“Kami menanyakan sekali lagi, apakah RUU tentang Perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dapat disetujui dan disiapkan jadi UU?," ujar Ketua DPR Puan Maharani
Penulis: Heru Haetami
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Revisi Undang-Undang tentang Perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI), menjadi Undang-Undang.
Pengesahan dilakukan melalui sidang Paripurna DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis 20 Maret 2025.
“Kami menanyakan sekali lagi, apakah RUU tentang Perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dapat disetujui dan disiapkan jadi UU?," ujar Ketua DPR Puan Maharani dalam sidang Paripurna.
"Setuju," jawab anggota.
RUU TNI masuk dalam daftar undang-undang yang menuai kontroversi, mendapat kecaman masyarakat dan didesak untuk dibatalkan.
Mulai dari para pakar dan ahli, akademisi, aktivis, hingga mahasiswa menilai revisi UU ini berbahaya bagi sipil.
Baca juga:
- Paripurna DPR Dimulai, Aksi Demo Tolak RUU TNI Belum Bergema
Akademisi yang menyoroti RUU TNI sekaligus Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti menekankan agar niatan untuk kembali menghidupkan dwifungsi TNI harus ditolak.
Pernyataan itu disampaikan Susi menyikapi pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) TNI oleh DPR dan pemerintah secara tertutup.
"Dan penolakan itu dilakukan dengan dua cara. Yang pertama yaitu untuk mencegah adanya peraturan yang memberikan atau membuka pintu masuk dwifungsi," kata Susi dalam konferensi pers di kanal Youtube Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik, Minggu (16/3/2025).
"Kemudian yang kedua yang tidak kalah penting adalah kekuatan atau konsolidasi kekuatan politik yang mempunyai kesadaran dan tanggung jawab untuk mengembangkan dan memelihara tata pemerintahan sipil yang demokratis," imbuhnya.
Dalam pernyataan bersama, masyarakat sipil yang terdiri dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Constitutional and Administrative Law Society (CALS), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dan Serikat Pekerja Kampus (SPK) menyatakan menolak kejahatan legislasi dalam pembahasan RUU TNI.
Pembahasan tersebut dinilai inkonstitusional, melanggar HAM, dan kebebasan akademik. Revisi ini disebut dilakukan secara diam-diam oleh DPR dan pemerintah.
Baca juga:
- Titik Kumpul Demo Tolak RUU TNI di Sekitar DPR Dijaga Aparat Gabungan
Sebelumnya, RUU TNI yang telah dibahas DPR dan pemerintah mengubah sejumlah pasal menyangkut tugas dan kewenangan pokok TNI.
Beberapa di antaranya perluasan jabatan sipil yang bisa ditempati TNI aktif dan penambahan usia pensiun.
Pada Pasal 7 RUU TNI yang mengatur operasi militer selain perang atau OMSP.
Kemudian di Pasal 47 RUU TNI turut mengatur penambahan lima instansi yang bisa diduduki prajurit aktif, sehingga jumlahnya jadi 14 dari sebelumnya hanya sembilan.
Ditambah Pasal 53 draf RUU TNI juga mengubah usia pensiun. Pada usia 55 tahun menjadi maksimal usia pensiun bagi Bintara dan Tamtama TNI.
Lalu, perwira pertama hingga menengah sampai pangkat kolonel pensiun pada usia 58 tahun. Ketentuan usia pensiun yang variatif mulai berlaku pada perwira tinggi. Perwira tinggi bintang 1 usia maksimal pensiun pada 60 tahun.
Kemudian, perwira tinggi bintang 2 usia maksimal pensiun pada 61 tahun. Perwira bintang 3 usia maksimal pensiun pada 62 tahun.
Paling tinggi adalah perwira bintang empat alias jenderal, batas usia maksimal pensiun pada 63 tahun dengan klausul dapat diperpanjang maksimal dua kali dalam setahun sesuai kebutuhan dan ditetapkan dengan keputusan presiden.