SAGA
"Gerakan berkemah di seberang Gedung DPR menjadi cara lain berunjuk rasa secara damai."
Aksi Camping Bareng Warga di seberang Gerbang Pancasila DPR, Senin (14/4/2025). (KBR/Hafizh)
KBR, Jakarta - Tinggal di tenda berhari-hari bukan perkara gampang. Apalagi di tempat yang tidak biasa untuk berkemah, di trotoar misalnya.
Tidur beralaskan terpal, menahan dingin di kala angin malam menghantam. Saat hari terang, giliran panas terik membakar. Menurut AW, semua tentang bagaimana cara bertahan.
“Kami beli cool aid, ada. Jadi kalau mau pakai cool aid, itu kan buat sensasi dingin. Karena tadi itu kan terik banget ya biarpun di bawah pohon,” kata AW kepada KBR, Rabu (9/4/2025).
AW, bukan nama sebenarnya, merupakan salah satu peserta Camping Bareng Warga, aksi damai di seberang Gedung Pancasila DPR, menyuarakan penolakan terhadap revisi Undang-Undang TNI.
Perempuan yang baru saja lulus kuliah ini, tak ingin identitasnya diungkap, demi alasan keamanan.
Peserta aksi Camping Bareng Warga tengah memasang poster di tenda yang mereka dirikan di seberang Gerbang Pancasila DPR, Senin (14/4/2025). (KBR/Hafizh)
Camping Bareng Warga bukan sekadar berkemah bersama. Mereka tetap lantang bersuara: tolak revisi UU TNI, tegakkan supremasi sipil, hanya berbeda cara ekspresinya.
“Kami sudah lelah dengan kekerasan sebagai balasan tuntutan dan aktivisme kami. Kami pengin yang fun, damai, semuanya teraspirasikan dan juga selamat gitu,” kata AW.
Baca juga:
Peserta camping terbuka untuk semua kalangan, dari beragam latar belakang. Kegiatannya pun ringan dan santai: sekadar baca buku, senam, atau belajar bahasa isyarat.
“Kayak kemarin kan pas camping kami buat nail art, camping, make up gitu kan. Terus ada yang, eh siapa yang mau di-facial, beneran mukanya di-skincare, dan sebagainya. Kami dibawa fun aja gitu. Itu kayak make up and everything is part of activism gitu,” tuturnya.
“Sambil lesehan, ada yang main gitar. Ada yang dengerin musik. Ada yang bawa buku. Macam-macam sih, jadi gak pernah bosen,” sambung dia.
Peserta Camping Bareng Warga melakukan beragam aktivitas selama ikut berkemah. Salah satunya membaca buku. (KBR/Hafizh)
Gerakan Camping Bareng Warga bermula dari obrolan daring di akun X @barengwarga. Mereka saling melontarkan keresahan tentang arah pemerintahan yang dianggap makin jauh dari amanat konstitusi.
Keresahan-keresahan itu diungkap RI, salah satu pengelola akun Bareng Warga.
“Jadi itu emang untuk komunitas bersama bareng-bareng, kayak bahu-membahu, kayak bikin orang-orang pada sadar bahwa kami tuh ada, buat bantu menegakkan keadilan,” kata RI kepada KBR, Rabu (9/4/2025).
Harapannya, mereka yang duduk di Senayan tergerak untuk mendengarkan tuntutan rakyatnya.
“Kami mau mereka namanya wakil rakyat, dia membuktikan bahwa dia itu menyuarakan keresahan kita. Apa sih yang mau kita harapin,” kata RI.
RI merupakan pekerja medis. Telapak kakinya diperban saat kami temui di sebuah tenda berukuran 2x5 meter. Luka karena menginjak pecahan botol ketika aksi menolak revisi Undang-Undang TNI.
"Jadi ini pas saya bilang lagi sweeping korban, kan teman-teman saya kan pas dapet ada tindakan refresif di Senayan Spark, itu pada buru-buru lari dong. Tersisa saya di belakang. Ada yang ngelempar botol bir pecahan. Kayak pecah, saya nginjek. Itu pertama gak terlalu berasa. Cuma pas itu udah berdarah-darah. Jadi pas itu, saya paksa lari. Karena saya takut, aduh itu takut bisa ditangkep. Saya lari," ujar RI.
RI menekankan gerakan camping ini murni organik. Semua punya akses yang sama untuk ikut terlibat.
Pesertanya beragam, ada dari akademisi, mantan jurnalis, mahasiswa, hingga pekerja seni. Datang silih-berganti menjaga tenda tetap berdiri.
“Ntar ini yang bagian sore nih nginep gitu. Ada yang dateng malem nginep. Ganti-gantian. Kayak eskalasi aja. Jadi gak merugikan waktu yang hadir. Ganti-gantian,” ceritanya.
Bahkan ada yang sekadar mampir memberi dukungan.
“Karena kan orang kan tergerak sendiri. Tiba-tiba datang. Kami kan gak tau. Dia nanya, ngejawabnya. Bang, ini-ini nanya. Yaudah saya join. Semakin kita ramai, makin bagus,” ujarnya.
Baca juga:
Semua yang ikut camping tahu, aksi ini bergerak tanpa dukungan logistik. Syukurnya, banyak yang berempati. Dukungan dari publik pun mengalir.
“Randomly. Kayak saya bilang. Lagi kumpul nih. Tiba-tiba martabak datang ditanya dari siapa, bentuk support kita. Ada saja tiap jam,” katanya.
Dukungan ini menjadi bentuk perlawanan dari mereka yang tidak bisa turun ke jalan.
Namun, RI kesal dituduh antek asing.
“Menurut saya sih, puncak kemarahan kami tuh sebenarnya pas diceletukin tuh bahwa kami tuh didanai oleh asing. Coba simpel, buktikan di mana, mana ininya. Kalo emang terbukti, ya sudah. Kalau emang gak terbukti yaudah, dia ngaku salah, karena salah nuduh,” katanya.
Tak hanya itu, RI juga mendapat teror. Rumahnya diamati beberapa orang tak dikenal.
Orang tuanya sempat khawatir, RI berusaha menenangkan.
“Saya nih, saya diteror. Bukan cuma di kerjaan, bahkan rumah saya pun beberapa kali kayak ada yang mantau. Saya ngerasain diteror, makanya saya tetep, karena saya berani lawan, saya gak ada takutnya,” RI bercerita.
Puncaknya saat kemah-kemah itu dibongkar, aksi damai dibubarkan.
Polisi membubarkan Camping Bareng Warga di seberang Gedung DPR, Senin (14/4/2025). Foto: X/@barengwarga.
Rudi, bukan nama sebenarnya, tak kuasa mempertahankan enam tenda itu tetap berdiri. Pada Rabu sore, 9 April, puluhan petugas Satpol PP membubarkan aksi damai Bareng Warga yang sudah berjalan beberapa hari.
Rudi sempat terlibat adu mulut. Mempertanyakan alasan pembubaran yang dinilainya tak masuk akal.
“Yang kami bingung adalah alasannya estetika. Mereka mempersoalkan tenda yang berdiri. Terus mereka mempersoalkan kami ada di trotoar. Yang harus saya tegaskan di sini, bukan kami yang menginginkan menenda di trotoar. Tapi kami dipaksa oleh Pamdal DPR untuk bertenda di trotoar,” kata Rudi kepada KBR, Rabu (9/4/2025).
Gubernur Jakarta Pramono Anung mengklaim telah mengevaluasi tindakan pembubaran tersebut. Memastikan ada sanksi bagi jajarannya yang melanggar prosedur.
Baca juga: Camping di Seberang DPR, Bentuk Protes yang Dibungkam dengan Alasan Estetika
Pernyataan gubernur Jakarta sempat menumbuhkan asa peserta aksi Bareng Warga. Kemah-kemah damai kembali berdiri di seberang Gedung DPR, empat hari usai dibongkar. Piknik Melawan, kata mereka.
Dani, bukan nama sebenarnya, ingin gerakan Camping Bareng Warga terus bertahan.
“Itu yang lagi berusaha, itu yang selama ini jadinya kami bikin lagi gitu. Selain memang kami emang udah paham nih pas pertama kali, bakal dibubarin, besok coba lagi. Jadi sekalian saja, tahanan napas gitu, panjang-panjangan napas sama upaya-upaya mereka buat nge-represi kami,” ungkap Dani, Senin (14/4/2025).
Namun, lagi-lagi aksi mereka dibubarkan, kali ini oleh polisi. Beberapa orang sempat ditangkap.
Dani heran, mengapa aksi ini membuat polisi terusik.
“Jujur ya kadang kalau pikir gitu sedih juga gitu karena kayak aduh bener-bener di sini kayak kami cuma jadi kayak semut buat diinjek-injek aja gitu. Tapi mau gimana? Satu-satunya yang bisa diharapin ya kami berkumpul,” tutur Dani.
Perempuan 29 tahun itu tak patah arang. Ia ingin nyala api perlawanan dari warga tetap dijaga.
“Makanya ini lagi kami berusaha untuk nge-keep api itu supaya ada, memberikan wadah-wadah, entah offline maupun online, entah di tenda maupun di internet, untuk orang-orang yang mau melawan gitu,” ujarnya.
Dia berharap banyak warga yang makin sadar pentingnya mengawal pemerintahan. Sebab, warga juga yang bakal kena dampak paling besar dari kebijakan yang dibuat asal-asalan.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera Bivitri Susanti memberikan kuliah umum di sekitar tenda aksi Camping Bareng Warga, Selasa (15/4/2025). Foto: X/@barengwarga.
Menurut pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, gerakan berkemah Bareng Warga adalah bentuk lain dari demonstrasi. Gerakan ini bisa berkembang lebih masif, karena punya nilai dan tujuan yang berakar kuat, meski kemasannya terkesan ringan.
"Kan sebenarnya teman-teman Bareng Warga itu sengaja kan ngeledek itu, untuk bilang bahwa ini kita sudah santun nih, ternyata masih dibubarin juga. Sebenarnya itu membuktikan bahwa soalnya bukan pada cara menyampaikan pendapat, tapi memang mereka memang tidak suka dengan kritik," kata dia kepada KBR, Kamis (10/4/2025).
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera itu mengkritik tindakan pembungkaman oleh aparat. Bivitri mengingatkan kebebasan berekspresi dilindungi konstitusi.
"Nah, dalam undang-undang itu ada undang-undang tentang kebebasan menyatakan pendapat di muka umum dan juga di konstitusi. Nah, sebenarnya kan kemah-kemah itu bukan orang kemah iseng, tapi sedang menyatakan pendapat. Jadi sebenarnya mereka enggak berhak untuk membubarkan sebuah, itu kan sebenarnya unjuk rasa ya, cuma bentuknya saja berbeda," imbuhnya.
Bagi Bivitri, peristiwa ini menjadi cermin buram demokrasi. Di tengah klaim kebebasan berekspresi, warga yang berunjuk rasa dengan damai justru dianggap perusak pemandangan dan ditertibkan atas nama estetika.
“Mereka bisa punya dalih macam-macam. Ketertiban umum kek, apa kek. Anggota DPR enggak bisa masuk kek. Tapi menurut saya esensinya adalah di ketidakmauan. Jadi bukan unable, tapi unwilling. Ketidakmauan pemerintah untuk menerima kritik dari publik.”
Penulis: Heru Haetami & Astri Yuanasari
Editor: Wahyu Setiawan & Ninik Yuniati