Article Image

SAGA

Pulau Sangiang yang Telantar akibat Konflik Agraria

"Selama 30 tahun Pulau Sangiang dibelit konflik agraria. Meski dekat dari Anyer, Banten pulau ini dibiarkan telantar tanpa fasilitas dasar yang memadai. "

Warga Pulau Sangiang berjuang di kondisi minim fasilitas umum akibat konflik agraria. (Foto: Valda/ KBR)

KBR, Jakarta- Masih lekat di ingatan Sofian Sauri saat pertama kali pindah ke Pulau Sangiang. Sejauh mata memandang, hanya tampak pepohonan kelapa tinggi menjulang. Sungguh kontras dengan kondisi di Anyer, tempat tinggalnya dulu.

“Saya masuk tahun 2000, itu nuansanya masih benar-benar kayak zaman dulu. Saya kaget, sempat saya tiap malam nangis juga dari kehidupan saya di sana,” kenang pria yang disapa Pian saat ditemui KBR.

Keluarga Pian adalah bagian dari 18 keluarga yang masih bertahan di Pulau Sangiang. Lelaki 48 tahun ini pindah ke sana mengikuti sang istri

“Selesai pendidikan, saya kerja di material. Setelah kawin dengan orang sini (Sangiang), akhirnya ikut ke sini berhenti di materialnya. Waktu saya masuk ke sini itu ada sekitar 45 KK,” ujar Pian.

Setelah pindah, Pian membuka usaha warung kecil-kecilan.

“Ada kebun punya orang tua, tapi saya milih jaga warung, kalau (bekerja di) kebun-kebun nggak menjiwai,” kata bapak tiga anak ini sambil tertawa.

Baca juga: Warga Indramayu Pantang Surut Tolak PLTU Batubara

Sofian Sauri merupakan salah satu warga yang masih bertahan di Pulau Sangiang. Lahan yang mereka tempati diwariskan turun-temurun, bahkan sebelum era Indonesia merdeka. (Foto: Valda/ KBR)

Sangiang terletak di Provinsi Banten, sekitar 13 kilometer dari Anyer.

Pulau ini kian sepi ditinggal warga. Mereka sulit bertahan hidup di tempat dengan fasilitas dasar minim.

“Dulu sebelum merdeka ada SR (sekolah rakyat), tapi setelah merdeka jangankan SR, SD (sekolah dasar) maupun yang lain kan enggak dikembangkan, kesehatan tidak dinaikkan, terus fasilitas yang lain tidak ditunjang,” katanya.

Jangankan pembangunan, listrik pun tak pernah masuk. Padahal, Sangiang dekat dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya.

Pian dan warga lain mengandalkan sinar matahari kala siang, dan lampu petromaks di malam hari.

“Kalau kita pergi ke luar, kita oleh-olehnya ke pulau itu utamanya beras, kedua minyak tanah. Kalau lain-lain kita bisa berusaha di sini, minyak tanah diutamakan untuk penerangan,” tutur Pian.

Maturiah, warga Sangiang, sulit mengakses layanan kesehatan. Selama 40 tahun tinggal di sana, ia harus pergi ke Anyer, jika ingin berobat.

“Nggak ada mantri, ke sini dokternya. Ibu yang ke sana lagi ngandung, (dokter) nggak ke sini. Nanti (bayi) udah keluar, udah besar balik ke sini (pulau),” ujar Maturiah.

Baca juga: Adaptasi Warga Timbulsloko yang Menolak 'Tenggelam'

Maturiah berkebun di halaman yang sudah dipagari bambu supaya tanamannya tidak dirusak babi hutan. (Foto: Valda/ KBR)

Sangiang diduga sengaja ditelantarkan agar warga tak betah, kemudian pindah. Ini berakar dari sengketa lahan yang meletup sekitar 30 tahun lalu, kata Pian.

Tanah Sangiang seluas 700-an hektare pada 1993 tiba-tiba berubah status dari cagar alam menjadi taman wisata alam. Tak lama berselang, datanglah PT Pondok Kalimaya Putih yang memegang sertifikat hak guna bangunan.

“Jauh sebelum tahun '90-an kemungkinan pulau ini udah ada rencana pemerintah, kalau Pulau Sangiang ini untuk transit atau untuk penopang jembatan Selat Sunda,” jelas Pian.

Warga yang sudah turun-temurun tinggal di Sangiang pun melawan. Beberapa di antaranya bahkan dikriminalisasi dengan tuduhan menyerobot lahan.

Padahal, menurut Direktur Eksekutif Pena Masyarakat, Mad Haer Effendi, warga sudah mendiami Sangiang sejak masa Kesultanan Banten dan Kerajaan Lampung.

“Paling lama dari tahun 1889, Sultan Lampung memberikan Pulau Sangiang. Catatan itu yang paling tua dan yang paling lama sebelum adanya negara. Pulau Sangiang itu sudah ditetapkan malah oleh para sultan, dihibahkan pada masyarakat Lampung yang ada di Desa Cikoneng,” terang Mad Haer alias Kang Aeng.

Baca juga: Masyarakat Adat Anggai di Tengah Konsesi Sawit

Papan pengumuman Pulau Sangiang sebagai Taman Wisata Alam oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (Valda/ KBR)

Sejak konflik pecah, kehidupan warga makin susah. Banyak bantuan sulit masuk terganjal status sengketa lahan di Sangiang.

"Banyak yang survei untuk memajukan (pulau) kayak penerangan, kesehatan, dan penataan buat wisata dari swasta maupun BUMN, tapi setelah diajukan ke desa, desa (diancam) berurusan dengan hukum. Akhirnya kan desa ketakutan," terang Pian.

Para petani, seperti Maturiah, juga terusik serangan babi hutan yang merusak kebun sayuran.

"Nanam kelapa, pisang di dekat rumah, itu dipagar-pagar, kalau nggak dipagar nggak makan, (karena) ada banyak babi. Dulu nggak ada babi," cerita Maturiah.

Mereka menduga itu adalah ulah perusahaan.

"Itu (babi) ada yang pelihara. Pas sudah banyak, ucul (lepas), kandangnya rusak, (babi) pada keluar, ibu mau nanam padi nggak bisa,” ujarnya.

Baca juga:

Tangis Warga Air Bangis Dibelit Konflik Agraria dan PSN (Bag 1)

Tangis Warga Air Bangis Dibelit Konflik Agraria dan PSN (Bag 2)

Direktur Eksekutif Pena Masyarakat Mad Haer Effendi mendampingi warga Pulau Sangiang sejak 2017. Hingga kini belum ada solusi soal konflik agraria yang berpihak pada warga. (Foto: Valda/ KBR)

Akhirnya pada 2010, bantuan panel surya PT Krakatau Steel dapat menerangi rumah-rumah warga. Namun, bantuan itu harus dibayar mahal. Sebagai gantinya, perusahaan leluasa mengeruk pasir di Sangiang. Pian diprotes keras karena menyanggupi kesepakatan ini.

“Saya dipanggil sama LSM yang menolak itu. Saya nggak tahu dampak rusak atau apa, yang saya tahu di Pulau Sangiang semenjak saya masuk nggak ada bantuan apa-apa,” tegas Pian.

Harapan Pian tak muluk. Ia ingin tetap tinggal dan menjalani hidup tenang di Sangiang.

“Mudah-mudahan konflik ini cepat selesai, jangan sampai warga Pulau Sangiang ini dikeluarkan dari pulau. Kita tidak menolak investor, silakan, tapi ada lah batas-batasnya yang mana wilayah perusahaan, mana wilayah kehutanan, mana wilayah masyarakat,” pinta Pian.

Aspirasi Pian dan kawan-kawan bakal diperjuangkan Mad Haer Effendi, selaku pendamping warga Sangiang. Ia meminta pemerintah tidak mengorbankan warga.

“Tahun ini semoga kita mendapat jawaban terhadap permasalahan Pulau Sangiang, biar kami pun bisa menganalisis sebenarnya di mana sih haknya masyarakat. Kami penginnya satu pulau ini milik masyarakat bukan lagi dikembalikan kepada swasta,” pungkas Aeng.

Penulis: Valda

Editor: Ninik Yuniati