Article Image

SAGA

Pejuang Lingkungan Dibayangi Overkriminalisasi KUHP Baru (Bagian 1)

"Kasus Sukma dan Sawin di Indramayu menjadi salah satu bukti minimnya perlindungan terhadap pejuang lingkungan. Mereka rentan dikriminalisasi"

Ilustrasi (Foto: Antara)

KBR, Indramayu - Sukma mengenang masa-masa pahit saat lima bulan mendekam di penjara pada 2018 hingga 2019 silam.

“Perih lah. Biasa karo (sama) anak, ga ada anak, kesepian. Perihnya kayak ditusuk-tusuk," ucapnya sembari tersenyum getir.

Petani Desa Mekarsari, Indramayu, Jawa Barat ini bersama rekannya Sawin dan Nanto divonis bersalah, karena mengibarkan bendera merah putih secara terbalik. Sebuah tudingan yang mengada-ada.

"Ya enggak lah (bendera) sendiri diwalik-walik (dibalik-balik)? Ya begitulah, kayak dijebak," tutur ayah dua anak ini.

Kasus ini ditengarai bentuk kriminalisasi terhadap Sukma yang aktif di Jaringan Tanpa Asap Batubara Indramayu (Jatayu).

Ketika itu, Sukma, Sawin, dan Nanto memang mengibarkan bendera merah putih di lapangan setempat, sebagai perayaan kemenangan gugatan menolak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara II Indramayu.

Beberapa hari kemudian, ketiganya ditangkap karena dituding melanggar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.

“Ada 10 orang aparat, pakaiannya enggak dinas. Pakai (senjata), sing dawa, laras panjang. Ya pasrah, wong dibawa senjata, tengah malam, jam 2,” kisah pria 39 tahun ini.

Baca juga: 

Ateis di Era KUHP Baru: Dulu Rentan, Sekarang Lebih Rentan (Bagian 1)

Ateis di Era KUHP Baru: Dulu Rentan, Sekarang Lebih Rentan (Bagian 2)

Sukma dan istrinya Erawati mesti bekerja ekstra untuk melunasi utang-utang yang timbul saat Sukma dipenjara pada 2018. Kondisi ini menurunkan intensitas keterlibatan Sukma di Jaringan Tanpa Asap Batubara Indramayu (Jatayu). (Foto: KBR/Ninik)

Dampak ke keluarga

Petaka yang dialami Sukma menjadi penderitaan bagi sang istri, Erawati dan dua putrinya yang saat itu masih balita.

“Dulu mah waktu (Sukma) dibawa, ya Allah, satu (anak) dipegang, satu digendong. Bawa semua kalau besuk. Nangis waktu jam besuk habis, dia berdua masih kangen, manggil-manggil bapaknya terus, sampai jalan ga kelihatan, air mata ga kerasa ngucur, pait pokoknya, pait banget,” ujar Erawati mengenang.

Mereka kehilangan tulang punggung keluarga. Erawati tak sanggup bekerja karena harus mengurus kedua putrinya yang masih kecil.

“Saya lagi menyusui, terus ada yang kecil juga, ga bisa cari duit Tapi alhamdulillah materi itu ada aja yang ngasih, ada yang kasihan,” tutur perempuan 36 tahun ini.

Batin Erawati kian remuk tiap kali sang anak mencari-cari bapaknya.

“‘Bapak ke mana? kok kerja ga pulang-pulang, pas diajak ngomong kayak gitu, saya nangis, ‘ntar juga pulang’, itu doang bisanya, alhamdulillah-nya belum ngerti bahwa bapaknya itu di dalam sel,” tutur Erawati

Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, Erawati harus berutang sana-sini demi biaya hidup suaminya selama di bui.

“Di penjara itu banyak ‘pajak’ nya, ya ‘pajak’ mafia, bukan pajak dari dalamnya. Ga mau beli (makanan) juga harus beli, kalau ga beli di-bully. Harga (makanan) dua kali lipat dari luar. Kadang-kadang es krim, di rumah mah, es krim buat anaknya aja. Di situ (penjara) harus makan es krim, karena pemaksaan,” ujar dia.

Baca juga: 

KUHP Baru dan Beban Berlipat Akvitis Peduli HIV/AIDS (Bagian 1)

KUHP Baru dan Beban Berlipat Aktivis Peduli HIV/AIDS (Bagian 2)

Sawin dan Sukma (kanan ke kiri) ikut mengibarkan bendera merah putih saat Jatayu menggelar upacara peringatan hari kemerdekaan RI ke-77, 17 Agustus 2022. (Foto: KBR/Ninik)

Erawati rutin mengirimkan uang ke lapas.

“Seminggu itu dua kali, Rp350 (ribu), itu pun ga masuk ke sononya Rp350 (ribu), kadang-kadang Rp290 (ribu) masuk ke dianya (Sukma),”

Ia sangat bergantung pada bantuan dari Jatayu maupun LSM-LSM pendamping, seperti LBH, Walhi, dan Amnesty Internasional.

“Sampai waktu Amnesty (International), katanya, ‘mau dibawa ke Pak Sukma, lihat, anak-anak kasihan’. Kata saya, ‘maaf, saya ga megang duit, ke sono harus megang duit’. Dikasih Rp350 (ribu), dikasih semua ke dia (Sukma),” ungkap Erawati.

Erawati tak lagi ingat berapa banyak uang yang ia pinjam.

Enggak pernah diitungin. Setruknya (dari lapas) dikumpulin sampai ilang semua tulisannya, tinggal kertasnya doang. Belum sempat dijumlah, nomornya ilang semua,” kata dia.

Selepas Sukma bebas, Erawati bahkan sempat bekerja di Arab Saudi selama dua tahun, dengan gaji sekitar Rp5 juta perbulan. Namun, sampai sekarang, utang itu tak kunjung lunas.

Dampak pada gerakan

Kondisi ini memaksa mereka berdua bekerja lebih keras. Alhasil aktivitas Sukma di Jatayu pun mulai berkurang.

“‘Kenapa Pak Sukma ga pernah hadir?’, bukannya ga mau hadir, karena sambil ngurus lahan orang. Terus kalau malam kita ngurus sawah sendiri. Kemarin juga pulang jam 3 sambil nyari air buat nyiram bawang,” jelas Erawati.

Erawati mendukung Sukma tetap berjuang bersama Jatayu. Namun, ia meminta sang suami lebih berhati-hati, agar tak lagi jadi korban kriminalisasi.

“Enggak usah nginget-nginget lagi yang pahit itu. Jalanin aja yang di depan, pokoknya lebih ati-ati aja, takut kejadian lagi. Soalnya kalau orang kayak gitu, udah ada lubang satu, pasti nyari lubang yang lain,” pungkas Erawati.

Mereka pantas khawatir, mengingat belum ada perlindungan nyata bagi pejuang lingkungan. Apalagi, pasal yang dipakai menjerat Sukma masuk di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru.

Penulis: Ninik Yuniati