Kegagalan serius institusi kepolisian dalam menjalankan fungsi perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia.
Penulis: Astri Yuanasari
Editor: Sindu

KBR, Jakarta- Anggota Polres Magelang Kota diduga menampar DRP (15) berulang kali agar mau mengakui telah ikut demonstrasi Agustus lalu. Tindakan kekerasan itu diceritakan kembali Dita, ibu DRP dalam konferensi pers, akhir Oktober 2025.
“Anak saya ditanya diinterogasi, suruh mengaku untuk ikut demo, padahal anak saya tidak ikut demo,” kata Dita dalam video yang ditayangkan saat konferensi pers di YLBHI Jakarta, Kamis, (30/10/2025).
Sembari terisak, Dita menjelaskan, anaknya tidak mengetahui apa yang terjadi dan hanya menurut ketika petugas membawa paksa.
Di kantor polisi, DRP dipaksa berjalan menunduk dan merayap hingga masuk ke sebuah ruangan berisi banyak orang.
“Akhirnya anak saya berkali-kali ditanya tidak ikut demo, akhirnya anak saya ditampar, berkali-kali tampar, tampar, tampar, akhirnya karena mungkin kesakitan, kecapekan, anak saya mengaku bahwa dia ikut demo,” kata Dita.
Dita mengatakan, anaknya diinapkan semalam, tanpa diberi makan dan minum, tidur di lantai tanpa alas, dan disiksa di kantor polisi.
“Anak saya kembali mendapatkan penyiksaan, yaitu dipukul dadanya, disabet punggungnya pakai selang. Setelah itu juga disuruh makan kencur, dikunyah, setelah berkali-kali dikunyah dari mulut ke mulut ke mulut yang terakhir suruh nelan dan anak saya itu, anak yang nomor tiga mengunyah,” kata Dita.
Dita sangat terpukul mendengar pengakuan anaknya disiksa aparat yang seharusnya mengayomi masyarakat.
“Anak saya masih 15 tahun, anak saya mendapatkan perlakuan yang tidak sepantasnya, yang katanya diamankan, tetapi tidak aman. Dan katanya mengayomi, sahabat anak, tetapi bukan sahabat anak,” ucap Dita.

Data Disebar
Apalagi, data dan foto anaknya disebar tanpa izinnya.
“Data anak saya disebar tanpa izin saya, foto mukanya tanpa di-crop, tanpa di-blur, atau di apa pun, semua begitu jelas, dan nama anak saya, nama lengkap, sekolah, semuanya jelas sekali dan ini membuat saya terpukul,” kata Dita.
Orang tua yang lain, yakni Sumiati, ibu dari MDP (17), juga tak terima perlakuan aparat kepada anaknya. Ia bertekad terus berjuang melanjutkan kasus ini.
“Karena saya tidak terima anak saya disiksa, dan diperlakukan seperti itu, karena saya sendiri tidak pernah memperlakukan anak saya seperti itu, saya tidak terima. Untuk membersihkan nama baik anak saya,” kata Sumiati dalam video yang ditayangkan saat konferensi pers di YLBHI Jakarta, Kamis,(30/10/2025).
“Apa pun yang akan terjadi, saya akan tetap melanjutkan, saya akan tetap memperjuangkan anak saya,” imbuhnya.
Pengakuan Dita dan Sumiati ini ditayangkan dalam konferensi pers pemaparan: “Laporan Investigasi Kasus Salah Tangkap, Penyiksaan, dan Penyebaran Data Pribadi 6 (enam) Anak yang Diduga dilakukan oleh Anggota Polres Magelang Kota” di kantor YLBHI, Kamis (30/10).
Staf Advokasi LBH Yogyakarta, Royan Juliazka Chandrajaya memaparkan, terdapat 26 anak korban salah tangkap, namun hanya enam yang melanjutkan proses hukum. Bentuk penyiksaan mencakup dipiting, diseret, dipukul, dicambuk selang, hingga dipaksa mengunyah kencur.
Royan mengatakan, penyiksaan berlangsung sekitar 20 jam, sebelum para korban dilepaskan dalam kondisi luka-luka disertai ancaman agar tidak membuka kasus ini. Data pribadi mereka juga disebarkan di media sosial dengan label pelaku kerusuhan.
“Dengan konotasi bahwa malam itu mereka yang melakukan perusahaan kantor Polres Magelang. Sehingga apa? Efeknya itu mereka mendapatkan stigma di masyarakat sebagai pelaku kriminal. Bahkan ada juga yang dikeluarkan dari sekolah,” kata Royan menjelaskan.

Berulang
Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan menegaskan, kasus Magelang mengonfirmasi pola penyiksaan yang terus berulang di berbagai wilayah.
Ia menyatakan seluruh bentuk penyiksaan yang dilarang Konvensi Antipenyiksaan terlihat jelas dalam kasus ini, termasuk metode baru berupa cyber torture, atau penyebaran data pribadi untuk mempermalukan korban dan menimbulkan tekanan psikologis.
“Penyebaran data pribadi yang dilakukan, itu bukan hanya berdampak pada anak datanya disebar, dan kemudian dampak lain juga yang ditimbulkan kepada keluarga. Tetapi, ini memperlihatkan sistem peradilan pidana kita, khususnya di tingkat penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian, semakin canggih dalam arti yang negatif,” kata Fadhil.
Fadhil menegaskan penegakan hukum yang terjadi telah menyimpang dari prinsip “kepentingan terbaik bagi anak” yang menjadi dasar sistem peradilan pidana anak.
Fadhil menilai, sistem hukum memberi insentif pada penyidik untuk menggunakan kekerasan, karena penyiksaan dianggap lebih cepat dan murah dibanding pembuktian ilmiah.
“Dalam pengalaman empirik kami mendampingi dan lain sebagainya, kekuatan alat bukti yang bahkan sudah dimiliki sejak penyidikan seringkali punya nilai kekuatan yang cukup solid ketika ada di persidangan,” kata Fadhil.
"Sulit sekali seorang korban penyiksaan yang juga sedang diadili sebagai terdakwa mencabut keterangannya dan menyatakan pengakuan itu didapatkan pihak kepolisian atau penyidik dari hasil penyiksaan. Sangat sulit terjadi," katanya.
Selain itu, Fadhil mengkritik lemahnya mekanisme akuntabilitas, termasuk proses praperadilan yang dinilai tidak efektif melindungi hak tersangka dan saksi anak. Ia menyebut contoh kasus Del Pedro di Jakarta, di mana anak-anak dipakai sebagai saksi tanpa pendampingan sesuai aturan.
“Dan kami menduga kuat, sangat mungkin keterangan tersebut tidak diberikan dengan bebas, dan diberikan justru dalam atau di bawah tekanan,” kata Fadhil.
“Kami menyayangkan proses hukum yang terjadi di Magelang, terjadi di Jakarta, dan banyak tempat lainnya, yang menggunakan keterangan anak sebagai alat bukti untuk menjerat orang-orang yang dituduh melakukan penghasutan, melakukan kerusuhan, atau melakukan penjarahan.”
Menurutnya, kultur kekerasan, ketidaktahuan aparat terhadap standar investigasi berbasis HAM, dan proses pembuatan KUHAP baru yang tidak memperkuat perlindungan dari penyiksaan, akan menambah kerentanan masyarakat, terutama anak.

Gagal
Wakil Koordinator Eksternal KontraS, Andrie Yunus menekankan, kasus penyiksaan terhadap anak di Polres Magelang Kota menunjukkan kegagalan serius institusi kepolisian dalam menjalankan fungsi perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia.
Ia menyebut, pola kekerasan yang terjadi bukan insiden tunggal, tetapi bagian dari pendekatan represif yang dibiarkan berjalan tanpa kontrol.
“Dimulai misal dari sistem pembinaan dan pendidikan awal, baik itu bintara maupun perwira, atau bahkan tamtama khusus untuk satuan Brimob, itu masih kental sekali budaya kekerasan, bagaimana kemudian polisi diberikan porsi latihan fisik lebih banyak ketimbang diberikan pelatihan-pelatihan yang sifatnya memberikan layanan publik,” kata Andrie.
Andrie memaparkan, Laporan Penyiksaan 2025 yang diterbitkan KontraS pada Juni lalu mencatat, 602 peristiwa penyiksaan. Pada 38 peristiwa penyiksaan, 86 menjadi korban, yakni 10 orang meninggal, dan 76 orang mengalami luka ringan hingga berat.
“Dan dari data 602 peristiwa tadi, 44 peristiwa itu berkaitan dengan tindakan salah tangkap yang dilakukan kepolisian,” imbuh Andrie.
Menurut Andri, temuan ini memperkuat fakta, instruksi untuk melakukan tindakan tegas pada Agustus lalu diterjemahkan secara brutal di lapangan, menormalisasi penyiksaan sebagai metode penegakan hukum.
Ia menegaskan, penyiksaan adalah kejahatan serius yang tidak bisa ditutup dengan alasan operasional, apalagi dialami oleh anak, dan negara wajib memastikan proses hukum pidana, bukan hanya etik.
“Ini yang lagi-lagi impunitas terjadi karena hanya berhenti di etik, tapi tidak ada pemidanaan terhadap pelaku. Ini harus dilakukan secara terbuka dan berbasiskan metode ilmiah,” kata dia.
Andri mendesak kapolri segera menindak tegas seluruh anggota yang terlibat, termasuk atasan yang mengetahui tetapi membiarkan tindakan tersebut, serta menghentikan narasi penyangkalan yang hanya memperburuk impunitas.
Ia mendorong lembaga negara seperti Komnas HAM, KPAI, Kompolnas, dan LPSK bertindak cepat memastikan perlindungan terhadap korban dan keluarga, sembari membuka ruang pemantauan publik agar tidak ada manipulasi proses hukum.

Luas
Wakil Ketua Advokasi dan Jaringan YLBHI, Arif Maulana menambahkan, kekerasan aparat terjadi luas di berbagai daerah.
Ia memaparkan, data YLBHI yang mencatat 46 kasus penyiksaan dengan 294 korban sepanjang 2022–2023, serta 24 kasus extrajudicial killing pada 2020–2023, dan 10 kasus salah tangkap di Jabodetabek sepanjang 2016–2022.
“Ini menunjukkan bahwa memang darurat kasus penyiksaan itu betul-betul sudah memprihatinkan. Dan mengherankan sekali, dan menyedihkan sekali, ini seolah dibiarkan. Tidak ada intervensi serius dari negara,” kata Arif.
Arif menegaskan, kasus penyiksaan terhadap anak-anak di Polres Magelang Kota merupakan bukti nyata kegagalan negara memenuhi kewajiban perlindungan HAM.
Ia menyebut, praktik intimidasi terhadap keluarga korban—termasuk upaya memaksa pencabutan laporan—sebagai tindakan yang tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mencederai martabat kemanusiaan.
“Bahkan ada juga kemudian modus yang lain dengan mendatangkan preman-preman di wilayah sekitar, yang mereka diancam kalau tidak mampu menghentikan pelapor ya kasus-kasus preman ini akan kemudian diusut. Jadi, banyak cara-cara yang yang menurut saya tidak bertanggung jawab yang digunakan untuk melanggar hak atas keadilan bagi korban,” kata Arif.
Arif menekankan, penyiksaan adalah kejahatan berat yang tidak bisa diselesaikan melalui perdamaian atau pencabutan laporan, karena merupakan delik serius yang wajibdiusut negara.
Ia meminta kapolri bertanggung jawab dan mendesak presiden segera menjalankan janji reformasi kepolisian, memperkuat sistem pengawasan internal-eksternal, serta menghentikan impunitas aparat.
Arif juga menyerukan, Komnas HAM, KPAI, Kompolnas, dan LPSK bergerak proaktif memberi perlindungan hukum bagi korban dan memastikan tidak ada intimidasi lanjutan.
Berdasarkan temuan-temuan ini, Koalisi menyampaikan beberapa desakan dan tuntutan
sebagai berikut:
1. Menuntut kapolri mundur dari jabatannya karena tidak dapat menyelesaikan kasus
kekerasan dan penyiksaan, bahkan pelanggaran HAM sebagai bentuk
ketidakprofesionalannya;
2. Mendesak presiden untuk mereformasi Polri;
3. Menyerukan untuk memperkuat pengawasan kepolisian agar berfungsi baik, dan
masyarakat diberikan ruang agar dapat berpartisipasi dalam hal mengontrol kewenangan
kepolisian;
4. Usut tuntas penegakan hukum agar tidak terjadi impunitas dalam tubuh Polri secara
berkelanjutan;
5. Mendesak Polres Magelang Kota berhenti mengintimidasi korban dan keluarga korban yang terjadi secara masif hingga hari ini.
Baca juga:




