ragam
Ancaman Bom Waktu Gas Metana di TPA

Tata kelola sampah yang buruk menjadi akar masalah munculnya gas metana yang berkontribusi pada pemanasan global

Penulis: Resky Novianto

Editor: Ninik Yuniati

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
Ancaman Bom Waktu Gas Metana di TPA
Gunungan sampah di TPST Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. Timbunan sampahnya sudah mencapai 70 meter. (Foto: KBR/Resky)

KBR, Bantargebang - Pris Polly Lengkong, Ketua Ikatan Pemulung Indonesia (IPI), mengingat-ingat kapan peristiwa longsor terjadi di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang. Di 2023, katanya, sembari meminta konfirmasi ke Nurwenci, salah satu pemulung, saat berbincang di kantor IPI, Agustus 2025 lalu.

“Ke sini sih dua kali ya kebakarannya. Tiba-tiba keluar api, gak ada apa-apa, keluar api. Untung yang kedua, pada saat itu ada pemulung lagi nyari (sampah), langsung dipademin,” kata Prolly.

Berdasarkan pemberitaan di kompas.com dan detik.com, kebakaran melanda Zona 2, zona yang tidak aktif atau sudah ditutup. Gas metana dan cuaca panas ekstrem diduga menjadi pemicunya, menurut keterangan pihak Pemadam Kebakaran Kota Bekasi.

Selain kebakaran, TPST Bantargebang juga beberapa kali mengalami longsor, tak ada korban jiwa maupun luka yang dilaporkan.

Tragedi longsor terbesar terjadi di TPA Leuwigajah, Cimahi, Bandung Raya, Jawa Barat pada 2005 yang menewaskan lebih dari 140 orang. Insiden itu disebabkan oleh ledakan gas metana.

red
Nurwenci (32), pemulung di Bantargebang berpose di depan rumah kontrakannya, dengan harga sewa Rp200 ribu per bulan. Lulusan SD kelahiran Indramayu, Jawa Barat ini, bekerja sebagai pemulung sejak usia 10 tahun. (Foto: KBR/Resky).
advertisement

Baca juga: Jaminan Kesehatan bagi Pejuang Kebersihan

Dari sejumlah peristiwa ini, keberadaan gas metana di fasilitas pengelolaan sampah, terbukti bisa menyebabkan bencana, yang mengancam keselamatan. Para pemulung dan petugas di tempat pengolahan sampah berpotensi menjadi korban. Di Bantargebang, ada sekitar 4 ribu pemulung, berdasarkan data IPI. Sedangkan jumlah petugas TPST mencapai 11 ribu orang.

Namun, menurut Polly, para pemulung tak banyak tahu tentang gas metana.

Nurwenci (32), pemulung di Bantargebang, tampak kebingungan ketika disebut soal “gas metana”. Belum pernah ia dengar sebelumnya.

Pemulung yang sudah lebih dari 20 tahun bekerja di Bantargebang ini, mengira gas metana yang dimaksud adalah bau yang dihasilkan sampah.

Enggak tahu gas metana. Bagaimana ya, udah biasa sih. Ya bau-bau gimana tuh, sama sih. Kalau itu sampah memang bau, ya gimana lagi,” ucapnya polos.

Nurwenci memang belum pernah mengalami kejadian longsor atau kebakaran selama bekerja di Bantargebang. Namun, ibu dua anak asal Indramayu, Jawa Barat ini beberapa kali kecelakaan. Kakinya terkena pecahan beling dan kepalanya terhantam balok kayu. Semua itu, ia anggap sebagai risiko yang harus ditanggung demi mencari nafkah. Nurwenci bekerja di zona 4 Bantargebang dan saban hari bisa mengantongi minimal Rp70 ribu.

“Enak mulung, enggak mau kerja yang lain,” ujar dia.

Bom Waktu

TPST Bantargebang menjadi salah satu hotspot penghasil gas metana karena memiliki gunungan sampah terbesar se-Asia Tenggara dengan pengelolaan yang buruk.

Fasilitas itu sudah beroperasi sejak 1980-an, dengan luas area saat ini mencapai 110 hektare, terbagi dalam 6 zona. Hanya 2 zona yang masih aktif, 4 zona sudah ditutup atau tidak aktif.

Sampah dari berbagai wilayah di Jakarta dan Bekasi masuk setiap hari dengan total volume sekitar 7.500 ton, dengan kondisi tidak terpilah alias tercampur antara organik dan anorganik.

red
Timbunan sampah di TPST Bantargebang dalam kondisi tak terpilah. Volume sampah yang masuk rata-rata mencapai 7.500 ton. (Foto: KBR/Resky)
advertisement

Menurut Direktur Eksekutif Dietplastik Indonesia, Tiza Mafira, hal ini memicu terbentuknya gas metana, karena proses penguraian sampah organik berlangsung di lingkungan yang kurang oksigen (anaerobik).

“Metana terbentuk ketika bahan organik yang harusnya bisa terurai ketika terekspos oleh oksigen, itu tidak bisa terurai dengan sempurna, karena ketutupan plastik, ketutupan popok dan sebagainya,” kata Tiza kepada KBR Media, Senin (25/8/2025).

Tiza bilang, sampah tercampur yang menggunung bakal memicu akumulasi gas metana di TPA, sehingga kebakaran rentan terjadi.

“Ketika menggunung, itu menghasilkan sebuah bom metana, bom waktu yang bisa meledak dan sudah sering juga meledak dan terbakar,” imbuhnya.

Gas metana tidak berwarna dan tidak berbau sehingga tidak mudah dideteksi.

Pakar Lingkungan Institut Teknologi Nasional (ITENAS) Didin Agustian Permadi menuturkan, gas ini merupakan salah satu komponen pembentuk ozon, penyebab pencemaran udara yang berbahaya bagi kesehatan.

“Kalau kita melihat kotanya diselimuti lapisan coklat, indikasi adanya polusi udara, biasanya kabut fotokimia yaitu yang dinamakan dengan ozon, salah satunya dibentuk dari metana,” kata Didin kepada KBR Media, Selasa (26/8/2025).

Gas metana, kata Didin, termasuk salah satu gas rumah kaca yang berkontribusi pada pemanasan global. Gas dengan rumus kimia CH4 ini mampu memerangkap panas di atmosfer lebih kuat dibanding karbon dioksida (CO2) dalam jangka pendek.

Proyek MERIT: Merintis Pengurangan Gas Metana di TPA

Pengurangan gas metana menjadi agenda global karena dampaknya yang signifikan pada perubahan iklim.

Di COP26 di Glasgow pada 2021, Global Methane Pledge diluncurkan dengan target pengurangan 30 persen gas metana dari level 2020 di 2030. Indonesia termasuk negara yang menandatangani dan berkomitmen mendukung pemenuhan target tersebut.

red
Estimasi emisi global tahun 2020 dan emisi tahun 2030 dengan kondisi bisnis seperti biasa (BAU), emisi konstan, dan dengan Global Methane Pledge (GMP). Sumber: Database GHG Komunitas EDGAR (emisi historis) dan UNEP CCAC. (2022). Sumber: globalmethanepledge.org
advertisement

Indonesia juga merupakan penghasil gas metana. Berdasarkan data Climate Transparency pada 2019, sebanyak 56 persen produksi gas metana di Indonesia bersumber dari TPA dan limbah. Di berbagai laporan dan riset, sampah selalu masuk tiga besar penghasil gas metana, bersama migas dan pertanian.

Namun, meski TPA diakui sebagai sumber utama gas metana, belum ada data valid yang bisa dijadikan pijakan.

Menurut Direktur Eksekutif Dietplastik Indonesia, Tiza Mafira, riset dan studi tentang gas metana di TPA selama ini belum komprehensif. Metodologinya perlu diperbaiki.

“Beberapa tipe sampah yang menghasilkan gas metana tidak diuji dalam studi-studi tersebut. Misalnya popok, tidak diuji soalnya popok itu bukan sampah organik, tetapi di dalamnya terkandung sesuatu yang organik,” kata Tiza.

Situasi tidak ideal ini menggugah Dietplastik Indonesia bersama Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB) Bandung, dan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, untuk berkolaborasi meluncurkan “Proyek MERIT” atau Methane Emissions Reduction Initiative for Transparency.

Ini adalah inisiatif pertama di Indonesia yang menghitung besaran emisi di tiga TPA tingkat provinsi secara kredibel dan transparan. Ketiga TPA itu adalah TPST Bantargebang (Jakarta), TPA Sarimukti (Bandung), dan TPA Suwung (Bali).

Data ini penting untuk menentukan arah kebijakan pengelolaan sampah sekaligus mereduksi gas metana di TPA.

“Kelihatannya kayak menyelesaikan dua masalah dengan satu intervensi. Kita melakukan intervensi masalah sampah, tetapi tidak hanya masalah sampah yang teratasi, masalah gas metana juga potensi diatasi,” tutur Tiza yang juga Research Coordinator Proyek MERIT.

Inisiatif ini juga diharapkan bisa mendorong sinkronisasi data sampah dengan data emisi metana, sehingga nantinya kebijakan pengolahan sampah sinergis dengan pengurangan gas metana.

“Supaya pemerintah bisa melaporkan, memonitoring dan melakukan perbaikan dari intervensi tersebut. Itulah pentingnya data,” imbuh Tiza.

red
Aktivitas pengukuran gas metana di Bantargebang, inisiatif Proyek MERIT. (Foto: dokumen Aliansi Zero Waste Indonesia).
advertisement

Apa Hasil Kajian Proyek MERIT?

Project MERIT dilaksanakan di pertengahan 2024 dengan menggunakan metode Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Tier 2. Sedangkan, verifikasi pengukuran menggunakan alat Closed Flux Chamber (CFC).

Metode IPCC Tier 2 dinilai lebih akurat dibanding Tier 1 karena mempertimbangkan data lokal, sehingga bisa menggambarkan kondisi nyata di lapangan.

“Kalau berdasarkan metode itu, kategori sampah yang di-sampling, sangat penting. Seperti misalnya, popok dimasukkan, sampah tekstil dimasukkan juga tersendiri, karena tekstil juga banyak yang organik. Nah, (jika tidak dimasukkan), itu tidak akan menghasilkan angka metana yang akurat,” terang Tiza.

Beberapa Tenaga Ahli Udara dilibatkan dalam proyek ini, di antaranya dua Dosen Teknik Lingkungan Institut Teknologi Nasional (ITENAS) Didin Agustian Permadi dan Siti Ainun.

Menurut Ainun, di TPST Bantargebang, ada 139 titik di beberapa zona pembuangan yang dijadikan sampel riset. Mereka membandingkan emisi gas metana di zona aktif tanpa penutup tanah dengan zona tidak aktif dengan penutup tanah.

red
Pengukuran emisi gas metana dilakukan salah satunya di Zona I TPST Bantargebang dengan jumlah 139 titik/spot sebagai sampel pengujian. Foto: Dokumen Project MERIT
advertisement

Temuannya menarik. Zona yang sudah tidak aktif dan dilengkapi penutup tanah justru angka metananya tertinggi, yakni, 1,5368 giga permeter kubik perjam. Sedangkan zona aktif tanpa penutup tanah, 0,6984 giga permeter kubik perjam.

“Kami pikir ketika dia (tumpukan sampah) ada penutupnya, mungkin dia (metana) rendah, lebih tidak muncul ke atas, terdifusi ke permukaan, tetapi ternyata tidak juga,” jelas Ainun.

Artinya bahkan di lokasi yang sudah tidak aktif, tidak ada buangan sampah baru, gas metana tetap muncul. Keberadaan penutup tanah tak menjamin gas tidak bocor.

“Dari situlah kita mengetahui bahwa metana itu muncul di beberapa titik, termasuk titik yang sudah lama dan tanpa urukan, titik yang sudah lama dengan urukan, dan titik-titik yang baru-baru keluar dari sampah,” ungkap Tiza.

Jika komparasi antar-TPA, kadar emisi gas metana di Bantargebang menjadi yang terbesar, disusul TPA Suwung, dan TPA Sarimukti.

Kadar metana dipengarungi sejumlah faktor: jumlah sampah yang masuk, kadar sampah tercampur atau DOC (Degradeable Organic Carbon), dan usia TPA.

DOC merupakan bahan organik dalam sampah yang bisa terurai melalui proses biologis. Jika DOC terurai di lingkungan kurang oksigen (anaerobik), maka akan menimbulkan gas metana.

Semakin besar kandungan DOC dalam sampah, semakin besar potensi gas metana yang dihasilkan.

Kajian MERIT menunjukkan, ketiga TPA memiliki komposisi sampah sisa makanan tinggi, yang berkontribusi pada nilai DOC yang tinggi. Sampah kebun, kertas, dan kardus juga punya kontribusi serupa.

red
Baseline emisi metana untuk TPA Suwung, TPPAS Sarimukti, dan TPST Bantagebang berdasarkan pemodelan IPCC Tier 2 (2024). Foto: Dokumen Project MERIT
advertisement

Baca juga: Solusi Palsu Sampah Perkotaan

Metode pengukuran lain yang diterapkan dalam Proyek MERIT adalah Closed Flux Chamber (CFC). Hasilnya menunjukkan angka yang sedikit berbeda dibanding IPCC Tier 2.

TPST Bantargebang tetap di urutan teratas penghasil gas metana, disusul TPA Sarimukti, dan TPA Suwung.

red
Perbandingan Emisi Gas Metana dengan Metode IPCC Tier 2, CFC, dan platform berbasis data satellite. Foto: Dokumen Project MERIT
advertisement

Menurut Ainun, emisi gas metana bakal terus dihasilkan dari TPA hingga puluhan bahkan ratusan tahun, selama proses penguraian secara anaerobik masih berlangsung.

Hal itu tergambar pula dari hasil riset di TPA Sumur Batu Kota Bekasi yang lokasinya berdekatan dengan TPST Bantargebang. Kajian dengan metode LandGEM (Landfill Gas Emission Model) ini, menunjukkan emisi metana tetap muncul meski semisal TPA-nya ditutup.

red
Data model pengujian LandGEM TPA Sumur Batu Kota Bekasi untuk mengetahui emisi gas metana yang bertahan selama ratusan tahun meskipun TPA sudah tidak aktif. Foto: Dokumen Project MERIT.
advertisement

Rekomendasi Proyek MERIT

Hasil kajian Proyek MERIT merekomendasikan upaya pengurangan volume dan komposisi sampah yang masuk di TPA. Kondisi sampah yang tercampur menjadi sebab timbulnya gas metana, sehingga perlu dipilah dari sumber. TPA semestinya dikembalikan ke fungsi asal yakni sebagai tempat pembuangan residu atau sampah yang tak lagi bisa diolah.

Menurut Tiza, perlu ada pencegahan sampah organik masuk ke TPA, sembari mengantisipasi munculnya TPA-TPA liar.

“Jangan sampai pencegahan sampah organik itu menimbulkan tumpukan-tumpukan sampah organik liar di luar TPA. Jadi harus dibarengi dengan suatu upaya sistematis mengelola sampah organik dengan baik dan proper di luar TPA,” ujar Tiza.

Kemudian, perlu dibangun fasilitas pengomposan di tingkat komunitas seperti RW. Berikutnya, perlu pengukuran berkala terhadap timbulan gas metana untuk melihat efektivitas strategi pengurangan metana. Pengukuran mesti dilakukan di dalam TPA dan di luar TPA, seperti di fasilitas pengomposan.

“Begitu nggak ada sampah organik masuk ke TPA itu akan kelihatan turun, pasti. Tetapi kita juga perlu mengukur di luar TPA, terjadi leakage atau tidak,” imbuhnya.

Selain itu, pemerintah diminta melakukan harmonisasi data sampah dan emisi, agar pengambilan kebijakannya juga selaras.

Proyek MERIT bakal kembali melakukan pengukuran emisi gas metana di TPST Bantargebang, TPA Sarimukti, dan TPA Suwung di akhir 2025. Kali ini, mereka ingin mengukur emisi gas metana di musim kemarau, untuk dibandingkan dengan temuan di riset pertama yang dilaksanakan pada musim hujan.

“(Tujuan) kedua, kami ingin melihat apakah ada perubahan dari tahun lalu. Kami tidak mengantisipasi banyak perubahan, karena belum ada perubahan intervensi dari tahun lalu,” ucap Tiza.

Baca juga: Cara Unik Hotel di Bandung Olah Sampah Mandiri

Respons Pengelola TPST Bantargebang

Kepala Satuan Pelaksana Pemrosesan Akhir Sampah TPST Bantargebang, Setio Margono mengapresiasi kajian dan rekomendasi Proyek MERIT.

Setio mengaku baru tahu bahwa sumber terbesar gas metana adalah dari sampah-sampah organik. Sementara, selama ini, Bantargebang menerima sampah sisa makanan, sampah organik dari seratusan pasar, juga tebangan kayu dan daun-daun dari dinas pertamanan. Setio mendukung jika ada pemilahan sampah organik sejak di hulu, sehingga mengurangi beban TPST Bantargebang.

“Saya sampaikan kepada teman-teman di wilayah kemarin, kalau bisa ini menjadi bagian penting treatment di sumber. Bagaimana semua sampah yang berjenis organik harusnya sudah tidak masuk ke TPA, termasuk food waste, sampah sisa makanan,” kata Setio kepada KBR Media, Rabu (13/8/2025).

Proyek MERIT, menurut Setio, membantu Dinas Lingkungan Hidup Jakarta mendapatkan data pengukuran gas metana yang lebih detail di Bantargebang.

Setio sepakat gas metana di TPA harus dikelola dan dikendalikan guna menekan dampak buruknya.

Sebagai pengelola di hilir, TPST Bantargebang terbuka dengan segala opsi metode pengelolaan sampah, termasuk mengadopsi teknologi seperti methane capture, menangkap metana untuk dijadikan energi listrik.

red
Kepala Satuan Pelaksana Pemrosesan Akhir Sampah TPST Bantargebang, Setio Margono. Foto: KBR/Resky
advertisement

Baca juga: Jalan Terjal Desa di Bali Kelola Sampah Berbasis Sumber

Saat ini, di TPST Bantargebang, sebagian gas metana diolah pihak swasta, PT NOEI (Navigat Organic Energy Indonesia), diubah menjadi listrik kemudian dijual ke PLN Jawa Barat.

Setio bilang, pemprov berniat mengambil alih pengelolaan gas metana ini, tetapi proses pelimpahan dari swasta ke pemda, masih dalam proses.

Di 2017, era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, saat pemprov mengambil alih pengelolaan TPST Bantargebang dari swasta, bagian yang masih dikelola PT NOEI belum diserahterimakan.

“Kita mau ngolah, (tapi) ada regulasi yang belum clear. Kalau akhirnya DKI tidak bisa mengolah, kita akan coba gulirkan skema kerjasama. Sekarang kan statusnya, kita nggak bisa mengolah karena tidak dilimpahkan,” tutur Setio.

Saat ini, TPST Bantargebang mengandalkan teknologi Refused Derived Fuel (RDF) dan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Merah Putih, untuk mengurangi volume sampah.

Fasilitas RDF bisa mengolah sampah 100 ton per hari, yang diubah menjadi bahan bakar alternatif yang digunakan di pabrik semen. Sedangkan PLTSa mampu mengolah 2 ribu ton sampah per hari, kemudian diubah menjadi listrik.

“Kita tidak menutup diri. Teknologinya harus A, B tidak. Apa yang bisa menjadi bagian mengurangi itu (sampah) ya kita akan buat,” ujar Setio.

red
Proses penangkapan gas metana atau methane capture untuk diubah menjadi energi listrik atau bahan bakar. Foto: greenh2world.com
advertisement

Bagaimana Tanggapan Pemerintah Pusat?

Deputi Pengendalian Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya Beracun (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup Ade Palguna Ruteka mengakui pentingnya mengetahui besaran volume emisi gas metana di TPA seluruh Indonesia.

“Supaya pemerintah dapat mengetahui risiko yang akan timbul dari jumlah gas metana yang ada dan dapat menentukan kebijakan untuk dapat mengurangi jumlah dan dampaknya,” ujar Ade dalam keterangan resmi kepada KBR Media, Kamis (28/8/2025).

Ade menyebut, teknologi methane capture merupakan metode tepat untuk mengelola timbulan gas metana. Teknologi ini mengubah gas metana menjadi listrik.

“Gas Metana yang timbul dari tumpukan sampah di TPA memang harus dikelola dengan cara ditangkap dan dialirkan untuk dimanfaatkan supaya tidak terlepas ke udara,” imbuh Ade.

Teknologi methane capture diklaim Ade sudah menjadi standar pembangunan TPA di Kementerian Pekerjaan Umum.

“Dalam membangun TPA dengan konsep sanitary landfill sudah menyiapkan pipa-pipa penangkap gas metan sejak pertama kali TPA dibangun dengan maksud untuk dapat mengelola gas metan yang akan timbul,” tutur Ade.

“Di beberapa daerah di Indonesia seperti Kabupaten Malang, gas metan yang ditangkap dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk keperluan rumah tangga di sekitar TPA,” jelas Ade.

Ade sepakat TPA mesti dikembalikan ke fungsi awal sebagai tempat pembuangan akhir residu atau sampah yang sudah tak bisa lagi diolah. Timbulan sampah harus dipilah dan diolah mulai dari rumah dan fasilitas pengolahan sampah di hulu. Ini untuk mengurangi beban di TPA, sekaligus menghemat anggaran.

“Salah satu contohnya, sampah plastik dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku daur ulang dan bahan pengganti bahan bakar untuk pabrik semen atau lebih dikenal sebagai Refuse Derived Fuel (RDF),” ujar dia.

Baca juga: Ubah Sampah Jadi Energi, Sudah Sampai di Mana Kita?

red
Estimasi emisi metana (Mt) menurut wilayah dan sektor pada tahun 2030 dalam skenario Bisnis seperti biasa (BAU) yang dihimpun UNEP (United Nations Environment ProgrammeProgram Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa) CCAC. (2022). Penilaian Metana Global: Laporan Dasar 2030. Sumber: globalmethanepledge.org
advertisement

Hulu vs Hilir, Mana Paling Realistis?

David Sutasurya, Direktur Eksekutif Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB) Bandung, menekankan pentingnya fokus ke penanganan sampah di hulu, ketimbang hilir, untuk mengurangi gas metana. Aturan yang jelas dan tegas melarang sampah organik masuk TPA perlu dibuat, lengkap dengan sanksi serta insentifnya. David mendorong payung hukumnya selevel peraturan menteri.

“Kelemahan undang-undang kita itu masih sangat umum. Tidak mengamanatkan sesuatu norma pengelolaan sampah yang spesifik. Misalnya, sampah harus terpilah di sumber, sampah organik itu adalah tanggung jawab sumber sampah, semua sampah organik tidak boleh ke TPA, nggak ada kata-kata itu,” ujar David yang juga inisiator Proyek MERIT ini.

Menurutnya, mengelola sampah sejak dari sumber menjadi pilihan paling realistis, karena murah. Jika mengandalkan pengolahan di hilir, berarti butuh infrastuktur dan teknologi seperti methane capture, RDF, dan PLTSa, padahal anggaran pemda terbatas. Selain itu, butuh waktu lama sebelum semua infrastruktur itu siap beroperasi.

“Prosesnya nggak akan mudah dan nggak akan cepat juga. Karena ini akhir-akhirnya akan menggunakan dana publik, jadi ada banyak mekanisme akuntabilitas yang harus dipenuhi. Kadang-kadang akhirnya jadi bertahun-tahun,” terang David.

David membandingkan dengan opsi memilah sampah sejak dari rumah. Prosesnya bakal lebih cepat dan murah.

“Sampah rumah tangga itu sebetulnya jumlahnya sedikit-sedikit, dengan teknologi-teknologi yang sederhana, yang bisa diproduksi lokal, alat komposter, itu bisa dengan cepat di-setup,” lanjutnya.

Ia meyakini nantinya bakal tumbuh usaha-usaha kecil pengolahan sampah organik, jika konsep bebas sampah (zero waste) seperti ini, konsisten diterapkan.

Ekosistem tersebut mendorong peluang kerja di sektor green jobs, sehingga mengurangi pengangguran serta kemiskinan. Apalagi, bidang usaha ini tak butuh skill khusus, lebih banyak kerja fisik.

“Akan ada kebutuhan untuk operator-operator yang mengelola sampah organik. Karena kawasan komersil pasti butuh, terus banyak rumah tangga di Jakarta pasti isinya orang sibuk, nggak sempat, (sehingga) mereka butuh layanan-layanan pengelolaan sampah organik,” kata David.

Simulasi YPBB di Kota Bandung menunjukkan jika 2026 tak ada lagi sampah organik masuk TPA, maka di 2030 produksi metananya turun 70 persen. Hasil ini bisa dicapai tanpa perlu menginstalasi methane capture.

David mengingatkan, teknologi penangkap metana terlihat efektif dalam jangka pendek. Untuk jangka panjang, justru berbahaya karena berpotensi memperparah pemanasan global. Para pegiat lingkungan di Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menyebutnya sebagai solusi palsu.

“Memang (methane capture) bisa berdampak untuk mengurangi polusi jangka pendek. Cuma kita tidak bisa melupakan bahwa metana ini hanya diubah jadi CO2, polusi jangka panjang tetap ada. Akumulasi CO2 di udara akan tetap meningkat,” jelas David.

Baca juga: Dilema Bangun PLTS, Berkaca dari Jakabaring

red
(Dari kiri ke kanan) Yobel Novian Putra, Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA), David Sutasurya, Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB) Bandung, dan Tiza Mafira, Dietplastik Indonesia. (Foto: Resky/KBR)
advertisement

Peluang Pendanaan Iklim Global

Yobel Novian Putra dari Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA) berpendapat, penanganan sampah di hilir bukanlah opsi yang masuk akal. Sebab, selain harus membayar infrastruktur dan aneka teknologi yang mahal, ada biaya-biaya eksternal yang timbul sebagai dampak sampah tercampur di TPA.

Produksi gas metana bisa memicu ledakan, longsor, dan polusi udara, yang mengancam keselamatan pemulung serta warga sekitar. Sampah tercampur juga bakal menghasilkan air lindi yang mencemari air tanah, sehingga tak layak konsumsi karena beracun.

Dua hal tersebut baru sebagian kecil dari seluruh kerugian yang mesti ditanggung akibat tata kelola sampah yang buruk.

“Itu belum lagi menghitung biaya-biaya eksternal yang terjadi kalau air lindinya lepas ke sungai, mencemari mencemari sungai, mengganggu mata pencarian orang dan penghidupan. Kalau dikuantifikasi (kerugiannya) pasti lebih besar lagi,” kata Yobel.

Yobel bilang, dana-dana mitigasi sebaiknya dialokasikan di hulu bukan ke hilir atau TPA. Menurutnya, TPA mestinya dipandang sebagai fase transisi saja.

“TPA adalah semacam kompromi, karena kita belum sanggup membangun sistem pengelolaan sampah yang terpilah. TPA ini beban lho, beban negara sebenarnya, yang dibayar pakai uang publik,” ujar dia.

Ada pendanaan iklim global yang bisa diakses untuk membangun ekosistem pengelolaan sampah berkelanjutan. Pendanaan ini merupakan tindak lanjut Perjanjian Paris 2015 yang mendesak negara maju membiayai aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara berkembang.

Indonesia termasuk negara yang berkomitmen mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK), sehingga berhak mendapatkan pendanaan tersebut. Yang dibutuhkan adalah data yang kredibel, transparan, dan akuntabel. Karenanya, inisiatif seperti Proyek MERIT punya kontribusi penting karena bisa dijadikan basis untuk mengevaluasi komitmen pengurangan gas metana sebagai salah satu GRK.

“Proyek MERIT membantu kita mendekatkan diri kepada data yang lebih aktual dan dekat dengan realita. Orang nggak mau kasih bantuan uang atau sumber daya lain, kalau nggak jelas apa yang mau dicapai,”

“Selain untuk mengakses kemungkinan pendanaan, tetapi juga membantu kita punya birokrasi, tata kelola iklim yang lebih baik,” jelas Yobel.

Penulis: Resky Novianto

Editor: Ninik Yuniati

Gas Metana
sampah
waste to energy
pengelolaan sampah
TPST Bantargebang
solusi palsu
RDF
perubahan iklim
pemanasan global

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...