Article Image

SAGA

Pahitnya Hidup Petani Kopi Perempuan Dirundung Krisis Iklim

"Petani kopi perempuan Lady Farmer Coffee dari Banjarnegara terpukul dengan dampak perubahan iklim. Produksi dan kualitas kopi anjlok. "

Farida Dwi Ermawati, petani Lady Farmer Coffee, berdiri di depan foto-foto tanaman kopi di desanya yang terdampak krisis iklim. (Foto: KBR/Nafisa)

KBR, Jakarta - Farida Dwi Ermawati menunjukkan foto-foto tanaman kopi dari desanya, Karangkobar, Banjarnegara, Jawa Tengah. Banyak tanaman kopi rusak terserang hama.

“Ini bedain antara kopi yang bagus sama yang enggak. Karena banyak kopi yang kena hama atau kena hujan terus, akhirnya jadi hitam-hitam,” kata perempuan 29 tahun yang akrab disapa Wiwik ini.

Foto-foto ini dipajang pada pameran yang dihelat Greenpeace Indonesia berkolaborasi dengan Iklimku, awal Desember 2023 lalu.

Wiwik adalah pendiri Lady Farmer Coffee, kelompok petani kopi perempuan di Karangkobar, yang terbentuk pada 2016 silam. Dulu, ada 40 petani perempuan yang mengandalkan kopi sebagai penghasilan utama keluarga.

Sejak tahun lalu, mereka merugi akibat iklim yang tak menentu.

“Lagi jemur kopi karena harus kena matahari, tapi jam berapa harus diangkat lagi, karena hujan. Nah, kopi yang rusak, kita pisahin,” imbuhnya.

Baca juga: Adaptasi Warga Timbulsloko yang Menolak 'Tenggelam'

Krisis iklim memengaruhi hasil panen bandeng di Pulau Mengare, Gresik, Jawa Timur. (Foto: Idealita Ismanto/Greenpeace & Iklimku)

Biasanya, petani berpatokan pada kearifan lokal pranoto mongso untuk menentukan musim tanam hingga panen.

“Kalau di tempat kita kan cuma tahunya pranoto mongso. Jadi petani pasti punya kalender Jawa yang biasanya tuh kayak dilihat gini, bulan ini musim ketujuh, itu musim apa. Itu biasanya bisa ditebak, tapi untuk beberapa, nggak bisa ditebak,” ujar Wiwik.

Wiwik pun sempat tergoda untuk pensiun saja dari bertani kopi. Ada tawaran kerja sebagai karyawan di Kalimantan. Namun, peluang itu ia tolak.

“Sempat kepikiran, mending nggak usah ngurusin kopi, tapi kita egois banget nggak sih? Kita udah ngelompokin petani, udah punya mitra sama petani, tiba-tiba dari kaminya juga pergi karena ada masalah kayak gini, kurang etis kan? Kasihan petani juga, ya udahlah, apapun yang terjadi, hayuk, gas!” ucap Wiwik.

Bagi Wiwik, kopi adalah bagian dari hidupnya. Ia sudah akrab dengan kopi sedari bocah.

“Dulu aku kecil sering banget kalau panasnya tinggi itu kejang. Nah, sama nenek aku biasanya dikasih minum kopi biar nggak sampai kejang,” kenang Wiwik.

Cara bertanam kopi dipelajarinya secara otodidak. Wiwik sempat ditolak ketika ingin berguru ke petani kopi senior di daerahnya.

“Kayak, ‘buat apa sih kamu, cewek, perempuan, ngolah kopi?’. Mereka nggak mau berbagi ilmunya. Jadi kayak langkah kita pun dibatasi,” tutur dia.

Baca juga: Seruan Transpuan Kampung Duri tentang Perubahan Iklim

Adila Isfandiari dari Greenpeace Indonesia, menyebut transisi ke energi terbarukan perlu diakselerasi guna memitigasi krisis iklim. Penggunaan energi batubara sebagai sumber listrik juga mesti segera diakhiri. (Foto: dok Greenpeace Indonesia)

Ia lantas berkeliling ke Banyuwangi hingga Bali, menimba ilmu dari para pakar kopi. Ilmu itu dibagikannya ke perempuan-perempuan di Karangkobar hingga terbentuklah Lady Farmer Coffee. Sebuah perjuangan panjang penuh liku. Karenanya, ia tak rela komunitas itu tutup buku.

Semangat Wiwik diapresiasi Greenpeace Indonesia dengan memberikan bantuan alat pengering bertenaga surya. Teknologi ramah lingkungan ini bisa digunakan untuk mengeringkan kopi saat cuaca tak pasti.

“Kalau hujan kita kan ada green house, pakai panel (surya) juga. Pemanas ruangan biar mempercepat si kopi (kering) biar nggak (ber)jamur,” terang Wiwik.

Apa yang dialami para petani di Lady Farmer Coffee adalah bukti begitu dekatnya dampak perubahan iklim di keseharian.

Pengkampanye iklim dari Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari menuturkan terganggunya petani sebagai garda terdepan produksi pangan, sudah terasa hingga ke meja makan. Krisis iklim memicu krisis pangan, merembet ke harga-harga yang kian meroket.

“Kita nggak perlu jauh-jauh ke Kutub Utara untuk membuktikan ‘oh, es mencair’, tetapi ya di meja makan kita udah terdampak sih sekarang. Jadi ya berhenti basa-basi buat bumi, karena menunda aksi iklim sama saja dengan bencana bagi masyarakat yang sehari-harinya terdampak oleh krisis iklim,” tegas Adila.

Penulis: Nafisa Deana

Editor: Ninik Yuniati