Komnas Pengendalian Tembakau menyebut kekhawatiran terbesar adalah meningkatnya jumlah perokok anak. Sebab, prevalensi anak merokok terus meningkat.
Penulis: Naomi Lyandra, Resky N
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Arah kebijakan cukai rokok atau cukai hasil tembakau (CHT) 2026 sudah diputuskan pemerintah.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memastikan rencana kenaikan tarif cukai hasil tembakau atau cukai rokok batal diterapkan pada 2026. Artinya, cukai rokok tidak naik tahun depan atau dalam dua tahun beruntun.
“Tahun 2026 tarif cukainya tidak kami naikkan,” kata Purbaya di Kantor Kementerian Keuangan Jakarta, Jumat (26/9/2025) dikutip dari ANTARA.
Purbaya mengaku telah beraudiensi dengan pelaku industri rokok besar dalam negeri. Dalam pertemuan itu, dialog dilakukan terkait kelanjutan industri rokok, di mana Purbaya turut menanyakan terkait kebijakan tarif cukai.
“Satu hal yang saya diskusikan dengan mereka, apakah saya perlu mengubah tarif cukainya tahun 2026? Mereka bilang, asal nggak diubah sudah cukup. Ya sudah, saya nggak ubah,” ujar Purbaya.
Sebelumnya pekan lalu, ketika menanggapi pengenaan rata-rata cukai rokok di kisaran 57 persen, Purbaya mengaku kaget.
“Cukai rokok gimana, sekarang berapa rata-rata? 57 persen, wah tinggi amat, firaun lu,” ujar Purbaya di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (19/9/2025).
Kenaikan cukai rokok di Indonesia bervariasi dari tahun ke tahun, dengan rata-rata kenaikan sekitar 10-12,5% per tahun pada periode 2012-2024, kecuali tahun 2020 dan 2025. Kenaikan tertinggi terjadi pada tahun 2020 (sekitar 23%).

Cukai Instrumen Pengendali Konsumsi Rokok
Komnas Pengendalian Tembakau (Komnas PT) menilai ada kekeliruan paradigma pemerintah dalam melihat cukai rokok.
Sekjen Komnas PT, Tulus Abadi menyebut saat ini orientasi fiskal terlalu dominan, sehingga fungsi cukai sebagai instrumen pengendali konsumsi rokok tidak berjalan efektif.
“Ya, kalau melihat kebijakan cukai itu tidak pernah tidak tarik ulur. Tetapi pada konteks normatif dan filosofis, ini yang kita bilang bahwa paradigma kita dalam melihat cukai itu sesat pikir. Karena ya namanya cukai itu kan instrumen pengendali,” ujar Tulus dalam siaran Ruang Publik KBR, Jumat (26/9/2025).
Ia menyoroti bahwa penerapan cukai di Indonesia masih jauh di bawah standar besaran persentase negara-negara global. Sebab, ada negara yang memprioritaskan pengendalian rokok dengan mengenakan cukai diatas 70 persen.
“Di lapangan belum ada yang 57%. Rata-rata baru 38% atau bahkan kurang. Sedangkan kalau kita bicara standar internasional, juga rokok itu minimal 75%. Jadi kita masih under standar internasional. Dan makanya sampai sekarang sebagai instrumen pengendali konsumsi rokok, kenapa belum efektif? Karena prevalensi merokok kita masih 32%,” paparnya.
Kekhawatiran terbesar adalah meningkatnya jumlah perokok anak. Saat ini, kata dia, prevalensi anak merokok terus meningkat meskipun cukai rokok sudah berada di kisaran 57 persen.
“Anak-anak dan remaja menjadi tumbal karena saat ini 6 juta anak itu perokok aktif. Dan lebih ironis lagi adalah rokok aktif konvensional dan juga rokok aktif elektronik,” jelas Tulus.
Ia menegaskan, solusi tidak hanya berhenti pada kenaikan tarif cukai, tetapi juga harus diiringi kebijakan non-fiskal seperti pengawasan, larangan iklan rokok, dan edukasi kesehatan publik.

Cukai Tinggi Berdampak kepada Industri
Ketua Satgas Pangan HIPMI sekaligus Wasekjen BPP HIPMI, M. Hadi Nainggolan, menegaskan bahwa tarif cukai yang terlalu tinggi membawa dampak serius pada industri rokok nasional.
Ia menilai beban cukai saat ini menekan serapan tembakau petani, menurunkan produktivitas industri, sekaligus mendorong peredaran rokok ilegal.
“Hematnya, singkatnya kita dari pengusaha sangat mengapresiasi ya yang menjadi mungkin masih wacana yang dilontarkan oleh Menteri Keuangan Pak Purbaya terkait bagaimana cukai rokok ini yang luar biasa tingginya. Kebetulan saya sering ke Jawa Timur, ke NTB, memang dampak dari cukai rokok yang tinggi ini membuat serapan tembako petani ini menurun ke pabrik-pabrik pengolahan rokok,” jelas Hadi dalam siaran Ruang Publik KBR, Jumat (26/9/2025).
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa industri rokok bukan hanya soal produksi, tetapi juga mata rantai besar yang melibatkan banyak tenaga kerja.
“Kita nggak boleh pungkirin ya, mulai dari petaninya, pekerja rokok di industrinya maupun di ekosistem logistik dan distribusi yang lainnya. Artinya, kalau misal posisinya cukai rokok ini makin lama makin tinggi itu sama dengan orang, industri yang ada di ekosistem rokok ini pasti akan berpengaruh turun secara serapannya,” tambahnya.
Hadi juga menyinggung fenomena rokok ilegal yang semakin marak akibat tingginya cukai.

Pemerintah Perlu Mengkaji Cukai Rokok secara Komprehensif
Zainul Munasichin, Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKB, mengakui bahwa isu cukai rokok selalu menempatkan parlemen pada posisi dilematis.
“Komisi Sembilan ini soal isu cukai rokok itu pasti dalam posisi dilematis ya. Karena dua isu besar, dua stakeholder utama di dua isu ini tuh ada di kemitraan kami. Satu, Kementerian Kesehatan, itu mitra kami. Yang kedua, Kementerian Tenaga Kerja, itu adalah mitra kami,” ujar Zainul dalam siaran Ruang Publik KBR, Jumat (26/9/2025).
Menurutnya, kepentingan nasional harus dilihat dari dua sisi besar yaitu kesehatan masyarakat dan kesejahteraan pekerja.
Zainul juga mengingatkan bahwa pengendalian melalui cukai tidak bisa berjalan efektif jika tidak diikuti dengan pengawasan ketat dan edukasi masyarakat.
“Begitu cukai rokok dinaikkan, maka perokok ini akan beralih mencari rokok yang murah. Rokok murah itu ada di mana? Salah satunya adalah di rokok yang ilegal. Jadi cukai rokok ini dalam beberapa hal, ternyata juga kalau tujuannya adalah pengendalian, masih belum maksimal juga karena tidak diikuti dengan kebicaraan lain soal pengawasan dan juga pendidikan di cukai rokok,” katanya.

Landasan Aturan Soal Cukai Rokok
Dalam aturan pengenaan cukai diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Undang-undang ini menjadi dasar pengenaan cukai atas hasil tembakau dan menjadi landasan bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan cukai.
Sementara itu, kenaikan tarif cukai spesifik diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK):yang diterbitkan setiap tahun oleh Kementerian Keuangan. Contohnya PMK 191/2022: Mengatur kenaikan tarif cukai rata-rata 10% per tahun untuk 2023 dan 2024, serta kenaikan tarif untuk rokok elektrik dan hasil pengolahan tembakau lainnya.
Kemudian, PMK 96/2024 dan PMK 97/2024: Mengatur penetapan HJE (Harga Jual Eceran) untuk tahun 2025, di mana tarif cukai tidak naik, tetapi HJE mengalami kenaikan.
Saat ini, rata-rata pengenaan cukai rokok di Indonesia di kisaran 57 persen.
Alasan Kemenkes Peningkatan Tarif Cukai Rokok Penting
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memastikan komitmen untuk meningkatkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) demi menurunkan tingkat penduduk yang menggunakan produk tembakau dan menekan faktor risiko kesehatan bagi masyarakat.
"Cukai tetap kita dorong. Sebenarnya ada isu yang menjadi pembelajaran yang sangat baik adalah metode penghitungan cukai kita itu masih terlalu complicated dibandingkan negara-negara lain mereka jauh lebih mudah," kata Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes Siti Nadia Tarmizi dalam konferensi pers Indonesian Youth Council For Tactical Changes di Jakarta, Kamis (17/7/2025) dikutip dari ANTARA.
Dorongan agar Kementerian Keuangan meningkatkan cukai untuk produk tembakau itu diharapkan dapat menurunkan keterjangkauan produk tembakau dan untuk pembiayaan pengendaliannya. Dalam bentuk inisiatif promotif dan preventif demi menurunkan tingkat perokok.
Kemenkes juga mendorong kementerian/lembaga lain untuk mengambil langkah tegas mencegah intervensi industri tembakau dan menolak kerja sama atau keterlibatan dengan organisasi yang bekerja sama atau menerima pendanaan dari industri tersebut.

Bahaya Jumlah Perokok Anak Meningkat
Mengutip dari Data Kementerian Kesehatan menunjukkan 75 persen perokok mulai merokok pada usia kurang dari 20 tahun. Sebanyak 23,1 persen di antaranya sudah mulai merokok pada usia 10-14 tahun dan 52,1 persen mulai merokok pada usia 15-19 tahun.
Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan bahwa jumlah perokok aktif diperkirakan mencapai 70 juta orang, dengan 7,4% di antaranya perokok berusia 10-18 tahun.
Kelompok anak dan remaja merupakan kelompok dengan peningkatan jumlah perokok yang paling signifikan. Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada 2019, prevalensi perokok pada anak sekolah usia 13-15 tahun naik dari 18,3% (2016) menjadi 19,2% (2019).
Sementara itu, data SKI 2023 menunjukkan bahwa kelompok usia 15-19 tahun merupakan kelompok perokok terbanyak (56,5%), diikuti usia 10-14 tahun (18,4%).
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media
Baca juga:
- Hari Tani Nasional 2025, Reforma Agraria Sejati Dinanti Petani
- Koalisi Skeptis dengan Penunjukan Dofiri, Polri Perlu Reformasi Radikal