Beragam tuduhan diarahkan ke dirinya.
Penulis: Hoirunnisa, Heru Haetami
Editor: Sindu


KBR, Jakarta- November, jadi salah satu bulan terberat untuk dijalani makeup artist (MUA) Dea Lipa. Itu terjadi setelah Dea viral di media sosial lantaran identitasnya sebagai kelompok ragam gender.
Foto-fotonya tersebar. Beragam tuduhan diarahkan ke dirinya. Mulai dari tuduhan penistaan agama, manipulasi identitas, bahkan fitnah terkait kesehatan.
Bibi Dea Lipa, Maya menceritakan bagaimana penderitaan keponakannya itu. Keluarga mengingat hari ketika Dea pertama kali melihat hujatan di ponselnya.
“Pokoknya aku isolasi dulu, enggak boleh pegang medsos, jangan buka medsos atau apa pun, HP amankan, tutup semua, aku bilang gitu. Terus, hal yang kami lakukan juga, akhirnya bentuk grup keluarga, ayo kita mesti ngapain, kuatkan dulu anak ini, aku bilang fokus kita dulu, mentalnya dulu, aku bilang pasti ini mau enggak mau, beberapa hari udahlah, hancur-hancuran gitu, kan," kata Maya kepada KBR, Jumat, 21 November 2025.

Keluarga sepakat membatasi akses media sosial dan membawa Dea melakukan pemeriksaan psikologis. Ia kemudian menjalani assessment di fasilitas kesehatan jiwa di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Maya menarik napas panjang saat cerita soal keinginan berulang Dea akan mengakhiri hidupnya sendiri. Itu diperparah setelah Dea dikecam warga.
"Sebelum ini juga pernah, kalau dia kecewa, terus mulai mikir-mikir masa lalunya, sempat kepikiran dia bundir, dia cerita sih, ‘saya sudah enggak kuat deh’, ‘enggak boleh gitu’, aku bilang, kamu ini sudah melewati hal yang lebih jauh, lebih sakit dari sekarang," jelas Maya.

Konseling hingga Bantuan Aksesibilitas
Kini, keluarga dibantu sejumlah organisasi berupaya memulihkan kondisi Dea Lipa. Mereka bekerja sama dengan beberapa kelompok pendamping seperti jaringan Gusdurian, Lakpesdam NU, serta organisasi bantuan hukum.
Menurut keluarga, beberapa pihak juga menawarkan alat bantu dengar. Maya menuturkan, salah satu prioritas jangka panjang Dea adalah Pendidikan.
“Kalau di keluarga sendiri kamu memang lebih fokus dulu ke penyembuhan mental sembari memang, kemarin kalau hasil assesment yang Kemensos itu kan di pingin pemulihan dibantu alat dengar dulu. Terus melanjutkan pendidikan. Dia dari dulu tuh pengen banget punya ijazah, terus pengen kuliah,” jelas Maya.

Antara Penghakiman dan Dukungan
Ketika masalah ini menyeruak, ada anggota keluarga besar yang sempat meminta Dea 'diubah' penampilannya.
“Ada yang bilang, potong rambutnya, ganti bajunya … tetapi saya tanya dia: ‘nyaman kamu kaya gimana?’” kata Maya.
Ia menegaskan, keluarga tidak ingin memaksa identitas atau ekspresi tertentu. Keluarga juga meminta siapapun yang merasa pernah dirugikan untuk menyampaikan melalui jalur resmi, bukan dengan mempersekusi daring.
Maya bilang, identitas gender Dea dan apa pun tuduhan tindak pidana yang dituduhkan merupakan dua hal yang seharusnya tak dicampur adukan.
"Laporkan dia terus atau buat saluran pengaduan atau apa gitu kan saluran pengaduan bahwa karena hukum daripada harus menjadi bola liar, menjadi kecaman dan lain sebagainya di media sosial. Ayo kita ambil langkah hukum yang lebih konkret gitu, kan, kalau kalian merasa ditipu, merasa dirugikan, laporkan dong," kata Maya.

Menata Ulang Hidup
Maya mengaku memberikan satu pesan sederhana kepada Dea.
“Sekarang kamu ambil air wudu, kamu salat terserah, entah kamu mau salat pakai mukena, atau pakai sarung, kamu salat, kamu berdoa, ini saatnya kamu berdoa, apa pun yang kamu inginkan, sekarang dalam hidup kamu, kamu doakan dirimu," kata Maya dengan suara sedikit bergetar.
Meski situasi masih bergerak dan tekanan publik belum sepenuhnya mereda, keluarga akan terus mendampingi.
"Ke depan kalau kami kan ada koalisi kemanusiaan, teman-teman Gusdurian, Lakpesdam NU, terus ada pendamping hukum dari LCW yang membantu khususnya untuk melihat jernih kasus ini sebenarnya seperti apa sih dari sisi kemanusiaannya. Mungkin, memang tidak dibenarkan di dalam kondisi masyarakat kita dia berjilbab dan lain sebagainya. Nah, cuma ini harus dilihat dari sisi kemanusiaan," jelas Maya.

Masa Kecil
Maya tahu betul bagaimana kisah hidup Dea Lipa sedari kecil, sebelum dia menjadi MUA seperti saat ini. Ia bilang, Dea sebagai sosok yang sejak kecil hidup dengan keterbatasan dan tekanan sosial yang panjang.
“Tetapi, tetap aja shock, karena saya sendiri kan tahu banget anak ini kayak gimana gitu kan, rapuh gitu, rapuhnya kayak gimana gitu, kan. Ya, habis itu.” kata Maya, bibi dari Dea Lipa kepada KBR, Jumat, (21/11/2025).

Masa Kecil yang Tidak Pernah Disorot
Dea lahir dengan gangguan pendengaran. Menurut keluarga, gendang telinganya pecah sejak bayi dan kondisinya semakin buruk setelah kecelakaan. Gejalanya membuat proses belajar terganggu dan relasi sosial semakin berat.
“Yang bikin gendang telinganya itu kan pecah gitu, ya, waktu itu. Terus apa namanya seiring waktu, dia kecelakaan itu dua kali, tabrakan yang pertama di sekolahnya umur 10 tahun itu, dia memang agak kompleks sih, ceritanya,” tutur Maya.
Orang tua Dea bekerja di luar negeri sebagai pekerja migran. Dalam masa tumbuhnya, ia diasuh nenek, satu-satunya figur yang membuatnya merasa stabil. Ketika neneknya meninggal, Dea kembali kehilangan tempat berpegang.
"Waktu kehilangan neneknya itu, kehilangan neneknya itu yang bikin dia yang terguncang, kalau ibu bapaknya dia cerai saat balita, sekitar umur dia 4 tahun waktu itu. Ibunya ke Arab Saudi, bapaknya ke Malaysia. Jadi, bapaknya pulang pergi. Jadi, diurus sama pihak nenek dari ibu," kata Maya.

Awal Ekspresi Diri
Keluarga menyebut perubahan perilaku dan penampilan Dea bukan sesuatu yang tiba-tiba. Sejak SMP, Dea sudah mulai berdandan dan terlibat dalam kegiatan seni.
“Dia mulai apa namanya, berekspresi, mengekspresikan diri itu sekitar umur SMP-lah. Jadi, dia mulai yang berdandan dan segala macam, terus ikut kelompok kesenian, drama, kayak gitu dia jadi perempuan gitu, kan. Terus ikut menari kayak gitu-gitu. Cuma memang anak ini pun enggak terlalu terbuka gitu kan pertama. Enggak terlalu terbuka,” ujar Maya.
Dea mulai memakai hijab sekitar usia 16-17 tahun. Pada awalnya tidak konsisten, namun beberapa tahun terakhir ia tampil sebagai perempuan di depan umum, termasuk dalam pekerjaan sebagai perias pengantin.
"Baru dia pilih untuk berjilbab dari 2016 kalau enggak salah itu. Tetapi, itu buka tutup, buka tutup kayak gitu kan. Kayak ABG-ABG labil gitulah," katanya.

Karier MUA dan Kemandirian Ekonomi
Dea belajar make-up otodidak melalui YouTube dan media sosial. Dari situ, ia mulai menerima klien untuk rias pengantin dan acara-acara kecil di Lombok Tengah. Keluarga menyebut pekerjaan itu membuat Dea mandiri.
“Tetapi, kalau dia yang mulai merias, dia satu tim yang bikin paket harga dan lain sebagainya itu sekitar 2022. Tetapi, kalau yang dia mulai merias mulai awal dan lain sebagainya sekitar 2019 kalau enggak salah. Ya, sekitar 2019 itu yang dia ngambil, pernah juga dia kerja jadi asisten makeup, belajar otodidak apa segala macam itu memang dia di YouTube, di TikTok katanya,” tutur Maya.
Dalam beberapa tahun terakhir, Dea membangun tim kecil yang terdiri dari asisten perempuan, penata rambut, dan fotografer lokal. Namun, pekerjaan itu tiba-tiba terganggu setelah identitasnya disorot publik.

Angka Kekerasan
Serangan dan diskriminasi yang diterima Dea Lipa menambah daftar kekerasan terhadap kelompok ragam gender.
Hasil pemantauan LSM Arus Pelangi sepanjang 2021 hingga 2023, mencatat 230 kasus kekerasan yang menargetkan individu-individu LGBTIQ+, dengan total 373 korban.
Dari total keseluruhan kasus kekerasan terhadap individu LGBTIQ, transpuan/waria mendominasi jumlah korban sebanyak 293.
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Arus Pelangi, Richa F. Shofyana mengungkap, kekerasan dan diskriminasi terjadi di berbagai tempat. Kejadian ini mengakibatkan dampak serius secara personal maupun komunitas, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
“Persekusi tidak hanya merusak reputasi, tetapi juga menimbulkan tekanan psikologis serius yang berdampak pada kesehatan mental korban termasuk nyawa,” ujar Richa saat ditemui KBR, Jumat, (21/11/2025).
Situasi ini diperparah pemberitaan diskriminatif yang dipublikasikan sejumlah media.
Di tahun yang sama, ada 1400-an pemberitaan terkait LGBT selama kurun waktu tersebut. Lebih dari 87 persen-nya bernada negatif terhadap komunitas ragam gender.
Menurut Richa, media seharusnya berperan menyajikan narasi yang berperspektif gender. Sehingga, bisa menghindari serangan publik dan framing yang berbahaya.
“Ketika masyarakat berbondong-bondong untuk menghakimi, mengekspos, dan menyerang seseorang secara publik, secara masif, tindakan itu tentu melanggar hak-hak dasarnya dan menimbulkan stigma dan mengajak untuk melakukan kekerasan dan diskriminasi dengan dampak yang berkepanjangan,” ucapnya.

Dampak Pemberitaan Diskriminatif
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengakui pemberitaan diskriminatif terhadap ragam gender akan semakin menebalkan stigma, kebencian, dan memicu kekerasan.
Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida mengatakan, pada kasus Dea Lipa, pemberitaan berpotensi meningkatkan ancaman kekerasan berbasis gender dan kekerasan berbasis gender online atau KBGO terhadap LGBTIQ di Indonesia.
“Sebagian media massa menggunakan kutipan narasumber dan judul yang berisi narasi kebencian, sensasional, clickbait dengan judul bombastis, dan menyerang kelompok minoritas berbasis identitas gender minoritas,” kata Nany dalam siaran AJI Sabtu, 15 November 2025.
Pemberitaan dengan melabeli “Sister Hong Lombok’’ secara sembarangan kepada Dea Lipa kemudian memicu gelombang transfobia di ranah digital.
Sister Hong merupakan transpuan Nanjing Tiongkok, yang dituding menyebarkan dan menjual rekaman hubungan seksual dengan sejumlah laki-laki tanpa persetujuan.
Menurut Nany, pemberitaan yang menghubungkan orientasi seksual dengan penyimpangan tidak menghormati keberagaman identitas gender. Hal itu juga mengabaikan pentingnya inklusivitas terhadap kelompok minoritas berbasis identitas gender.
“Pemberitaan seperti itu semakin mempertebal stigma kelompok minoritas gender dan seksual yang berujung pada perlakuan diskriminatif,” kata Nany.

Menghakimi
Pantauan AJI, ada sejumlah pemberitaan media daring terkait Dea Lipa cenderung menghakimi dan tidak konfirmasi.
Nany bilang, sebagian hanya menyadur informasi di media sosial. Selain itu, pemberitaan tidak menekankan pada prinsip inklusivitas.
“Sebagian menggunakan komentar warganet dengan akun anonim yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sesuai kode etik jurnalistik,” ucapnya.
AJI mengidentifikasi berita-berita tersebut mengabaikan pasal-pasal terkait Kode Etik Jurnalistik.
Kata Nany, jurnalis harusnya menghormati keberagaman identitas gender dalam memproduksi karya jurnalistik. Dalam mengawal fakta keberagaman wajib menghargai kebhinekaan.
“Kode Etik Jurnalistik Pasal 8 menyebutkan wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani,” ujar Nany.
Dalam meliput ragam gender, media juga semestinya merujuk pada Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman yang dikeluarkan Dewan Pers pada akhir 2023.
Penyusunan pedoman ini merujuk pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dewan Pers menetapkan ruang lingkup keberagaman sebagai segala yang berkaitan dengan perbedaan identitas suku, agama, ras, antar golongan, dan gender.
Dasar pemberitaan sesuai pedoman tersebut yakni jurnalis menggunakan prinsip-prinsip HAM dan gender, taat kode etik, dan mengutamakan kemanusiaan.
“Dalam memilih topik liputan, jurnalis seharusnya mempelajari latar belakang, memerhatikan dampak, dan menghormati kehidupan pribadi yang tidak berkaitan dengan kepentingan publik. Pemberitaan media massa akan memengaruhi sikap dan pola pikir masyarakat terhadap kelompok minoritas, salah satunya minoritas gender dan seksual,” pungkasnya.
Baca juga:






