Article Image

SAGA

Tangis Warga Air Bangis Dibelit Konflik Agraria dan PSN (Bagian 1)

"Konflik agraria di Air Bangis mencuat dipicu rencana Proyek Strategis Nasional (PSN). Lahan kelolaan warga tumpang tindih dengan hutan produksi"

Warga Air Bangis, Sumbar, demo di Padang menolak rencana PSN dan menuntut penyelesaian konflik agraria, Selasa (1/8/2023).(Ant/Igooy el Fitra)

KBR, Jakarta - Sudah dua kali Partalian Tambunan (32) terpaksa meninggalkan kampungnya di Jorong Pigogah Patibubur, Nagari Air Bangis, Sumatera Barat, berpisah dari anak istri.

Pada Agustus-September 2023, pria yang akrab disapa Lian ini berangkat ke Padang dan Jakarta, untuk menolak usulan Proyek Strategis Nasional (PSN) Air Bangis.

Ia khawatir bakal tergusur, jika proyek itu disetujui pemerintah pusat.

Sebab, tanah dan rumah yang ia tempati masuk kawasan PSN yang diusulkan Gubernur Sumatera Barat. Pekerjaannya sebagai buruh angkut sawit pun terancam hilang.

“Seandainya digusur, tempat kami pindahpun nggak ada, cuma digusur begitu aja. Sosialisasinya pun nggak ada, masyarakat kayak terkejut, tiba-tiba sudah dibikin plakatnya, mau dibikin PSN,” kata Lian.

Kabar soal PSN mulai santer sejak 2021 silam. Lian dan warga lain resah karena tak punya sertifikat atas lahan yang mereka garap atau tempati. Namun, Lian menolak disebut penyerobot, sebab tanah itu tidak gratis.

“Karena yang awak pertahankan itu hak awak. Hak kita sendiri, bukan mencuri kita di situ, ataupun merampas,” ujar pria kelahiran Medan, Sumatera Utara ini.

Ia membeli dari orangtuanya yang sudah beberapa dekade menjadi warga Air Bangis. Mereka sekeluarga pindah dari Medan sejak Lian usia balita.

“Di sana buka hutan itu minta persetujuan dari ninik mamak, kayak kepala desa,” ungkapnya.

Baca juga: Masyarakat Adat Anggai di Tengah Konsesi Sawit

Partalian Tambunan, warga Air Bangis, berangkat ke Padang dan Jakarta untuk menolak usulan PSN Air Bangis. Proyek itu rencananya dibangun di atas 30 ribu hektare lahan, termasuk di dalamnya wilayah kelolaan warga. (KBR/Ninik)

Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Barat, Wengki Purwanto, menyebut Air Bangis merupakan kawasan adat yang sudah eksis sebelum Indonesia merdeka.

Selama puluhan tahun, lahan di sana dikelola secara adat. Warga tak pernah tahu bahwa Air Bangis adalah kawasan hutan milik negara.

“Surat-surat dokumen bukti penguasaan fisik mereka ada yang sejak 1943, bahkan ada tahun 1920-an. Itu menunjukkan eksistensi masyarakat di situ sudah sangat lama sekali dengan segala historis mereka,” kata Wengki.

Warga Air Bangis berjumlah tak kurang dari 26 ribu jiwa. Warga seperti Lian sudah ber-KTP Air Bangis dan rutin membayar pajak bumi dan bangunan. Lahan yang ia garap atau huni bisa pula dijadikan jaminan kredit bank.

“Awak ngambil duit ke bank, pinjaman, bisa pakai itu. Nggak pernah dipermasalahkan oleh pihak bank, awak ngambil motor pun kredit,” ucap Lian.

Ketenangan warga terusik sejak kehadiran koperasi sawit, yang ditunjuk gubernur sebagai peron atau tempat penampungan dan pembelian sawit.

Mereka yang berani menjual sawit selain ke koperasi, diancam pidana. Komalawati, petani sawit Air Bangis, menyebut pemaksaan ini berlangsung sejak 2021.

“Sawit kami sendiri, kami mengelola dari nol, sampai kami berhasil. Itu kami diatur suruh menjual ke koperasi dengan harga murah. Kalau nggak ada koperasi, harga normal Rp1.800 perkg. Tentu memilih yang Rp1.800 daripada yang Rp1.500,” kata Komalawati

Guna menekan kerugian, ia dan suami terpaksa memanen sawit sendiri.

“Biasanya kami menyuruh orang untuk memanen, biasanya dua orang. Sekarang suami sendiri memanen. Belum lagi perawatannya, belum lagi untuk rumah tangga, anak,” imbuh petani berusia 41 tahun ini.

Baca juga:

Masyarakat Adat Terusik Pasal Living Law KUHP Baru (Bagian 1)

Masyarakat Adat Terusik Pasal Living Law KUHP Baru (Bagian 2)

Gerakan Masyarakat Menuntut Keadilan (GMMK) aksi damai bela Rempang-Galang di Pekanbaru, Riau, Jumat (22/09/2023). Konflik Rempang pecah juga dipicu pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN). (Ant/Ronny M).

Konflik makin meruncing tatkala sejumlah warga ditangkap karena memanen sawit di kebun garapannya sendiri.

Menurut Wengki, pemda dan aparat mengabaikan status mereka sebagai bagian dari masyarakat adat Air Bangis.

“Nggak hanya toke (pengepul), sopir dan buruh muat pun ditangkap. Apa kesalahan mereka? terlibat dalam proses membeli hasil kebun masyarakat. Kebun masyarakat ini dalam kawasan hutan dan mereka tidak memiliki izin usaha dan yang membeli ditangkap. Tapi nggak pernah dibuktikan secara hukum bagaimana sebenarnya status perkebunan petani-petani ini,” tutur Wengki.

Di saat yang sama, santer kabar soal rencana menjadikan Air Bangis sebagai PSN. Walhi Sumbar mendapatkan dokumen usulan PSN yang menyebut lahan di Air Bangis sudah berstatus clear and clean.

“Padahal di situ ada ribuan orang dengan model-model historis penguasaan tanah yang beragam,” Wengki menambahkan.

Keberadaan koperasi hingga kriminalisasi petani, dicurigai sebagai bagian dari rencana mengegolkan PSN. Rangkaian peristiwa ini menyulut kemarahan warga.

“Yang warga tahu sekarang itu, mereka dianggap ilegal oleh negara. Ada imbauan-imbauan dilarang merusak hutan, berkebun di kawasan hutan tanpa izin, ada juga larangan, membeli hasil kebun dalam kawasan hutan. Kebijakan-kebijakan itu sepertinya memang bagaimana negara memperlemah posisi masyarakat,” ucap Wengki.

Pada akhir Juli hingga awal Agustus 2023, mereka berbondong-bondong ke Padang, untuk berdemo menuntut bertemu Gubernur Sumbar Mahyeldi. Lebih dari 40 bus disewa dari hasil urun dana warga.

Sebanyak 1500 warga Air Bangis menginap di Masjid Raya Sumbar, yang berjarak sekitar 2 kilometer dari kantor gubernur.

Baca juga: Warga Indramayu Pantang Surut Tolak PLTU Batubara

Mahasiswa berdemo di depan Polda Kalimantan Tengah, Kamis (12/10/23) menuntut kasus penembakan terhadap warga Bangkal, Seruyan, diusut tuntas. Peristiwa itu terjadi saat warga berdemo menuntut hak plasma kebun sawit dari perusahaan. (Ant/Auliya)

Alih-alih bertemu gubernur, mereka dipulangkan paksa di hari kelima. Itu terjadi siang selepas zuhur, ketika warga mengaso.

Lian tengah melakukan siaran langsung di Facebook, memvideokan anak-anak sedang bersalawat.

“’Jangan direkam!' katanya kan. Aku lari ke bawah, HP-ku dirampas pertamanya, kami rampas-rampasan HP, itu sampai pecah layar HP-ku. Kurampas terus kukantongi, langsung aku diringkus, dipiting leherku, tangan dilipat ke belakang,” Lian bercerita.

Lian bersama belasan warga ditangkap dan dibawa ke kantor polisi. Ia menginap semalam di sana, sebelum akhirnya dibebaskan.

“Kalau awak nanya, ‘kenapa ditangkap?’, ‘nggak ada, pokoknya ke kantor’, kata orang itu. Brutal. Kawan yang dari LBH (Padang) asal ngomong sedikit, orang itu main tampar aja. Ada yang ditinju, ada yang masyarakatnya digeret, udah kayak narik hewan kurbanlah diseret, sampai memar-memar badannya. Ada yang benjol-benjol ini kepala,” lanjutnya.

Selama demo di Padang, Lian menghabiskan tak kurang dari Rp500 ribu untuk biaya hidup.

“Sudah hemat-hemat. Itu gaji untuk dua hari. Makanya tambah hemat, waktu ditangkap, makan masih dikasih sama polisinya, terus waktu pulangnya pun disewain mobil travel,” ujar Lian sambil tertawa.

Tabungannya banyak terkuras. Namun, ayah dua anak ini belum menyerah. Ia dan ribuan warga Air Bangis lain bakal tetap bersuara menolak PSN.

Penulis: Ninik Yuniati