SAGA
"Potensi alam Pulau Sangiang sudah terkenal, sayang sengketa agraria membuat warga telantar. Mereka pun mencoba bertahan hidup di tengah keterbatasan."
Pintu masuk Pulau Sangiang dihias seadanya untuk menyambut wisatawan yang datang. (Foto: Valda/ KBR)
KBR, Jakarta - Siang nan terik di Pulau Sangiang, Kecamatan Anyer, Banten. Beberapa wisatawan berbincang santai di balai-balai bambu, menikmati suasana pesisir pantai pasir putih ditemani teh dan kopi.
Wisata di Sangiang menjadi sumber penghasilan bagi warga setempat, salah satunya keluarga Sari. Ayahnya menyewakan penginapan, sementara, sang suami melayani jasa pemandu wisata air, seperti snorkeling dan diving.
“Hanya 1 rumah dibuka buat tidur tamu. Kalau mau masuk ke sini [harus] dari jauh hari, [harganya] Rp700 ribu semalam itu hanya penginapan,” kata Sari ditemui di warungnya di Sangiang.
Sedangkan Sari mengelola warung jajanan dan usaha katering. Namun, warung hanya buka jika ada pengunjung.
“Bikin warung kecil dulu. Dari katering kan suka ada DP-nya, kita buat aja separuhnya untuk warung, separuhnya buat DP makan, dan lain-lain,” ujarnya.
Baca juga: Pulau Sangiang yang Telantar akibat Konflik Agraria
Sari sengaja membuka warung jajanan untuk wisatawan dan warga Pulau Sangiang agar bisa mendapat pemasukan tambahan. (Foto: Valda/ KBR)
Geliat pembangunan wisata nyaris tak ada, karena selama tiga dekade Sangiang dibelit konflik agraria. Konflik melibatkan pemerintah, PT Pondok Kalimaya Putih, dan warga yang sudah turun-temurun tinggal di sana. Berstatus tanah sengketa membuat wisata Sangiang sulit berkembang.
“Yang suka komunikasi sama saya, ‘teh katanya nggak boleh ke Sangiang, kenapa ya? Memang ditutup ya, teh?’, ‘enggak’ kata saya, ‘soalnya waktu saya mau bawa tamu katanya di Sangiang sudah tutup, nggak boleh ada masuk orang,’” cerita Sari.
Sangiang memang sudah lama ditelantarkan. Warga bahkan tak menikmati fasilitas dasar seperti listrik, sekolah, dan layanan kesehatan.
Banyak yang terpaksa keluar pulau untuk mendapatkan kehidupan lebih baik, termasuk Sari. Perempuan 33 tahun ini harus pindah ke Anyer agar dua anaknya bisa sekolah.
Ia kerap bolak-balik Anyer-Sangiang dengan waktu tempuh sekitar 1 jam untuk mengais nafkah.
“Di Anyer juga kan buka warung di pantai, ada yang pesan kayak nasi uduk dari hotel-hotel, gitu bisa masuk.” katanya.
Baca juga: Panjebar Semangat: Kisah Media Lokal Bertahan Lewati Krisis
Sejak 2021 Rofi membuka sewa hotspot di Sangiang, setiap kode yang diberikan ke penyewa tak ada yang sama, dan hanya bisa digunakan di satu perangkat. (Foto: Valda/ KBR)
Berbeda dengan Rofiul Juliana alias Rofi, yang memilih kembali ke Sangiang, usai menyelesaikan sekolah di Anyer.
“Sehabis lulus SMA sempat kerja di tempat tambang batu split, nggak lama habis itu pandemi kan terus balik lagi ke pulau.” cerita Rofi
Pemuda 22 tahun ini sempat bekerja serabutan di Anyer, sebelum akhirnya kena PHK pada 2021 saat pandemi Covid-19 melanda. Sang ayah memintanya balik ke pulau untuk membantu usaha warung kecil-kecilan. Rofi menyanggupi.
“Dulunya saya gamer, suka nge-game ikut-ikut turnamen, pindah ke sini nggak ada sinyal, “ terangnya.
Kembali ke kampung halaman bukan perkara mudah bagi Rofi yang punya hobi bermain mobile game. Sinyal internet hanya bisa diakses di pinggir pantai. Ia lantas cari akal.
Ponsel ditaruhnya di tempat tinggi untuk menangkap sinyal. Sinyal internet kemudian dibagikan ke perangkat lain melalui tethering atau menggunakan hotspot.
“Saya coba-coba handphone ini dinaikin ke tiang bendera,” tutur Rofi ditemui di warungnya di Sangiang.
Baca juga:
Tangis Warga Air Bangis Dibelit Konflik Agraria dan PSN (Bagian 1)
Tangis Warga Air Bangis Dibelit Konflik Agraria dan PSN (Bagian 2)
Terbatasnya listrik di pulau Sangiang membuat Rofi putar otak menyambungkan modem dengan panel surya. (Dok: Valda/ KBR)
Namun, cara ini tak bertahan lama. Ia akhirnya membeli modem karena lebih mudah. Lambat laun, banyak warga yang butuh koneksi internet untuk berkomunikasi dengan keluarga di Anyer.
“Ada penduduk sini butuh menelepon saudaranya ke darat, coba minta password-nya bayar gimana? Ternyata yang lain juga pada minta. Daripada saya rugi kuota, ya udah dibayar,” katanya.
Pada 2021, Rofi membuat pemancar wifi hasil belajar autodidak dari internet. Ia mencari tutorial dari Youtube. Pemancar dihubungkan ke panel surya sebagai sumber listriknya.
“Antena gunanya buat modem, dia mencari sinyal, nembak ke tower BTS yang ada di Anyer. Terus yang satu gunanya untuk menyebarkan internet ke HP pengguna,” jelasnya.
Rofi membuka layanan internet berbayar yang bisa disewa wisatawan maupun warga setempat. Tarifnya Rp5 ribu per enam jam pemakaian. Dari usahanya ini ditambah penjualan rokok, ia bisa meraup Rp1 juta rupiah. Rofi pun kini mampu mencari uang sendiri.
“Sekarang bisa 20 users, justru keuntungannya itu dari wisatawan, kan dia misalnya ada perlu pekerjaan apa gitu menggunakannya nggak sampai 6 jam,” ujarnya.
Baca juga: Pahitnya Hidup Petani Kopi Perempuan Dirundung Krisis Iklim
Direktur Pena Masyarakat Kang Aeng menyebut berlarutnya sengketa lahan di Sangiang membuat kehidupan masyarakat jauh dari kata sejahtera, mereka berjuang di keadaan seadanya demi bertahan hidup. (Dok: Valda/ KBR)
Cerita Rofi maupun keluarga Sari hanya sekelumit kisah bagaimana warga Sangiang bertahan di tengah keterbatasan. Mereka adalah bagian dari 18 keluarga yang menolak melepaskan tanah dan rumah yang sudah dihuni puluhan tahun.
Kondisi sengketa lahan berkepanjangan di Pulau Sangiang merugikan penduduk setempat. Mereka tidak bisa mengandalkan penghasilan dari wisata. Banyak yang kemudian hanya mengandalkan hasil kebun untuk menopang hidup.
“Bisa jadi wisatawan berhati-hati main ke sini, ini bisa mengganggu perekonomian warga sendiri,” kata Direktur Eksekutif Pena Masyarakat, Madhaer Effendi alias Kang Aeng.
LSM Pena Masyarakat telah mendampingi warga Sangiang selama enam tahun terakhir. Kang Aeng menekankan warga Sangiang adalah warga negara yang sah, sehingga wajib dipenuhi hak-haknya.
“Perhatian (pemerintah) baik pendidikan dan juga kesehatan mungkin bantuan yang lainnya, sampai perlindungan terhadap hak maupun kehidupan masyarakat di Pulau Sangiang,” pungkasnya.
Penulis: Valda
Editor: Ninik Yuniati