dua kegiatan yang hampir beririsan,” kata Erwin, Kepala Desa Kepatihan di Jombang, Jawa Timur.

Pertanyaan yang muncul di benaknya: mau dibawa ke mana BUMDes dan Kopdes ke depan? Dan mampukah berjalan beriringan?

Banyak faktor yang ia persoalkan, salah satunya minimnya SDM berkualitas. Sangat mungkin BUMDes dan Kopdes bakal berebut kader. 

“Dan tidak ada larangan pengurus BUMDes juga merangkap sebagai pengurus koperasi,” ujarnya.

Padahal, BUMDes dan Kopdes bakal mengakses sumber anggaran yang sama: dana desa.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021, modal BUMdes salah satunya berasal dari APBDesa.

Sedangkan Kopdes Merah Putih, bisa menggunakan dana desa sebagai angsuran pinjaman ke bank maksimal 30 persen per tahun.

Lantas bagaimana nasib BUMDes?

“Permendes yang sekarang ini, kan, desa diwajibkan mengalokasikan 20 persen untuk ketahanan pangan melalui BUMDes. Nah, tahun depan mungkin BUMDes sudah tidak dikasih lagi anggaran 20 persennya itu dialihkan ke koperasi,” curiganya.

Yang bikin Erwin jengkel...

“Lah nek BUMDes karuan (jelas) memberikan keuntungan pada desa. Koperasi enggak! Koperasi memberikan keuntungan kepada anggota. Ya kan?”

red
Laporan CELIOS soal Koperasi Desa Merah Putih (2025)
advertisement

Terlempar dari Pasar

Karut-marut Kopdes Merah Putih di lapangan tercermin dalam riset Center of Economic and Law Studies (CELIOS).

Lebih dari 30 persen kepala desa khawatir Kopdes akan berdampak negatif terhadap keberlanjutan BUMDes.

“Itu adalah kegelisahan yang mendasar. Jadi bukan hanya memengaruhi daya saing berkembangnya BUMDes, tetapi sekaligus menambah beban dari aparatur desa juga secara tidak langsung,” kata Galau Muhammad, peneliti CELIOS, saat dihubungi KBR, awal Oktober 2025.

Jauh sebelumnya, kekhawatiran semacam itu sudah ditepis Menteri Desa Yandri Susanto.

Dia yakin BUMDes dan Kopdes tak akan saling mematikan.

Yandri bilang, BUMDes diarahkan untuk menggarap usaha berskala korporasi, sedangkan Kopdes ke usaha ritel seperti sembako dan simpan pinjam.

“Arahan Bapak Presiden, BUMDes jalan terus, Koperasi Desa jalan terus. Jadi enggak akan ada saling meniadakan. Yang sudah punya usaha BUMDes jalan terus,” kata Yandri dalam keterangannya, Juni 2025.

Pemerintah juga bakal menerbitkan panduan untuk mengatur pola kerja kedua unit usaha itu supaya tidak tabrakan.

“Nanti akan kami edarkan hubungan koordinasi atau kerja sama antara BUMDES sama Koperasi Desa Merah Putih. Yang pasti tidak akan terjadi benturan,” klaimnya.

red
Presiden Prabowo Subianto memberi sambutan saat peluncuran Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih di Desa Bentangan, Klaten, Senin (21/7/2025). ANTARA FOTO/Galih P
advertisement

Galau Muhammad, peneliti CELIOS, sangsi dengan klaim tersebut.

Menurutnya, Kopdes berpotensi mendominasi pasar, karena menyandang label program prioritas Presiden. Apalagi jika lini usaha Kopdes sama dengan BUMDes maupun usaha lain, seperti yang dibangun Pekka.

“Ini akan semakin membuat ruang gerak dan urgensi masih ada BUMDes di desa itu semakin tidak relevan ketika sudah ada Kopdes,” kata Galau.

Menggabungkan BUMDes dan Kopdes Merah Putih juga bukan jawaban. Keduanya punya dasar hukum, tujuan kelembagaan, serta struktur organisasi yang berbeda

Pertanyaannya kemudian: apakah yang sedang dibangun adalah kemandirian desa atau justru sebuah struktur kuasa baru.

“Karena memang kita sedang membangun organ baru dengan struktur yang bersama. Otomatis ini akan segera digeser,” pikirnya.

Baca juga: Kelimpungan Kejar Tayang Ribuan Kopdes Merah Putih

Ketika usaha-usaha tersebut disuntik dana besar oleh negara, pelaku lokal yang tidak memiliki perlindungan atau daya saing setara akan terlempar dari pasar.

Kopdes bisa membunuh ragam usaha lokal dan menghancurkan ekosistem berbasis komunitas yang selama ini berkembang di desa.

“Pak Prabowo ingin merevitalisasi narasi koperasi ini sebagai daya tanding. Jadi unit tandingan di desa dan dia mau declare bahwa ini solusi atas permasalahan ekonomi, perputaran uang di desa,” ujar Galau.

Padahal, belum tentu Kopdes Merah Putih yang digagas Prabowo, bisa diterapkan di semua tempat.

“Kalau kita lihat jawaban top down atau memaksakan semua unit usaha ada dalam satu payung Kopdes Merah Putih ini, rasa-rasanya sangat berkontradiksi dengan ide pemberdayaan diversifikasi ekonomi yang ada di desa. Karena biasanya inisiatif itu muncul dari kondisi dan kebutuhan yang sangat organik dan unik di desa,” kata Galau Muhammad, peneliti CELIOS.

Yang Penting Bisa Makan

Kini, kehadiran KopdesMerah Putih justru menjadi ancaman bagi kelangsungan usaha lain yang lebih dulu tumbuh. 

Beberapa pelaku UMKM di desa khawatir, usahanya makin tersisih dan berdampak pada kesejahteraan mereka.

“Yang paling penting ibu-ibu Pekka ini dan keluarganya masih tetap bisa makan, pentingnya itu," tutur Romlawati, Wakil Pengurus Harian di Yayasan Pekka.

"Jadi kalau kondisinya terburuk dengan si Kopdes ini kemudian akhirnya secara penghasilan mereka menurun sama sekali untuk ini, mereka masih bisa pakai dengan sistem barter di antara kawannya agar pangannya tetap ada,” ungkapnya.

Romla bersama anggota Pekka lain, sudah ancang-ancang menyiapkan mitigasi jika koperasi dan usaha mereka tergerus Kopdes Merah Putih

Salah satu skenario yang terlintas di benaknya adalah kembali ke sistem barter.

Pola ini sempat diterapkan di Nusa Tenggara Timur (NTT) saat pandemi COVID-19.

“Misalnya mereka punya pisang, kalau yang di daerah, dia butuh singkong sebagai makanan pokoknya, bisa ditukar. Koperasinya bisa memainkan antardesa, desa yang sana adalah di daerah laut ikannya banyak, tapi enggak punya jagung, enggak punya singkong sebagai bahan pokoknya, maka bisa saling tukar,” tuturnya.

Ini bukan perkara sepele, bagi Romla, sampai-sampai ia menyamakannya dengan situasi krisis pandemi.

Baca juga: Mau Dibawa ke Mana Ekonomi Indonesia, Pak Purbaya?

Pasalnya, banyak kader yang menggantungkan hidup dari koperasi Pekka. Jika ceruk usaha mereka dimatikan oleh Kopdes Merah Putih, maka ceruk-ceruk baru lain mesti dibuka.

“Kami sudah menyiapkan pasar lokal yang bisa ibu-ibu jual itu macam-macam, ada yang mingguan, ada yang seminggu dua kali, ada yang masih baru sebulan dua kali, tergantung kebutuhan. Nanti misalnya Kopdesnya jalan, ibu-ibu butuh ruang untuk memperluas pasar mereka, ya tinggal pasar lokalnya ditambah, waktu pelaksanaannya sebagai tempat untuk mereka berjualan,” pungkas Romla. 

Penulis: Wahyu Setiawan, Muji Lestari

Editor: Ninik Yuniati, Malika

koperasi desa
ekonomi
Presiden prabowo
desa

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...