ragam
Belajar Sukses Bareng Teman Disabilitas

“Ketika merasa beda, kita jadi tidak percaya diri. Nah, yang utama itu memulihkan rasa percaya diri. Saya bersyukur keluarga mendukung," kata Kikin dalam Podcast Disko "Diskusi Psikologi"

Penulis: Khalisha Putri

Editor: Wydia Angga

Google News
Belajar Sukses Bareng Teman Disabilitas
Ilustrasi support kepada kelompok disabilitas dibuat menggunakan Artificial Intelligence (AI).

KBR, Jakarta – Stigma dan hambatan masih kerap dialami para penyandang disabilitas, meski Indonesia telah memiliki berbagai regulasi untuk menjamin hak-hak mereka. Komisi Nasional Disabilitas (KND) menekankan, penerimaan keluarga menjadi fondasi utama agar penyandang disabilitas bisa tumbuh percaya diri dan mandiri di masyarakat.

Komisioner KND, Kikin Tarigan, menuturkan kisah pribadinya sebagai penyandang disabilitas wicara akibat malformasi palatum (kelainan langit-langit mulut yang membuatnya kesulitan berbicara dan makan) sejak lahir. Ia harus menjalani operasi plastik dan terapi bicara untuk memulihkan kemampuannya berbicara.

“Ketika merasa beda, kita jadi tidak percaya diri. Nah, yang utama itu memulihkan rasa percaya diri. Saya bersyukur keluarga mendukung. Setelah itu, lingkungan mendukung, teman-teman mendukung,” kata Kikin dalam Podcast Disko “Diskusi Psikologi”.

Kikin menegaskan, keluarga berperan penting sebagai lingkar terdekat yang menanamkan nilai bahwa setiap anak punya keunikan dan layak dihargai.

“Kalau keluarga menganggap anaknya beban, itu berat sekali buat anak. Anak akan merasa ‘kok saya nggak berguna?’,” ujarnya.

Sebagai orang yang pernah bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) hingga akhirnya masuk sekolah reguler, Kikin menyebut pengalamannya ikut kegiatan pramuka menjadi titik balik membangun rasa percaya diri.

“Di pramuka, saya belajar memimpin, berinteraksi, dihargai. Saya selalu jadi ketua, selalu juara, dan itu menumbuhkan keyakinan bahwa saya mampu,” kenangnya.

Kikin menekankan, keberhasilan penyandang disabilitas tidak bisa dilepaskan dari interaksi sosial yang luas, agar masyarakat tidak hanya melihat perbedaan, tetapi juga potensi mereka.

red

Ilustrasi penyandang disabilitas mandiri dan bersosialisasi dibuat menggunakan artificial intelligence (AI). 

Sementara itu, Psikolog Klinis Mutiara Maharini atau akrab dipanggil Mahari, menyoroti perspektif psikologis di balik perjuangan para penyandang disabilitas. Menurutnya, dukungan keluarga tidak hanya membentuk rasa percaya diri, tetapi juga menjaga kesehatan mental anak.

“Kita semua sebenarnya rentan. Kalau keluarga menanamkan nilai bahwa anak adalah beban, entah itu disabilitas atau tidak, dampaknya sama, rasa tidak berharga,” tutur Mahari.

Mahari menambahkan, pengalaman pribadi dan pengakuan keluarga bahwa setiap anak adalah unik, menjadi kunci agar penyandang disabilitas tumbuh tanpa rasa minder.

“Kalau kita percaya diri, merasa kita berharga, orang lain bahkan sering kali tidak menyadari perbedaan kita,” ungkap Mahari sambil menyinggung kisah ibunya sendiri yang juga penyandang disabilitas, namun tak pernah dianggap berbeda oleh keluarga.

Kendala Akses dan Dunia Kerja

Di luar dukungan keluarga, Kikin menyoroti persoalan aksesibilitas yang belum memadai. Mulai dari sarana transportasi, gedung, hingga fasilitas publik, banyak yang belum ramah bagi penyandang disabilitas.

“Bagus-bagus gedungnya, tapi kalau nggak terakses teman-teman disabilitas, ya percuma,” jelasnya.

Begitu pula di dunia kerja. Meski sudah ada kuota minimal penerimaan pegawai disabilitas — 2% di instansi pemerintah dan 1% di swasta, namun supply tenaga kerja dari kalangan disabilitas sering kali belum terpenuhi karena minimnya kesempatan bersekolah sejak awal.

“Kalau di rumah saja tidak diterima, akhirnya anak nggak sekolah. Terus mau kerja apa? Nggak ketemu antara kebutuhan dan ketersediaan,” tegas Kikin.

Ia menambahkan bahwa kebijakan inklusif juga harus mempertimbangkan biaya tambahan yang kerap ditanggung penyandang disabilitas, misalnya untuk terapi atau alat bantu.

“Mereka perlu upaya lebih, jadi kita perlu dorong juga kewirausahaan atau konsesi agar mereka tidak terbebani,” katanya.

Kisah Inspiratif: David, Choeirul, dan Michael

Podcast Disko juga menampilkan cerita sukses dari tiga orang penyandang disabilitas. Salah satunya adalah David Wiono Ansil, seorang penyandang disabilitas fisik yang kini berjualan salad buah dan stik sukun.

“Awalnya saya kesulitan mobilitas. Terus saya ajak ibu-ibu rumah tangga untuk kolaborasi, mereka yang bikin, saya yang jual. Ini sudah berjalan beberapa bulan,” kata David kepada KBR Media.

David menganggap seni berjualan justru meningkatkan rasa percaya diri dan membuka peluang bersosialisasi.

red

Penyandang disabilitas daksa - pengusaha UMKM stik talas dan salad buah, David Wiyono Ansil. (Foto: KBR Media) 

“Kuncinya berjuang dan menjadi yang terbaik dari diri sendiri,” ujar David.

Kisah lain datang dari Choeirul, seorang penyandang disabilitas netra yang berhasil menerbitkan kumpulan puisi berjudul Cahaya Gempita Aksara.

red

Penulis dengan disabilitas netra, Choeirul. (Foto: KBR Media)

“Sekarang sudah lumayan banyak buku-buku braille, tapi distribusinya masih terbatas di lembaga-lembaga khusus,” kata Choeirul. Itulah mengapa, menurut Choeirul penyandang disabilitas netra mestinya bias mengakses buku-buku tersebut untuk menambah wawasan dan pengetahuannya.

Sementara itu, seorang influencer Michael Valentino memanfaatkan platform TikTok untuk berbagi konten edukasi. Ia pernah menerima pesan dari seorang ibu yang anaknya tertolong setelah menonton videonya.

“Itu bikin saya puas. Jadi konten yang saya buat bukan hanya viral, tapi punya dampak,” ungkap Michael.

red

Content creator netra, Michael Valentino. (Foto: KBR Media)

Perspektif Inklusif

Komisioner KND, Kikin mengingatkan, semua orang berpotensi menjadi penyandang disabilitas, seiring menurunnya fungsi tubuh di usia lanjut. Karena itu, membangun perspektif inklusif penting agar tidak ada yang tertinggal.

“Memberikan yang terbaik bagi teman-teman disabilitas itu sama saja menyiapkan masa depan kita sendiri,” kata Kikin.

Senada, Psikolog Klinis Mahari menegaskan pentingnya menghargai setiap individu tanpa diskriminasi.

“Kita perlu mendengar, menerima, dan menghargai orang lain, supaya mereka punya mentalitas bahwa mereka berharga,” pungkas Mahari.

Salah Satu Support yang Diperlukan

Orang dengan disabilitas hidup dengan extra cost of disability—biaya tambahan yang tidak bisa dihindari demi memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari seperti mobilitas, komunikasi, pendidikan, kesehatan, hingga pekerjaan. 

Hal ini, menurut Gerakan Literasi Inklusi (Gelitik), bukanlah tentang gaya hidup, tetapi tentang bertahan hidup. Namun hingga kini, Gelitik dalam siaran persnya, menyebut belum ada skema tunjangan disabilitas nasional yang sistematis dan menyeluruh.

Gelitik lantas memberikan rekomendasinya kepada pemerintah mengenai tunjangan disabilitas tersebut. Diantaranya:

1. Tunjangan disabilitas bukan belas kasihan, tetapi hak asasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H UUD 1945, Pasal 28 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD), serta Pasal 16 dan 17 UU No. 8 Tahun 2016.

2. Negara perlu menetapkan Indeks biaya tambahan yang timbul akibat Disabilitas, guna memetakan kebutuhan hidup berdasarkan jenis dan tingkat disabilitas.

3. Konsesi harus menjadi langkah awal dalam skema tunjangan disabilitas, dan RPP-nya harus segera disahkan. Konsesi dapat diwujudkan melalui kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, BUMN, dan sektor swasta.

4. Tunjangan disabilitas harus dirancang secara nasional dan terintegrasi, bukan bergantung pada kebijakan lokal yang sporadis.

5. Berlakukan subsidi pajak dan bea masuk untuk alat bantu disabilitas, agar kelompok disabilitas tidak menanggung beban ganda.

6. Reformasi data sosial ekonomi harus menjamin keadilan, agar pengeluaran tinggi akibat aksesibilitas tidak menyebabkan komunitas disabilitas terhapus dari skema bantuan sosial.

7. Libatkan kelompok disabilitas secara aktif dalam perumusan kebijakan, agar solusi yang dihasilkan benar-benar menjawab kebutuhan nyata.

Gelitik merupakan komunitas yang diinisiasi oleh alumni Australia dengan disabilitas, menegaskan komitmennya untuk menyuarakan the voiceless.

Baca juga:

- Kesehatan Mental bagi Semua, Mengakhiri Era “Laki-Laki Tidak Bercerita”

- Lansia dan Caregiver Sama-Sama Perlu Jaga Mental

Lebih lanjut terkait pembahasan Belajar Sukses Bareng Teman Disabilitas, yuk simak podcast Diskusi Psikologi (Disko) melalui link berikut:

disabilitas
sukses
psikologi
mental

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...