Pakar mengatakan kesalahan dalam proses blending BBM dan etanol berpotensi menyebabkan penurunan mutu bahan bakar dan berdampak pada kendaraan.
Penulis: Naomi Lyandra
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Rencana pemerintah untuk mencampurkan bahan bakar minyak (BBM) dengan etanol 10 persen menuai beragam respon dari berbagai kalangan.
Anggota Komisi VI DPR, Nevi Zuairina, menilai kebijakan BBM E10 merupakan langkah strategis menuju Net Zero Emission (NZE) 2060, namun harus dikawal tetap dari sisi kesiapan prasarana di lapangan.
“Tujuan kebijakan penerapan E10 dalam BBM adalah untuk mengurangi impor energi fosil atau BBM dan menekan emisi karbon untuk mendukung target NZE, Net Zero Emission tahun 2060,” ujar Nevi dalam Diskusi Ruang Publik di Youtube KBR Media, Jumat (10/10/2025).
Nevi mengingatkan sejumlah catatan penting, seperti kesiapan infrastruktur, ketersediaan pasokan etanol dalam negeri, dan perlindungan konsumen. Selain itu, menurutnya aspek perlindungan konsumen juga perlu menjadi prioritas jika ke depannya timbul masalah yang dialami masyarakat.
“Kami di Komisi VI DPR tentu mendukung, tapi kebijakan ini jangan terburu-buru. Perlu uji coba di lapangan yang transparan terlebih dahulu,” tegasnya.
Ia juga menilai pembahasan E10 perlu melibatkan lintas komisi di DPR karena berkaitan dengan energi dan pertanian.
“Rencana kebijakan ini tentu bukan hanya domain Komisi VI, tapi juga perlu dikonsultasikan dengan Komisi XII dan Komisi IV, karena di situ ada komoditas bahan baku pembentuk etanol yaitu jagung, tebu, singkong, dan ubi jalar,” jelas Nevi.
Nevi menegaskan kembali pentingnya sosialisasi publik dan uji mutu BBM E10 secara independen.
“Libatkan pelaku usaha secara penuh agar tidak terjadi resistensi yang kontraproduktif,” terangnya.
Pentingnya Sosialisasi dan Jaminan Teknis
Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) sekaligus, Anggawira, menilai penerapan bioenergi seperti E10 sebenarnya sejalan dengan komitmen dunia usaha.
“Program biodiesel itu kan sebenarnya juga menyampur solar dengan biodiesel. Jadi sebenarnya itu sudah bagian dari program pemerintah. Tapi karena ini menyangkut masyarakat konsumen yang lebih luas, memang perlu sosialisasi dan diyakinkan secara teknis”, ujarnya dalam Diskusi Ruang Publik di Youtube KBR Media, Jumat (10/10/2025).
Anggawira menekankan pentingnya kolaborasi dengan industri otomotif dan lembaga teknis agar publik tidak dirugikan oleh ketidakpastian informasi.
“Harus berkoordinasi atau melakukan R&D bersama perusahaan otomotif. Karena mesin yang dibuat itu kan spesifikasinya bahan bakar fosil. Tapi tren ke depan kita memang harus punya komitmen untuk menggunakan bahan bakar nabati,” jelasnya.

Anggawira yang juga merupakan Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo) juga menyoroti pentingnya transparansi dan perencanaan kuota BBM agar tidak menimbulkan polemik seperti yang terjadi di SPBU swasta belakangan ini.
“Pertamina dan SPBU swasta perlu pembicaraan komprehensif. Untuk tahun depan jangan sampai tercipta polemik lagi. Mekanisme kuotanya juga perlu lebih responsif terhadap dinamika di lapangan agar konsumen tidak dirugikan”, kata Anggawira.
Menurutnya, inti masalah yang terjadi saat ini lebih pada krisis kepercayaan publik terhadap Pertamina.
“Isu utamanya trust
ya terhadap Pertamina. Penegak hukum juga harus hati-hati jangan sampai menciptakan polemik yang akhirnya bisa merusak citra perusahaan nasional seperti Pertamina,” tambahnya.
Pemerintah Mesti Uji Coba dan Pastikan Keamanan
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN RI) Muhammad Mufti Mubarok menyarankan rencana pencampuran atau blending etanol ke BBM agar diuji coba terlebih dulu.
"Sebelum diaplikasikan secara nasional agar ada zona atau area uji coba terlebih dahulu, guna melihat dampak riil di bidang teknis, ekonomi dan perlindungan konsumen," ujar Mufti dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Kamis (9/10/2025) dikutip dari ANTARA.
Menurutnya kebijakan energi seperti ini jangan hanya dilihat dari sudut efisiensi atau lingkungan, tapi juga dari sudut konsumen.
BPKN menyampaikan sejumlah masukan atas wacana pemerintah mencampurkan etanol ke dalam bahan bakar minyak (BBM). Kebijakan ini harus dirancang dengan memperhatikan hak-hak konsumen.
"Agar konsumen tidak dirugikan, pemerintah dan pelaku industri harus memberikan data spesifikasi yang jelas, misalnya kadar etanol, dampak pada performa mesin, dan standar pengujian. Konsumen berhak mengetahui bahwa bahan bakar yang mereka beli sesuai kualitas yang dijanjikan," kata Mufti.

BPKN menekankan perlunya sistem pengujian laboratorium independen dan pengawasan distribusi agar tidak terjadi penyimpangan ataupun pencampuran di luar standar.
“Tanpa pengawasan ketat, risiko kerusakan mesin atau degradasi performa bisa muncul,” tegasnya.
"BPKN menyarankan agar penerapan etanol secara menyeluruh dilakukan dalam tahapan bertahap, bukan langsung dalam skala penuh (mandatori),” tambahnya.
Menteri ESDM Susun Peta Jalan BBM E10
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan masih menyusun peta jalan atau roadmap pengimplementasian E10 atau bahan bakar minyak (BBM) yang mengandung etanol sebesar 10 persen. Ia menargetkan 2-3 tahun ke depan, penerapan E10 bisa dilakukan di Tanah Air.
“Kemarin kan baru ratas (rapat terbatas), setelah ratas, baru kita membuat peta jalannya. Ini peta jalannya lagi dibuat, ya,” ucap Bahlil setelah Penandatanganan Nota Kesepahaman antara Menteri ESDM dan Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) di Jakarta, Rabu (8/10/2025) dikutip dari ANTARA.
Rencana untuk mengembangkan E10 berangkat dari keberhasilan pemerintah mengimplementasikan biodiesel, dari yang semula B10 atau campuran 10 persen minyak mentah sawit (crude palm oil/CPO) dengan 90 persen solar untuk bahan bakar diesel.
“Berangkat dari potret keberhasilan biodiesel, mulai sekarang untuk bensin, kami mulai mendorong untuk tahapan ke sana,” kata Bahlil.

Menteri ESDM menjelaskan implementasi E10 masih menunggu persiapan pabrik etanol, baik yang berbahan baku tebu maupun singkong. Langkah tersebut selaras dengan arahan Presiden Prabowo Subianto soal pembangunan industri etanol.
“Untuk pabrik etanol ada dua, satu singkong, satu tebu. Tebu kemungkinan besar itu di Merauke, sementara singkong lagi dipetakan,” ucapnya.
Sebelumnya, Bahlil menyampaikan Presiden Prabowo Subianto menyetujui mandatori campuran etanol 10 persen untuk bahan bakar minyak (BBM), dalam rangka mengurangi emisi karbon dan ketergantungan terhadap impor BBM.
Apakah BBM Campuran Etanol 10 Persen Aman?
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), Ahmad Safrudin mengatakan dari sisi teknologi otomotif, kendaraan di Indonesia sebenarnya sudah siap menggunakan BBM campuran etanol sejak 2006.
“Teknologi kendaraan bermotor kita sejak tahun 2006 sudah memenuhi ketentuan untuk menggunakan bahan bakar yang mengandung etanol,” kata Ahmad dalam Diskusi Ruang Publik di Youtube KBR Media, Jumat (10/10/2025).
Menurutnya, campuran etanol dalam BBM merupakan langkah positif menuju energi bersih dan kemandirian energi nasional, asalkan dilakukan dengan benar dan transparan.
“Yang penting Pertamina membuktikan bahwa mereka kredibel dalam menyajikan BBM yang berkualitas. Blending harus di akhir proses, bukan di awal,” jelas Ahmad.

Proses Blending Etanol di BBM yang Tepat
Ahmad mengingatkan agar nantinya proses pencampuran etanol dengan BBM dilakukan di tahap akhir blending.
“Etanol tidak bisa di-blending di dalam base fuel. Kalau mau nge-blend
dengan etanol itu harus di dalam end process, waktu memproduksi akhir dari BBM. Jadi kalau dari base fuel, itu yang salah secara teknis”, tegas Ahmad.
Ahmad menjelaskan, kesalahan dalam proses blending berpotensi menyebabkan penurunan mutu BBM dan berdampak negatif pada kendaraan.
“Etanol itu sifatnya hygroskopis, sangat mudah mengikat air. Kalau diimpor dan disimpan lama, etanol bisa berubah reaksi dan menimbulkan endapan di tangki BBM. Jadi pencampurannya harus di akhir," jelasnya.
Ahmad juga menyoroti BBM produksi pemerintah yang menurutnya masih di bawah standar global. Kata dia, semestinya SPBU pemerintah segera melakukan pembenahan tata kelola secara komprehensif sebelum menjalankan BBM E10.
“Secara domestik pun produk BBM Pertamina itu buruk dibandingkan yang dipasok oleh SPBU swasta. Indonesia masih menjadi dumping ground BBM berkualitas rendah,” pungkasnya.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media
Baca juga:
- Kans Gugatan Penghapusan Pensiun DPR Dikabulkan MK
- Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu KDM, Pungutan Publik dengan Baju Donasi