Penelusuran KBR di beberapa wilayah menunjukkan pembentukan koperasi desa merah putih dipaksakan, tanpa kajian matang.
Penulis: Arie Nugraha, Anindya Putri, Muji Lestari, Wahyu Setiawan, Zainudin Syafari
Editor: Ninik Yuniati, Malika

KBR, Jakarta - Suatu hari di Februari 2025. Suroto menerima pesan dari seseorang, yang ia tahu orang dekat Presiden Prabowo Subianto.
Isinya undangan ngobrol-ngobrol soal pengembangan koperasi di Indonesia.
Lokasi pertemuan, sebuah rumah di Jalan Hang Tuah, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Tak ada embel-embel agenda Istana.
“Kalau ada undangan resminya, kan, bisa disebut focus group discussion yang diselenggarakan oleh, kan, gitu. Itu kayak saya menggunakan jalur informal terus kemudian diskusi,” kata CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat itu.
Suroto mengira hanya pertemuan biasa.
Ternyata…
“Yang saya kaget, tadinya saya pikir, kan, pertemuan one on one ya,”
“Tetapi kemudian beliau mengundang sekitar 20, waktu itu 29 orang profesor yang saya kenal juga,” ungkapnya.
Kemudian dia tahu forum itu terkait dengan rencana pembentukan Koperasi Desa Merah Putih, program unggulan Presiden Prabowo.
“Jangan membangun koperasi dengan top down. Masukan saya adalah bagaimana mendiagnosa kebijakan koperasi selama ini, salahnya di mana,” kata Suroto menirukan apa yang dia sampaikan di forum tersebut.
“Artinya, kan, saya sudah ngobrol dulu sama temannya Prabowo lah, intinya gitu,” tutur dia.

Pakar koperasi, Suroto (ANTARA News/Hanni Sofia)
Sepanjang dua jam pertemuan, Suroto terus mewanti-wanti, jangan gegabah membentuk Koperasi Desa Merah Putih, jangan sampai mengulang kegagalan era Orde Baru.
Indonesia punya riwayat buruk dengan model top-down policy ketika Soeharto meluncurkan Koperasi Unit Desa (KUD). Tujuan pemerintah memajukan desa, melenceng jauh.
Pendirian koperasi saat itu dibajak predator ekonomi untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah. Hasilnya bisa ditebak, kehadiran koperasi tidak menjawab kebutuhan masyarakat.
“Harus hati-hati cara menyampaikan kebijakan pengembangan koperasi ke Presiden. Karena Presiden ini, kan, militer, punya ciri-ciri, inginnya cepat. Bisa jadi nanti kalau dia tahu interest politiknya dan interest ekonominya itu, nanti dia akan menggunakan ini dengan cara yang sama yang dilakukan Pak Harto. Eh benar,” kata pakar koperasi, Suroto.
Yang dikhawatirkan Suroto terjadi…
Sebulan kemudian, tepatnya 27 Maret 2025, Prabowo meneken Instruksi Presiden tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.
Dalam tempo 4 bulan, tepatnya 21 Juli 2025, Prabowo meresmikan kelembagaan 80 ribu Koperasi Desa Merah Putih di Klaten, Jawa Tengah.
Namun, beberapa hari kemudian, sejumlah koperasi dilaporkan tutup.
Di Bogor, Tuban, hingga Magelang.
Baca juga: Koperasi Desa Merah Putih: Solusi Ekonomi Baru atau Mengulang Sejarah Kelam KUD?
Penelusuran KBR di beberapa wilayah seperti di Jakarta, Bandung, Semarang, Jombang, Tuban, hingga Mataram, pembentukan koperasi dipaksakan, tanpa kajian matang.
Ibarat “penggugur kewajiban”, kalau kata Erwin, Kepala Desa Kepatihan di Jombang, Jawa Timur.
“Kalau saya boleh jujur, sebetulnya ini, kan, hanya sebatas gugur kewajiban ya, bahwasanya wilayahnya sudah terbentuk itu (Kopdes Merah Putih),” kata Erwin.
Kepala desa dan lurah maraton menggelar musyawarah dan rapat-rapat demi memenuhi tenggat yang disampaikan Presiden.
Belum lagi “ancaman” dana desa tak cair jika membangkang. Aturan itu tertuang dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-9/MK/PK/2025 tentang Penyaluran Dana Desa Tahap II Tahun Anggaran 2025 yang diteken 14 Mei 2025.

Kepala desa tak punya pilihan.
“Kami disampaikan ya, kalau semisal KMP (Koperasi Merah Putih) belum terbentuk ya mungkin ada kendala di DD. Karena prasyarat untuk pengajuan di DD yang kedua harus ada di setiap desa terbentuk KMP,” ujar Suhartoyo, Kepala Desa Klotok di Tuban, Jawa Timur.
Kepengurusan koperasi dibentuk secepat kilat, hanya dalam waktu sepekan. Ini salah satunya terjadi di Desa Jatirejo, Kota Semarang, Jawa Tengah.
“Seminggu memang (targetnya) harus sudah ada ketuanya, anggotanya sudah ada, baru diproses itu SK sama strategi,”
“Karena dipaksa pemerintah selesai deadline ini, ini, ini. Makanya di setiap kabupaten atau kota, kan, wali kota membentuk 200 koperasi. Memang karena sudah di-deadline," kata Shodiqin, Wakil Ketua Bidang Usaha Koperasi Merah Putih Jatirejo.
Sebagian Kopdes Merah Putih hidup segan mati tak mau.
Di Desa Lingsar, Lombok Barat, NTB, kopdes-nya masih vakum.
“Belum mulai, ngurus anggota dulu ini. Tanggal 6 (September) mau mengeluarkan simpanan pokok dan wajib teman-teman. Jadi saya belum jalan untuk sementara ini,” kata Sahnan, Ketua Koperasi Desa Merah Putih Lingsar.

Dia mengaku tak bisa berbuat banyak. Perkara modal jadi kendala.
“(Sudah ada barang di kopdes ini?) Air mineral saja. Karena modal terbatas. Itu kami jalan apa adanya dulu yang penting,” ucapnya sambil tertawa.
Lain lagi cerita dari Jombang, Jawa Timur.
“Kalau kami mau bergerak, dasarnya juga belum jelas. Kalau pun peraturan menterinya sudah dikeluarkan, kita belum pernah diajak komunikasi. Sosialisasi juga belum. Terus kita melangkahnya seperti apa?,” Erwin Pribadi, Kepala Desa Kepatihan di Jombang, gusar.
Dia ragu mampu menjalankan koperasi di desanya. Arahan dan aturannya tak jelas.
“Kalau ada 6-7 item jenis pekerjaan yang bisa dilakukan Koperasi Desa Merah Putih, beberapa desa, terutama di wilayah saya, tidak akan bisa melaksanakan itu. Kemarin saya agak tertarik ketika ada revisi aturan lagi, di poin ke-7, sesuai dengan kearifan desa atau kearifan lokal itu pun kita masih bingung untuk melakukan apa,” bebernya.

Takut Pinjam ke Bank
Untuk memuluskan rencana pembentukan puluhan ribu kopdes, pemerintah menjanjikan pinjaman dari bank sebagai modal.
Dalam aturan yang diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 21 Juli 2025, bank yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) dapat memberikan pinjaman dengan plafon maksimal Rp3 miliar.
Namun, itu rupanya tak disambut gembira sebagian kepala desa.
Pasalnya, aturan tersebut juga mensyaratkan, dana desa jadi jaminan untuk mencicil pinjaman dengan bunga 6 persen per tahun.
“Itu yang membuat desa jadi antipati, arep gawe opo Koperasi Merah Putih? Kalau ending-nya yang jadi jaminan Dana Desa. Kepala desa, kan, punya tanggung jawab moral kepada masyarakatnya,” keluh Erwin, Kepala Desa Kepatihan di Jombang.
Yang ditakutkan hanya satu: jika koperasi gagal, dana desa akan dipangkas untuk membayar cicilan. Masyarakat pasti akan terdampak.
“Bagaimana dengan infrastruktur, bagaimana dengan pemberdayaan kalau dana desa dijadikan jonggol. Ini, kan, akhirnya banyak pertanyaan, simpel-nya apa? mending enggak ada koperasi saja lah kalau harus seperti ini. Kalau ada opini seperti itu, dikira kami tidak mendukung program pemerintah,” ujar Erwin.
Senada, Wartomo, Kepala Desa Galengdowo di Jombang, pun enggan mengajukan pinjaman.
“Banyak yang enggak minat. Kalau ada yang berminat, ada kepentingan yang jelas. Kalau jujur-jujuran. Tetapi kalau pengurus kopdes ada kepentingan, sing penting cair, saya enggak tahu,” kata Wartomo.

Teguh, Lurah Cibuntu di Kota Bandung, juga belum terpikir mengambil kredit dari bank. Apalagi jika merujuk aturan, yang menjadi jaminan adalah Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH).
“Kami menunggu saja. Sekarang, walaupun modal turun Rp5 miliar, kalau tidak ada yang mau masuk (jadi pengurus) tidak akan berjalan. Sekarang lebih baik merangkul dulu warga," kata Teguh optimistis.
Teguh memilih fokus lebih dulu untuk merekrut anggota koperasi. Simpanan pokok Rp25 ribu per bulan dijadikan modal memulai usaha.
“Warga yang ikut, misalkan setiap RW kami tarik 50 orang, kan, lumayan, bisa nyampe lah, buat simpan pinjam, atau buat usaha,” ujar Teguh.

Presiden Prabowo Subianto memberi sambutan saat peluncuran Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih di Desa Bentangan, Klaten, Senin (21/7/2025). ANTARA FOTO/Galih P
Di sisi lain, pemerintah dan bank juga ditengarai kelabakan soal tata cara pencairan pinjaman dan dari “kantong” mana dana jaminan modal koperasi akan diambil.
Sri Mulyani, yang saat itu masih menjabat Menteri Keuangan, saat rapat di DPR 22 Agustus 2025 lalu, mengatakan jaminan modal koperasi desa yang akan disalurkan melalui Himbara nilainya Rp83 triliun.
Selang beberapa hari kemudian..
“Koperasi desa sudah berjalan sekarang, kami kerja keras. Hanya memang peraturan menteri keuangan turunannya, sedang harmonisasi. Sehingga plafon pinjaman ke Bank Himbara, belum bisa dipakai sekarang. Mudah-mudahan dalam waktu singkat, satu minggu atau dua minggu ini bisa selesai,” ungkap Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan di Istana Negara, 25 Agustus 2025.
Zulkifli yang juga Ketua Satgas Nasional Percepatan Pembentukan Koperasi Desa Merah Putih bilang, masalah itu baru saja dilaporkan ke Presiden Prabowo saat rapat terbatas.
Direktur Kebijakan Publik di Center of Economics and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar tak terkejut ketika mendengar banyaknya koperasi desa yang tumbang tak lama setelah diresmikan.
“Karena koperasinya dibentuk secara terburu-buru, sehingga sekarang pinjaman enggak turun karena memang bisnis modelnya belum matang, ya sudah opsi terbaiknya tutup, akhirnya jadi tutup kopdesnya,” kata Askar.
Baca juga: Kader Parpol Bisa Urus Koperasi Desa Merah Putih, Rawan Penyelewengan?
Itu terjadi karena kopdes tidak tumbuh secara organik dari kebutuhan masyarakat, tetapi dibentuk sebagai kebijakan ekonomi negara.
“Bisnis modelnya, institusionalisasinya, termasuk juga regulasi pendukungnya itu, belum teruji dan cenderung membingungkan koperasi yang ada di bawah. Akhirnya kemarin pada saat peluncuran, pemenuhan administrasi saja bahwa desa itu sudah punya kopdes,” kata dia.

Pendirian koperasi yang top-down dan dikontrol pusat, telah terbukti gagal di era Orde Baru. Ketika nantinya dukungan pemerintah berhenti, menutup koperasi menjadi pilihan realistis.
Namun, pandangan itu dibantah Budi Arie Setiadi, yang kala itu menjabat Menteri Koperasi.
“Di luar banyak narasi program Kopdes Merah Putih ini top down, padahal seharusnya koperasi itu bottom up atau partisipatif. Di sini bentuk hadirnya pemerintah untuk mendorong masyarakat, untuk secara bersama membangun perekonomiannya dengan berkoperasi. Memang idenya adalah top down, tetapi pelaksanaannya adalah bottom up,” tukasnya saat rapat di Komisi VI DPR, 9 Juli 2025.
Sebulan kemudian ketika disinggung ada beberapa koperasi yang tutup usai diresmikan, dia berkilah.
“Enggak, pasti ada dinamikanya, tenang,” ujarnya sambil meninggalkan wartawan usai Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen, 15 Agustus 2025.
Salah Gunakan SAL
Kamis, 4 September 2025, Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan mengumumkan Koperasi Desa Merah Putih sudah bisa mengajukan pinjaman ke bank Himbara.
Lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 63 Tahun 2025, pemerintah mengalokasikan Saldo Anggaran Lebih (SAL) APBN 2025 sebesar Rp16 triliun. Uang itu digunakan sebagai plafon pinjaman, yang akan disalurkan melalui empat bank milik negara yakni Mandiri, BRI, BNI, dan BSI.
“Dengan peraturan itu, koperasi sudah bisa mengajukan proposal bisnisnya kepada Himbara, sehingga secara keseluruhan nanti koperasi bisa beroperasi dengan baik,” kata Zulkifli usai rapat di kantornya.
Pemerintah percaya diri, Kopdes tidak akan mengganggu likuiditas dana pihak ketiga perbankan, seperti yang dikhawatirkan banyak kalangan.
Pertanyaannya kemudian, apakah langkah ini tepat?
“Sangat-sangat tidak tepat ya, karena SAL, kan, digunakan untuk menjaga likuiditas APBN, termasuk juga kalau seandainya ada bencana, ada krisis. Soal itu, kan, untuk pembiayaan yang sifatnya public goods,” kata Media Askar dari Celios.
Dia menilai penempatan SAL menunjukkan bank tak mau ambil risiko. Akhirnya, pemerintah yang menalangi pakai duit pajak rakyat.
“Jadi enggak bisa dana SAL digunakan begitu saja. Karena prinsip kehati-hatian itu harus dilakukan, karena SAL itu signifikan sekali fungsinya untuk menjaga likuiditas APBN,” kata Direktur Kebijakan Publik di Celios, Media Askar.

Direktur Kebijakan Publik di Center of Economics and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar. (Youtube Celios)
Penggunaan SAL diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147 tahun 2021.
Dalam kasus ini, penggunaan SAL untuk suntikan dana darurat atau bailout jelas berisiko tinggi. Apalagi untuk Koperasi Desa Merah Putih yang baru seumur jagung.
Ini privilege yang tidak adil, kata Askar.
“Bumdes misalkan atau UMKM lain, belum tentu dapat SAL atau insentif serupa. Bayangkan, seandainya Kopdes MP gagal mengembalikan pinjaman dan ini terjadi di banyak atau di ribuan Kopdes MP, kerugiannya, kan, ditanggung negara, bukan bank. Kalau itu terjadi, maka ada risiko bailout yang mungkin juga nanti bisa merusak keuangan publik,” kata Askar mewanti-wanti.
Pakar koperasi, Suroto menilai model pembentukan Koperasi Desa Merah Putih keliru sejak awal.
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis itu berpandangan, koperasi seharusnya muncul dari inisiatif masyarakat, bukan top down.
“Rapat pendirian koperasi kemarin itu, kalau tidak dipaksakan, apa namanya? Kalau misalnya diimingi-mingi nanti dimodali pinjaman dari bank Himbara, kemudian dibentuk melalui musdes (musyawarah desa). Yang ketiga, misalnya, dijanjikan akan diberikan bisnis ini dan itu. Itu kan iming-iming yang membuat orang akhirnya berkoperasi bukan karena keinginannya,” ujarnya.
Suroto amat yakin, koperasi desa ini sudah melenceng jauh dari apa yang dicita-citakan pendiri bangsa.
“Kalau Bung Hatta masih hidup di era sekarang, apa yang akan dia sampaikan mengenai Koperasi Merah Putih?” tutur Suroto.
Penulis: Arie Nugraha, Anindya Putri, Muji Lestari, Wahyu Setiawan, Zainudin Syafari
Editor: Malika, Ninik Yuniati