SAGA
"Upaya mengubah sampah menjadi energi dianggap solusi masalah sampah. Teknologi PLTSa dan RDF diuji coba."
Plakat peresmian PLTSa Merah Putih Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. (Foto: dok IESR)
KBR, Bekasi - Sejak pagi, beberapa truk berisi sampah masuk ke area Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Merah Putih Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. Di sini, sampah-sampah itu bakal diolah menjadi listrik.
Menurut Wakil Manajer Operasional PLTSa Bantargebang, Harun Al Rasjid, sebanyak 100 ton sampah per hari bisa diolah menghasilkan energi listrik 250 kilowatt.
Jumlah yang sangat kecil dibandingkan volume sampah dari Jakarta yang masuk Bantargebang sebesar 7 ribu ton per hari.
“Sampah di sini khusus dari DKI, jadi dari empat wilayah, Timur, Selatan, Utara dan Barat, semuanya sini,” kata Harun saat ditemui di PLTSa Bantargebang, Selasa (31/01/2024).
PLTSa Bantargebang dibangun pada 2018 oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bersama Pemprov DKI Jakarta. Biayanya mencapai Rp100 miliar. Namun, sejak beroperasi pada 2019, kapasitas pengolahannya tak kunjung meningkat. Harun beralasan, PLTSa Bantargebang hanyalah proyek percontohan.
"Ini kan pusat studi untuk persampahan, untuk menambah kapasitasnya mungkin bukan di sini. Memang ada yang berencana di tempat lain, harapan kami di setiap wilayah, sehingga beban sampah di TPA (tempat pembuangan akhir) ini berkurang. Idealnya empat wilayah di Jakarta itu masing-masing punya,” ujar Harun.
Wakil Manajer Operasional PLTSa Bantargebang, Harun Al Rasjid menyebut sampah yang tidak dipilah mempersulit proses pengolahannya. (Foto: dok IESR)
Listrik yang dihasilkan pun hanya dikonsumsi untuk kebutuhan internal.
"Kalau penghematan energi nggak signifikan. Energi kita gunakan untuk membangkitkan alat-alat yang ada di sini. Alat terbanyak saat kita operasional hanya lighting saja. Nah, ketika menggunakan motor-motor penggerak segala macam itu bebannya rata-rata 250 killowatt, yang di tempat kami 300 kilowatt,” jelas Harun.
Sisa listrik yang tidak digunakan terpaksa dibuang. Ke depan, rencananya surplus listrik itu akan dipakai untuk menambah mesin pengering sampah.
“Yang jelas tujuan kita menghabiskan sampah dengan cara dibakar. Bonusnya energi listrik. Karena kami bukan komersial, bukan tujuan utama, jadi itu bonus aja supaya tidak terjadi penumpukan (sampah) seperti gunung-gunung gitu," tutur dia.
Di Bantargebang, juga tersedia fasilitas pengolahan sampah menjadi bahan bakar alternatif, refuse-derived fuel (RDF). Sejak Juni tahun lalu, olahan RDF sudah digunakan sebagai bahan bakar pengganti batubara oleh pabrik semen. Salah satunya PT Solusi Bangun Indonesia (SBI) di Narogong, Bogor, Jawa Barat.
"PT Solusi Bangun Indonesia mengembangkan energi alternatif yang kita manfaatkan dari sampah atau limbah untuk kita jadikan sebagai alternatif bahan bakar di produksi semen kita,” kata Ari Prihantono, Key Account RDF MSW PT SBI.
Baca juga: Dilema Perajin Tahu di Sidoarjo Tinggalkan Sampah Plastik
Tempat menimbun sampah untuk dipilah kemudian diolah jadi listrik di PLTSa Merah Putih, Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. (Foto: KBR/Astri)
SBI merupakan anak usaha BUMN PT Semen Indonesia. Selain membeli olahan RDF dari Bantargebang, SBI juga sudah mengembangkan fasilitas RDF sendiri di Cilacap, Jawa Tengah.
Ini adalah fasilitas RDF pertama di Indonesia, hasil kerja sama SBI dengan Pemprov Jawa Tengah dan Pemkab Cilacap, yang dibangun pada 2020 lalu. Sebanyak 160 ton sampah per hari bisa diubah menjadi 70 ton RDF, yang setara dengan 40 ton batubara.
Ari bilang, RDF terbukti bisa menggantikan batubara sehingga menghemat pengeluaran. Namun, dibutuhkan payung hukum yang jelas dan insentif agar makin banyak industri yang menyerap RDF.
"Kita dapat info akan dikeluarkan Perpres terkait percepatan pemanfaatan sampah menjadi energi alternatif. Salah satunya untuk PLTSa maupun RDF dan SRF. Kalau RDF arahannya ke pabrik semen, kalau SRF ini nanti arahnya ke pembangkit listrik," tambah Ari.
Fasilitas RDF pabrik SBI di Cilacap didesain ramah pemulung.
“Kita ada semacam tempat untuk pembongkaran. Dibongkar, silakan masyarakat yang mau ngambil dulu, udah nggak ada yang diambil, baru kita proses. Jadi kita enggak menggeser, karena kan ini bagian dari pendapatan mereka, kita enggak mau ada yang dirugikan,” ujar Ari.
Baca juga: Jalan Terjal Desa di Bali Kelola Sampah Berbasis Sumber
Timbunan sampah di TPST Bantargebang, Bekasi, Jabar, diperkirakan mencapai 50 meter. (Foto: KBR/Astri)
Sementara itu, lembaga think thank di bidang energi dan lingkungan, Institute for Essential Services Reform (IESR) berpandangan,PLTSa dan RDF belum bisa dijadikan solusi utama permasalahan sampah. Hal ini terkait kualitas sampah di Indonesia, kata Koordinator Dekarbonisasi Proyek Industri IESR, Faricha Hidayati.
"Kualitas sampah-sampah kita untuk dijadikan energi, cukup rendah, jeleklah, kalau dibandingkan dengan negara lain. Umpamanya Indonesia itu sekitar 33 juta ton per tahun (sampahnya), bayangkan 40-an persennya itu sampah yang noncombustible (tidak mudah terbakar). Solusinya memang tidak hanya satu," ujar Faricha saat ditemui di Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (23/1/24).
Faricha berujar, solusi masalah sampah jangan hanya fokus di hilir, tetapi juga di hulunya. Perilaku masyarakat perlu diubah, dimulai dari kemauan untuk memilah sampah dari rumah masing-masing.
"Memang untuk pengelolaan sampah ini butuh solusi yang sistemik. Jadi tidak hanya yang di end-nya yang kita coba, ‘oh ya udah kita bakar aja jadi energi', tapi juga dari pola perubahan perilakunya,” tutur dia.
Pemerintah juga mesti lebih gencar dan gesit melakukan intervensi.
"Pemerintah juga harus mulai campur tangan, diwajibkan untuk satu rumah tangga dengan memilah-milah dengan warna. Target-target NDC (nationally determined contributions) juga bisa didetailkan lagi untuk menunjukkan ambisi negara kalau memang mau mencapai misi net zero emission setidaknya di 2060 atau lebih cepat," pungkas Faricha.
Penulis: Astri Septiani
Editor: Ninik Yuniati