ragam
Aksi #BubarkanDPR: Gerakan Organik atau Ditunggangi?

Mereka ditangkap saat ikut aksi demo di gedung DPR/MPR.

Penulis: Hoirunnisa

Editor: Sindu

Google News
Aksi #BubarkanDPR: Gerakan Organik atau Ditunggangi?
Massa dihujani gas air mata aparat saat aksi demo "Bubarkan DPR" di Jakarta, Senin, 25 Agustus 2025. Foto: LBH Jakarta

KBR, Jakarta- Orang tua para pelajar yang ditangkap polisi saat demo “Bubarkan DPR” tak diberikan akses bertemu anak-anak mereka di Polda Metro Jaya. Mereka ditangkap saat ikut aksi demo di gedung DPR/MPR, Senin, 25 Agustus 2025.

Menurut catatan Lokataru Foundation, ada sekitar 400-an aktivis, mahasiswa, dan pelajar yang ditangkap polisi. Juru bicara Lokataru Foundation, Fauzan Alaydrus menyebut para pelajar yang ditangkap sempat dihambat hak atas bantuan hukumnya oleh aparat keamanan.

"Dan juga beredar info anak-anak yang mengikuti aksi demo kemarin akan dicabut KJP-nya," ujar Fauzan kepada KBR, Rabu, (27/8/2025).

Fauzan menyebut, Lokataru berencana mengadvokasi para pelajar yang ditangkap dalam aksi tersebut dengan membuka posko aduan.

"Apabila teman-teman para pelajar ingin mengikuti aksi demonstrasi maupun sudah terkena ancaman sanksi bisa memberikan aduan tersebut kepada Lokataru Foundation," kata Fauzan

Menurutnya, ini penting, sebab penyampaian pendapat dari para pelajar adalah hak yang dilindungi undang-undang. Apalagi para orang tua diminta mengisi surat pernyataan agar anaknya tidak boleh lagi mengikuti aksi.

"Maka dari itu pola dan budaya yang dilestarikan ini harus dihilangkan," kata Fauzan.

red
Sejumlah pelajar mengalami luka-luka. Foto: IG Lokataru Foundation


Krisis Kepercayaan terhadap DPR

Fauzan menegaskan, seruan “Bubarkan DPR” mencerminkan sinyal darurat dari publik. Menurutnya, masyarakat sudah kehilangan kepercayaan pada dewan yang dianggap tidak lagi mewakili aspirasi rakyat.

“Karena masyarakat menganggap DPR tidak menjawab setiap persoalan yang dihadapi terus-menerus oleh publik,” ujarnya.

Ia menjelaskan, tuntutan-tuntutan massa aksi lahir dari persoalan sistemik yang tidak pernah diselesaikan DPR. Alih-alih membenahi persoalan rakyat, DPR justru dinilai lebih fokus mencari keuntungan pribadi.

“Karena masyarakat sedang dihadapkan situasi yang ironis dengan kurangnya atau tidak teraksesnya lapangan pekerjaan dan juga memikirkan bagaimana mereka bisa menunjang hidupnya ke depannya dengan ekonomi yang begitu sulit.,” kata Fauzan. 

Momentum Pembenahan

Lebih jauh, Fauzan menegaskan gerakan ini bukan sekadar dorongan emosional, melainkan penyadaran bagi pemerintah dan DPR.

“Gerakan masyarakat, orang muda, dan pelajar yang begitu terorganisasi ini menunjukkan penilaian mereka: kinerja pemerintah dan DPR tidak memuaskan. Maka ini harus jadi momentum pembenahan diri agar lebih fokus menyelesaikan persoalan rakyat,” kata dia.

red
Pimpinan DPR saat Rapat Paripurna di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 21-8-2025. Foto: Farhan/Andri/dpr.go.id


Analisis Para Pakar

Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Herlambang P. Wiratraman, menilai aksi demonstrasi menuntut pembubaran DPR merupakan cermin kekecewaan rakyat.

“Kalau dilihat massa aksi begitu besar dan juga tidak hanya di Jakarta, tentu ini setidaknya merefleksikan kekuatan warga atau rakyat yang mengekspresikan protes atas pernyataan-pernyataan, kebijakan, dan juga perilaku di DPR yang memang jauh sekali dari posisi keberpihakannya terhadap masalah yang sedang dialami rakyat,” ujar Herlambang kepada KBR, Selasa, (26/8/2025).

Menurut Herlambang, tuntutan itu tidak bisa dibaca secara harfiah sebagai pembubaran institusi parlemen.

“Secara hukum tata negara mekanisme membubarkan DPR, ya, melalui perubahan konstitusi. Seperti apa kemungkinan itu, ya, saya kira tidak sederhana itu kalau secara institusional. Tetapi, kalau yang dimaksud adalah mendesak untuk orang-orang yang duduk di jabatan DPR itu lebih merefleksikan tuntutan tentang bubar itu maksudnya mereka yang menjadi anggota parlemen,” jelasnya.

Ia juga mengingatkan, krisis kepercayaan ini merupakan akumulasi berbagai protes yang muncul sejak periode kedua Presiden Jokowi hingga awal pemerintahan Presiden Prabowo.

“Gerakan protes ini adalah kritik keras terhadap DPR yang sering hanya mengurus kepentingan sendiri, dari gaji hingga tunjangan, sementara rakyat menghadapi kesulitan,” tegasnya.

“Inilah yang saya sebut buntu konstitusional. Ketika DPR kehilangan legitimasi, publik tidak lagi percaya, tetapi semua mekanisme formal tetap melewati DPR,” lanjutnya.

Apa yang Bisa Dilakukan Masyarakat?

Pakar hukum tata negara Herdiansyah Hamzah menyebut, meski DPR secara aturan tidak bisa dibubarkan begitu saja. Namun, masyarakat bisa menegur parlemen dengan melakukan pembangkangan sipil.

"Dalam berbagai preferensi, pembangkangan sipil itu bisa dilakukan dalam berbagai macam bentuk misalnya, ada beberapa rekam sejarah bisa saja dilakukan dengan penolakan pembayaran pajak secara kolektif. Itukan bisa menyimbolkan ada kekecewaan terhadap DPR atau pemerintah," kata Herdiansyah kepada KBR, Selasa, (26/8/2025).

Namun, Ia mengingatkan, gerakan ini harus memiliki posisi tawar yang kuat dan terorganisasi baik.

"Bisa kita belajar dari tumbangnya rezim Soekarno, tumbangnya rezim Soeharto itu, kan cara-cara yang sebetulnya di luar dari mekanisme konstitusi sebetulnya. Jadi, ini sangat bergantung bagaimana posisi tawar publik bisa dikuatkan ketika berhadap-hadapan dengan kekuasaan," jelas dia.

red
Aksi demo 25 Agustus 2025. Foto: IG Gejayan Memanggil


Masalahnya Ada di Sistem

Menurut analisis pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, persoalan sesungguhnya bukan pada lembaga DPR, melainkan sistem politik yang melahirkannya.

Ia mengkritik, praktik partai politik yang hanya mencari vote getter tanpa kaderisasi serius, sehingga anggota DPR yang terpilih kerap tidak memiliki kapasitas maupun etika bernegara.

“Makanya mereka pilihnya yang ngetop-ngetop saja, Uya Kuya-lah segala macamnya. Kan kemarin kan juga yang bikin marah, kan, pernyataan-pernyataan orang-orang seperti Uya Kuya, Eko Patrio segala macam itu, joget-joget, sound horeg segala macam itu,” tegasnya.

Menurut Bivitri, tagar #BubarkanDPR lebih tepat dipahami sebagai terjemahan frustrasi rakyat yang melihat wakil mereka telah kehilangan legitimasi.

“Jangan-jangan tidak organik? Kalau saya kebalik, saya ingin melihat bahwa semua gerakan yang memang pengikutnya banyak dan kita bisa melihat juga misalnya tidak ada pesertanya yang misalnya dengan terbuka dibagi-bagikan uang atau nasi bungkus dan lain sebagainya, maka buat saya itu memang gerakan yang organik,” tambahnya.

Alih-alih mendorong pembubaran DPR secara literal, Bivitri menekankan perlunya membongkar akar masalah, yakni gagalnya kaderisasi partai politik dan sistem representasi yang rapuh.

“Mari kita fokus ke perbaikan sistem. Hashtag itu jangan dimaknai literal, tetapi sebagai ekspresi kemarahan rakyat yang sudah tidak tahan lagi melihat kelakuan DPR,” pungkas Bivitri.

Bagaimana Percakapan Digital

Analisis percakapan digital dari Drone Emprit menunjukkan, narasi “Bubarkan DPR” sudah beredar sebelum aksi massa berlangsung. Seruan ini konsisten viral di Twitter (X), Facebook, Instagram, hingga TikTok.

Artinya, menurut analis Drone Emprit, Nova Mujahid, demonstrasi kali ini tidak lahir seketika, melainkan puncak dari akumulasi percakapan publik yang sudah mengeras sejak lama.

"Percakapan publik setiap terdapat pemberitaan negatif terhadap DPR RI, bahkan jauh sebelum aksi. Dalam konteks aksi demonstrasi 25 Agustus 2025, ajakan pembubaran DPR RI semakin menguat di Twitter dan Youtube sejak 15 Agustus, Facebook dan Instagram pada 19 Agustus, dan Tiktok 22 Agustus," ujar Nova kepada KBR, Selasa, (26/8/2025).

red


Polarisasi di Dunia Digital

Drone Emprit menyebut, narasi di ruang digital terbelah tajam. Di satu sisi, kelompok proaksi menilai DPR sudah kehilangan legitimasi: korup, arogan, dan lebih sibuk mengurus kepentingan sendiri. Lalu, “Bubarkan DPR” menjadi simbol frustasi publik terhadap lembaga yang dianggap hidup mewah di atas penderitaan masyarakat.

Namun, di sisi lain, kelompok kontra menilai agenda aksi tersebut kabur. Mereka curiga tuntutan ini bisa menguntungkan pihak eksekutif atau ditunggangi kepentingan politik tertentu. Perdebatan ini kian mengeras, karena media sosial jauh lebih bising dan penuh emosi dibanding media arus utama yang relatif netral dalam melaporkan aksi.

Buzzer dan Orkestrasi Narasi

Drone Emprit juga mengidentifikasi keterlibatan akun-akun diduga pendengung (buzzer) yang cukup aktif menyuarakan pembubaran DPR.

Fakta ini memunculkan pertanyaan besar: apakah narasi ini benar-benar murni organik, atau ada pihak yang sengaja mengorkestrasi agar isu “Bubarkan DPR” semakin menempel di benak publik.

"Keterlibatan akun ini cukup signifikan dalam meramaikan percakapan. Hal ini menimbulkan diskusi publik apakah akun tersebut menunggangi atau justru menciptakan gelombang protes di media sosial," kata Nova.

red


Sebaran Lintas Platform

Analisis Drone Emprit menunjukkan, narasi anti-DPR tersebar dengan karakter berbeda di setiap platform. 

• YouTube dipenuhi video dengan framing DPR “joget di atas penderitaan rakyat”.
• Facebook ramai dengan unggahan dan tagar #BubarkanDPR.
• Instagram & TikTok dipenuhi konten kritik soal UU kontroversial, kasus korupsi, hingga diskusi ringan tentang bagaimana DPR bisa dibubarkan, bahkan ada versi bercandaan dengan menampilkan sosok Ahok.

Menurut Nova, fenomena ini memperlihatkan, media sosial bukan hanya ruang ekspresi, tetapi katalis utama penyebaran narasi perlawanan politik.

Meski ada indikasi orkestrasi dari buzzer, gelombang narasi “Bubarkan DPR” tidak bisa dipandang semata-mata hasil rekayasa. Ia tumbuh subur karena krisis kepercayaan publik sudah menahun.

Bantahan dari Aliansi dan Blok Pelajar

Aliansi Perlawanan Rakyat bersama Blok Politik Pelajar menegaskan, aksi demonstrasi 25 Agustus adalah gerakan organik yang lahir dari keresahan rakyat, bukan massa bayaran seperti tudingan sejumlah pihak.

Juru bicara Aliansi Perlawanan Rakyat, Kontra Tirano menyebut, tudingan tak organik hanyalah cara pihak tertentu mencari panggung.

“Kami punya sembilan tuntutan yang jelas, mulai dari turunkan Prabowo-Gibran, bubarkan DPR, dan lainnya. Kalau disebut massa bayaran, berarti ibu-ibu yang berorasi juga dibayar? Atau kawan-kawan pecinta One Piece yang bawa atribut itu juga bayaran? Itu jelas bodoh,” ujar Kontra kepada KBR, Kamis (28/8/2025).

Menurutnya, aksi ini telah berakar sejak gelombang protes pada 2019, dan kini kembali digelorakan berbagai kelompok masyarakat.

“Gerakan ini justru organik karena muncul dari suara rakyat yang resah dan muak terhadap pemerintah. Ada ibu-ibu, ada komunitas nakama pecinta One Piece, hingga kelompok muda yang sudah lama turun ke jalan,” ujarnya.

Juru bicara Blok Politik Pelajar, Bilal Mumtazkilah, menyampaikan hal senada.

“Tidak ada aktor politik besar di belakangnya. Yang turun ke jalan adalah rakyat biasa: mahasiswa, pelajar, buruh, ibu rumah tangga, dan warga sipil lain. Semua bergerak karena dorongan hati, bukan arahan,” kata Bilal.

Akar Keresahan Publik

Bilal menjelaskan keresahan rakyat yang meluap dalam aksi ini berakar pada akumulasi ketidakadilan, lemahnya fungsi pengawasan DPR, hingga kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat.

“Rakyat merasa suara mereka tidak lagi didengar. Harga kebutuhan pokok naik, ruang demokrasi menyempit, dan elit politik makin jauh dari realita kehidupan sehari-hari. Itu yang membuat mereka turun karena sudah tidak tahan lagi,” jelasnya.

red


Aksi Lanjutan dan Tuntutan

Menurut Bilal, setelah 25 Agustus, konsolidasi masih terus berjalan di beberapa daerah, baik melalui aksi di jalan maupun ruang diskusi. Tuntutan utamanya tetap menekankan transparansi, akuntabilitas, pembatalan kebijakan yang merugikan rakyat, serta pemulihan demokrasi.

“Aksi lebih besar sangat mungkin terjadi jika tuntutan tidak didengar. Tetapi, kami juga mendorong perubahan lewat jalur hukum, diskusi publik, serta keterlibatan komunitas,” kata Bilal.

Kritik terhadap Aparat

Bilal juga mengkritik tindakan aparat yang mulai membubarkan aksi sejak siang hari meski situasi masih kondusif.

“Pendekatan represif justru memicu eskalasi. Padahal, demonstrasi adalah hak konstitusional warga negara,” ujarnya.

Ia menambahkan, ada sejumlah pelajar yang ditangkap, bahkan di antaranya masih di bawah umur.

“Mereka ditangkap tanpa prosedur yang jelas, beberapa hanya karena berada di lokasi aksi. Ini mencederai prinsip-prinsip perlindungan anak. Pendekatan keamanan yang menyamaratakan semua peserta sebagai perusuh adalah kesalahan besar,” tegasnya.

Para pelajar tersebut akhirnya dibebaskan setelah orang tua datang menjemput dan menandatangani surat pernyataan. Namun, Bilal menilai langkah ini perlu dikritisi.

“Isinya pada umumnya menyatakan bahwa anak tidak akan mengulangi perbuatannya dan akan diawasi oleh orang tua. Tetapi, kita harus kritis, karena tidak semua dari mereka melakukan pelanggaran. Maka penting memastikan tidak ada kriminalisasi atas hak berpendapat dan berkumpul,” katanya.

Dibebaskan

Polisi mengklaim telah memulangkan sekitar 196 anak yang ditangkap saat demo "Bubarkan DPR". Juru bicara Polda Metro Jaya, Ade Ary menjelaskan, mereka dipulangkan Selasa, 26 Agustus 2025.

Menurut polisi, anak-anak itu terlibat perusakan fasilitas umum serta tak termasuk massa yang menyampaikan protes di depan gedung DPR.

"Mereka datang karena ajakan dari media sosial. Kemarin, di jam pelajaran kejadiannya. Anak-anak ini berasal dari Tangerang, Bekasi, Depok, Bogor, ada juga dari Sukabumi," katanya, Selasa, 26 Agustus 2025, seperti dikutip dari ANTARA.

Ade mengklaim, menugaskan Sub Direktorat Remaja, Anak dan Wanita (Renakta) untuk menangani mereka. Polisi juga melibatkan Dinas Sosial dan Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) Jakarta, serta KPAI.

Namun, data jumlah massa yang ditangkap berbeda antara polisi dan Lokataru Foundation. Menurut polisi, mereka menangkap 351 orang saat demo di depan gedung parlemen, di antaranya, 155 dewasa dan 196 anak.

red
Solidaritas dari aktivis mahasiswa di Malaysia. Foto: IG Gejayan Memanggil


Tak Mendapat Pendampingan

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), anak-anak yang ditangkap diberi makan dan beristirahat malam hari. Tetapi, kata Sylvana Apituley, mereka tak mendapatkan pendampingan sesuai yang diwajibkan di UU tentang Sistem Peradilan Anak.

"Hal ini diakui pihak Polda Metro Jaya, dengan alasan karena anak-anak yang diamankan tidak diperiksa dan di-BAP, melainkan hanya diminta bercerita lisan dan tertulis dalam melakukan aksi," ujarnya, Selasa, (26/8/2025), seperti dikutip dari ANTARA.

Sempat Dituding Hoaks

Sebelumnya, seruan “Bubarkan DPR” yang sempat dituding hoaks, benar-benar berujung pada aksi massa di depan Gedung DPR/MPR, Senin, (25/8/2025).

Sekitar seribuan aparat kepolisian dikerahkan menjaga aksi, namun kericuhan tak terhindarkan: motor dibakar, pos satpam dirusak, hingga pintu kecil gedung DPR jebol. Polisi merespons dengan gas air mata dan meriam air.

Di media sosial, tagar #BubarkanDPR sempat trending dengan ribuan unggahan. Namun, berbeda dengan demonstrasi besar sebelumnya, seperti Reformasi Dikorupsi 2019, kali ini tidak ada organisasi resmi yang mengklaim sebagai inisiator.

BEM SI maupun serikat buruh KSPI membantah terlibat. Situasi itu membuat sejumlah pihak menilai gerakan tersebut tidak organik.

Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI), Mohammad Jumhur Hidayat menyebut, belum jelas siapa dan dari kelompok mana.

"Karena tidak jelas siapa penanggung jawab dan juga apa isu yang dituntutnya, saya melarang semua anggota atau keluarga besar KSPSI di seluruh Indonesia khususnya di wilayah Jabodetabek dalam aksi 25 Agustus," ujar Jumhur, Sabtu, (23/8/2025), seperti dikutip dari ANTARA.

red
Ketua DPR, Puan Maharani menerima tanda kehormatan di saat gedung DPR-MPR didemo rakyat. Foto: dpr.go.id/ist/Andri


DPR Janji Introspeksi

Sementara itu, Ketua DPR RI, Puan Maharani ikut merespons demo 25 Agustus 2025. Puan mengklaim, parlemen selalu menampung aspirasi masyarakat.

“Kami minta masukan dari semua masyarakat untuk membantu memperbaiki kinerja DPR untuk bisa sama-sama kita perbaiki dalam membangun bangsa dan negara," kata Puan kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, (25/7/2025).

Senada dengan Puan, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad mengklaim menghormati hak masyarakat berserikat dan berkumpul menyuarakan pendapat.

"Dan tentunya menyuarakan aspirasi kepada DPR RI kita akan terima dengan baik dan kita akan lakukan juga introspeksi-introspeksi ke dalam. Namun, kami imbau kepada yang para masyarakat, maupun adik-adik yang menunjukan aspirasi kepada masyarakat agar tertib dan melalui aturan yang berlaku," ujar Dasco dalam kesempatan yang sama dengan Puan.

Dalam aksi itu, setidaknya ada sembilan tuntutan dari massa pendemo di DPR dengan tajuk 'Indonesia Gelap, Revolusi Dimulai'.

Berdasarkan siaran pers Aliansi Rakyat Bergerak dalam akun Instagram @gejayanmemanggil, tuntutan tersebut di antaranya pembubaran DPR, turunkan Prabowo Gibran, bubarkan Kabinet Merah-Putih, hentikan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia, dan transparansi gaji anggota DPR.

Lalu, tolak rancangan kitab hukum undang-undang Anti-Pemerasan (RKHUAP), batalkan kebijakan tunjangan rumah anggota DPR, dan gagalkan rencana kenaikan gaji anggota DPR.

Demo Berlanjut

Hari ini, aksi massa kembali digelar. Kali ini bukan hanya aktivis, mahasiswa, dan pelajar, tetapi juga para buruh. Esok hari, giliran Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI).

Tema yang mereka usung adalah “Indonesia Cemas 2025”, dengan sembilan tuntutan. Antara lain, mendesak pengesahan RUU Perampasan Aset dan menolak rangkap jabatan.

Baca juga:

Bubarkan DPR

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...