Sinyal perlambatan ekonomi tersebut sudah sesuai dugaan.
Penulis: Astri Septiani
Editor: Sindu

KBR, Jakarta- Lembaga kajian ekonomi INDEF menyebut ekonomi Indonesia tak punya fondasi kuat. Lemahnya fondasi itu membuat Indonesia sulit mengambil peluang ketika ada momentum pertumbuhan.
Potret lemahnya fondasi ekonomi Indonesia salah satunya terlihat dari menurunnya kelas menengah. Berdasarkan data BPS 2024, kelas menengah turun dari 57,33 juta (21,45 %) pada 2019 menjadi 47,85 juta (17,13 %) pada 2024.
Padahal, kelompok ini berperan penting dalam kinerja pembangunan ekonomi. Kelas menengah dalam kajian INDEF memainkan peran sosial-politik penting, memengaruhi governansi, kualitas kebijakan, dan pertumbuhan ekonomi.
Siapa kelas menengah itu? Secara klasifikasi, kelas menengah diketahui lewat beberapa indikator, yakni tingkat pendapatan atau konsumsi, tolok ukur global, perilaku atau persepsi, dan/atau ketahanan-keamanan ekonominya.
Dari segi pendapatan misalnya, pada 2024, yang tergolong kelas menengah adalah mereka yang tingkat pengeluarannya 2-9,9 juta rupiah per bulan. Sedangkan untuk kelompok menuju kelas menengah, pengeluarannya 874 ribu- 2 juta rupiah per bulan. Data ini diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2024.
Kondisi Sebaliknya
Kondisi sebaliknya terjadi ketika muncul gejolak, gempuran, maupun ketidakpastian ekonomi, Indonesia mudah terempas.
Analisis ini disampaikan Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus menanggapi sinyal melemahnya pertumbuhan ekonomi nasional.
Menurutnya, sinyal perlambatan ekonomi tersebut sudah sesuai dugaan. Karena itu, jika dilihat dari tren pertumbuhannya, ekonomi Indonesia sangat sulit untuk naik jauh di atas 5 persen.
“Maka dari itu apa harusnya resep kebijakan pemerintah dan bagaimana kita semua dari sisi pelaku usaha, masyarakat, dan lainnya turut mengambil peranan seperti itu. Jadi ekonomi kita sudah terlihat jelas bahwa trennya itu terus turun,” kata dia saat diskusi daring di kanal YouTube INDEF, Selasa, (06/05/25).
Fundamental Rapuh
Ahmad menyebut, perlambatan ekonomi saat ini menunjukkan fundamental cukup rapuh dan tidak optimalnya fungsi program dan keputusan yang kini dijalankan. Kata dia, kebijakan-kebijakan tidak optimal itu akibat pemerintah kurang bisa membaca arah ke depan, kondisi yang terjadi saat ini, dan respons yang seharusnya diambil.
Secara keseluruhan, ia menyimpulkan, perlambatan ekonomi di triwulan pertama 2025 adalah dampak gabungan dari gejolak ekonomi global, ketidakpastian global, dan kurangnya respons tepat pemerintah menghadapi situasi tersebut.
Selain itu, ia menyebut, beberapa fungsi stimulus ekonomi telah hilang, salah satunya karena dampak pemangkasan anggaran. Kata dia, fungsi stimulus ekonomi pemerintah sudah beralih dari semula berupa belanja, menjadi investasi.
“Memang kalau pemerintah menyebut tidak ada pemangkasan, yang ada hanya alokasi dari yang tadinya belanja yang dipotong hingga 300 triliun itu, kemudian dialihkan untuk investasi, katakanlah melalui Danantara, tetapi biar bagaimanapun dampaknya itu berbeda,” ujarnya.
Padahal, dampaknya jelas sangat berbeda, karena investasi tak bisa langsung dirasakan efeknya. Ahmad menekankan, saat ini Indonesia butuh stimulus untuk menahan gempuran ekonomi.
“Kita berharap stimulus kalau sedang tertekan, itu tidak ada. Bahkan program makan gratis saja belum berdampak terhadap peningkatan konsumsi secara agregat,” tambahnya.
Menurun
Sebelumnya, ekonomi Indonesia tumbuh 4,87 persen (y on y) pada triwulan pertama 2025. Angka ini lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi kuartal pertama 2024, yakni 5,11 persen, maupun kuartal sebelumnya yakni kuartal empat 2024 yang sebesar 5,02 persen.
Pertumbuhan ekonomi kuartal pertama 2025 juga terendah sejak 2021. Pada kuartal ketiga 2021, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 3,53 persen. Setelahnya, Indonesia tumbuh di kisaran 4 hingga 5 persen. Namun, lebih sering di atas 5 persen.
Meskipun lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya, menurt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar, tren pertumbuhan tetap terjaga. Pertumbuhan itu ditopang sejumlah sektor.
“Ekonomi Indonesia pada triwulan I-2025 tumbuh sebesar 4,87 persen, yang ditopang oleh sektor pertanian yang tumbuh double digit, industri makanan dan minuman yang tetap solid, serta sektor transportasi. Selain itu, Ramadan dan Idulfitri juga menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi,” kata Amalia pada Konferensi Pers, Senin, (06/05/25).
Amalia menyebut, dari sisi produksi, penyumbang utama pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 adalah pertanian, industri pengolahan, dan perdagangan. Sektor pertanian mencatat pertumbuhan tertinggi beberapa tahun terakhir, yaitu 10,52 persen. Kondisi itu berbanding terbalik dibandingkan triwulan sama pada tahun sebelumnya yang menurun 3,54 persen.
“Kinerja positif sektor pertanian tahun ini didorong oleh adanya peningkatan produksi padi dan jagung sebesar 51,45 persen dan 39,02 persen sepanjang triwulan 1-2025 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, serta meningkatnya permintaan domestik,” tambahnya.
Koreksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Tahun ini, proyeksi atau perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia dikoreksi sejumlah lembaga pada tahun ini. Salah satunya Bank Dunia atau World Bank (WB). Pada 2025, Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,7 persen. Angka ini turun dari prediksi sebelumnya yang ada di angka 5 persen.
Perubahan perkiraan itu dimuat dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025. Pemangkasan dilakukan lantaran ketidakpastian kebijakan perdagangan global dan penurunan harga komoditas. Kondisi tersebut dinilai berdampak terhadap kepercayaan investor dan kinerja perdagangan Indonesia.
Lembaga lain yang memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah Dana Moneter Internasional (IMF). Semula, IMF memperkirakan ekonomi nasional tumbuh 5,1 persen di 2025. Kini, diturunkan menjadi 4,7 persen pada tahun yang sama. Proyeksi itu dirilis pada World Economic Outlook April 2025.
Sementara di dalam negeri, Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini di kisaran 4,7-5,5%. Penurunan itu dipengaruhi dampak langsung tarif AS yang berdampak pada menurunnya ekspor ke Negeri Paman Sam. Lalu, ada dampak tidak langsung penurunan permintaan ekspor dari mitra dagang lain Indonesia, terutama Tiongkok.
Momentum Evaluasi
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF, M. Rizal Taufikurahman mendorong pemerintah menjadikan pertumbuhan ekonomi kuartal I refleksi untuk mengevaluasi efektivitas berbagai kebijakan stimulus ekonomi. arah belanja negara, dan perbaikan permintaan domestik.
Kata dia, kontraksi saat ini menunjukkan ekonomi nasional sedang kehilangan momentum dari kebijakan ekonomi yang diterapkan. Kondisi ini diperburuk terjadinya tekanan global.
“Inilah yang kemudian menjadi tantangan pemerintah untuk menjawab, meskipun katakanlah pertumbuhan nominal itu cukup besar atau naik, ini akibatnya bukan dari pertambahan produktivitas ekonomi, tetapi dari sisi harga, efek harga yang naik. Untuk itu maka menjadi penting, tidak hanya angka, tetapi juga kualitas,” kata dia saat diskusi daring di kanal YouTube INDEF, Selasa, (06/05/25).
Menurut catatan Rizal, kontributor utama pertumbuhan ekonomi yakni konsumsi dan investasi tidak pulih signifikan. Sementara, belanja pemerintah yang mestinya jadi penopang darurat, justru ditahan.
Belum lagi ekspor yang tidak sekuat tahun lalu, karena basis harga komoditas lebih rendah, serta pelemahan permintaan global. Selain itu, impor juga merosot tajam, bisa menjadi sinyal serius kapasitas produksi dan ekspansi industri dalam negeri sedang turun.
“Struktur pengeluaran PDB Indonesia ini memperlihatkan kerentahanan yang cukup serius. Rumah tangga melemah, bayangkan biasanya di triwulan pertama ini selalu, ya, ada musiman Ramadan dan juga Idulfitri itu cukup signifikan. Ternyata konsumsi rumah tangga malah melemah. Bayangkan kalau tidak ada momentum itu mungkin jauh lebih rendah lagi,” kata dia.
Rekomendasi jangka pendek dari Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF, M. Rizal Taufikurahman:
1. Dari Aspek Pertumbuhan
Mempercepat realisasi belanja fiskal sejak awal tahun. Meskipun terjadi efisiensi, pemerintah harus mendorong kegiatan-kegiatan ekonomi yang bisa memperbaiki kinerja tidak hanya konsumsi, tetapi juga produktivitas, revisi target pertumbuhan berbasis kapasitas struktur, transformasi ekonomi, transformasi sektoral, stimulus fiskal yang terukur. Dampak yang diharapkan dari hal-hal tersebut adalah menjaga keseimbangan pertumbuhan, dan memperkuat ketahanan ekonomi terhadap guncangan internal maupun efektivitas dari kebijakan internal.
2. Dari Aspek Produksi
Perlu ada dorongan realisasi berbasis pada pasar global, mengembangkan industri yang bernilai dan berdaya saing tinggi, modernisasi di sektor pertanian yang berkelanjutan. Ia berharap, dengan ditopang huluisasi di sektor pertanian, produktivitas sektoral dapat menciptakan pertumbuhan inklusif.
3. Dari Aspek Pengeluaran
Pemerintah mesti memperkuat daya beli kelas menengah ke bawah, aktifkan program-program pemerintah yang bersifat konsumsi dan harus tepat sasaran dengan menggunakan data sosial ekonomi BPS, serta memulihkan iklim investasi nasional. Harapannya kebijakan tersebut bisa meningkatkan permintaan dan juga mendorong keberlanjutan investasi yang produktif, membuka serta menyerap tenaga kerja, hingga mendorong konsumsi dan daya beli masyarakat.
4. Aspek Ketimpangan Wilayah
Diversifikasi ekonomi berbasis potensi lokal yang fundamental (tidak hanya basis pada angka, tetapi juga pemerataan), pembangunan konektivitas logistik, dan digital antarwilayah untuk mempercepat biaya, angkutan, serta. Selain itu pemerintah didorong melakukan transfer fiskal berbasis output daerah untuk sektor-sektor produktif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Baca juga:
- Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Dikoreksi, Pemerintah Cenderung Mengingkari
- Dampak Negatif Merosotnya Ekonomi Dunia bagi Indonesia
- Bulog Serap Gabah Segala Kualitas, Harga Sama Meski Beda