SAGA
"HIV/AIDS masih menjadi ancaman karena belum ada obatnya. Kontrasepsi atau kondom jadi alat pencegahan utama, tetapi upaya edukasi terganjal regulasi KUHP."
Ilustrasi solidaritas HIV/AIDS. (Foto: kemkes.go.id)
KBR, Jakarta - Hanam mesti punya banyak cara agar tetap aman saat bekerja di isu penanggulangan HIV/AIDS. Sejak 2022, ia menjadi petugas lapangan di Yayasan Intermedika Prana.
Populasi kunci yang didampinginya adalah perempuan pekerja seks di Jakarta Selatan. Hanam mengedukasi mereka untuk rajin tes HIV dan disiplin menggunakan alat kontrasepsi.
Bagi-bagi kondom tentunya menjadi aktivitas rutin yang ia jalani.
“Kita menawarkan kontrasepsi jangan di tempat umum, maksudnya jangan terang-terangan, misalkan lagi konser, ‘kamu mau kondom ga? Kamu mau kondom ga?’ Kan ga kayak gitu. Tapi ke teman-teman yang membutuhkan dan berhak mendapatkan,” kata Hanam.
Ia juga mesti cermat ketika membawa kondom di tas.
“Jangan bawa semua, secukupnya aja, kutaruh di satu dompet kecil, terus ada tempat lagi di bawahnya, jadi agak lebih tertutup,” ujar dia.
Baca juga: KUHP Baru dan Beban Berlipat Aktivis Peduli HIV/AIDS (Bagian 1)
Hanam (kanan) saat berdiskusi dengan rekan-rekannya yang berkecimpung di isu penanggulangan HIV/AIDS. (Foto: dok pribadi).
Norma dan realita
Hanam tak punya pilihan, selain berhati-hati agar terhindar dari potensi pemidanaan. Di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, ada pasal larangan menunjukkan alat kontrasepsi pada anak.
Tepatnya pasal 408 yang menyebutkan, Setiap Orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehaliman kepada Anak, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.
Ini adalah pasal lama yang kembali masuk, dengan revisi berupa pembatasan pada anak. Namun, celah kriminalisasi tak sepenuhnya tertutup.
Sebab, di lapangan, Hanam menemukan ada pekerja seks yang masih berusia anak. Artinya, ia berpotensi dipidana karena dianggap menunjukkan dan menawarkan kondom pada anak.
“Ada beberapa (pekerja seks) yang masih muda, di bawah 17 tahun. Waktu tes mobilisasi, kan ngasih KTP, buset masih muda, ada yang masih kayak 15 tahun. Aku pasti nanyain kamu usianya berapa, tapi kadang ada yang ga jujur, usianya baru 15, dia bilang 21,” ungkap Hanam.
Jaminan bahwa pasal kontrasepsi tidak berlaku untuk aktivitas penanggulangan HIV/AIDS, belum cukup menenangkan.
Hal itu tertera dalam pasal 410 ayat 1, yang menyebutkan, Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 tidak dipidana jika dilakukan oleh petugas yang berwenang dalam rangka pelaksanaan keluarga berencana, pencegahan penyakit infeksi menular seksual, atau untuk kepentingan pendidikan dan penyuluhan kesehatan
Masalahnya, pasal ini berpeluang menjadi pasal karet yang bisa digunakan untuk menjerat kelompok rentan. Apalagi Hanam adalah seorang transpuan, yang kerap distigma dan didiskriminasi
“Kita ga berseragam terus, yang bertuliskan kita dari lembaga mana. Kan kita ga tiap hari, dan kadang kayak kita pulang kerja, terus di tas ada kondom, kadang ke tempat-tempat tertentu, dicek, kondom buat apa?” tutur dia.
Baca juga:
Ateis di Era KUHP Baru: Dulu Rentan, Sekarang Lebih Rentan (Bagian 1)
Ateis di Era KUHP Baru: Dulu Rentan Sekarang Lebih Rentan (Bagian 2)
FRONTIER di Bali saat menggelar aksi menolak pengesahan RKUHP pada Desember 2022 karena masih memuat banyak pasal bermasalah.(Foto: Antara/Nyoman)
Langkah mundur
Pasal kontrasepsi membatasi gerak pegiat HIV/AIDS seperti Hanam. Padahal peran mereka krusial dalam pencegahan HIV.
“Pencegahan utama itu lewat kontrasepsi sekarang dan itu juga aksesnya akan makin terbatas, ketakutan terbesar sebenarnya ini sih, akan makin tinggi justru meningkatnya HIV/AIDS di Indonesia,” kata Direktur Kebijakan di Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Olivia Herlinda.
Apalagi, pemerintah punya keterbatasan dalam menjangkau populasi-populasi kunci.
“Mungkin dilihatnya, alat kontrasepsi doang gitu, tapi sebenarnya punya dampak beruntun. Dan realitanya, puskesmas itu tenaganya sangat terbatas, di berbagai daerah,” terang Olivia.
Karenanya, Olivia menyayangkan KUHP baru masih memasukkan pasal ini. Mestinya pemerintah fokus saja pada upaya pencegahan.
“Harusnya kan ga usah, itu bukan narkoba ya. Jadi ya kami mendorongnya bagaimana ke kebijakan ya, sarannya bukan ke orang yang di lapangan, karena mereka tidak melakukan apapun yang salah sebenarnya,” tegas Olivia.
CISDI bakal mendesak agar aturan turunan pasal kontrasepsi ini dibuat sedetail mungkin, guna menutup celah kriminalisasi terhadap pegiat HIV/AIDS.
“Justru melindungi dan memastikan bahwa memang orang dapat akses untuk itu. Itu akan mengatur ketat bagaimana proses seperti, penunjukan tenaga yang boleh melakukan edukasi, apakah diberi sertifikat dsb. Terus kayak bagaimana cara, prosedur, penentuan, bersalahnya atau tidak,” imbuhnya.
Baca juga:
Potret Media Alternatif di Tengah Ancaman KUHP Baru (Bagian 1)
Potret Media Alternatif di Tengah Ancaman KUHP Baru (Bagian 2)
Direktur Kebijakan di CISDI, Olivia Herlinda menyebut pasal kontrasepsi juga bisa menghambat akses edukasi kesehatan reproduksi pada anak dan remaja. (Foto: dok pribadi).
Pantang surut
Hanam bakal terus melanjutkan edukasi pencegahan HIV. Transpuan berusia 23 tahun ini justru tambah bersemangat. Sebab, banyak pekerja seks yang ia dampingi, makin paham tentang pentingnya tes HIV dan pemakaian kondom.
“Tadinya kalau makai (kondom) itu kalau yang (bayar) murah, kalau mau bayar lebih dan (minta) ga pakai, udah ada penolakan, ‘lo mau bayar berapapun gue, kalau ga mau pakai (kondom), pokoknya ga mau. Sekarang udah ada kata-kata itu,” ujar Hanam.
Tak sedikit yang kini justru menanti program bagi-bagi kondom gratis. Mereka enggan membeli di toko atau apotek karena sering distigma.
“Kadang ada yang, ‘kamu buat apa nih beli banyak-banyak?’ Ada yang juga cuma dilihatin aja. Yang di lokalisasi itu, mereka (bilang) kok udah lama sih ga ada yang bagi-bagi kondom. Terbantu juga mereka,” kisahnya.
Hanam juga rajin membagikan pengetahuan tentang HIV/AIDS via media sosial
“Kan aku sering tuh di IG Story kayak, ini lho HIV. Kadang kalau ada, podcast atau apa, aku kasih info di situ. Jadi mereka yang kayak penasaran, buka-buka sendiri, habis itu mereka hubungin aku, ‘aku mau dong tes’,” kata Hanam.
Hanam sadar konten-konten edukasinya pun bisa dijadikan bahan untuk diperkarakan. Namun, langkahnya tak pernah surut.
“Jujur semenjak aku memberanikan diri buat ke Jakarta, semenjak memberanikan diri untuk menjadi trans (puan), aku kayak ya ini udah risiko, apapun yang terjadi, jalanin aja. Aku masih percaya Tuhan. Aku yakin selama kita melakukan kebaikan, keselamatan pasti ada,” pungkas Hanam.
Penulis: Ninik Yuniati