Article Image

SAGA

Kisah Kouji Penyandang Autisme, Dirikan Kafe Ramah Autis (Bagian 2)

"Kouji Genki Project merekrut penyandang autisme sebagai barista untuk membuktikan orang dengan autismr juga bisa berdaya dan mandiri. "

Fadil, barista penyandang autisme bekerja di kafe Kouji Genki Project terampil menggunakan mesin espresso. (Dok: KBR/ Nafisa)

KBR, Jakarta - Desing mesin giling kopi memecah keheningan di kafe Kouji Genki Project. Fadil, sang barista, tengah membuat espresso pesanan pengunjung. Lelaki asal Jakarta ini adalah penyandang autisme. Sejak 2020, ia bekerja di Kouji -kafe ramah autis- yang berlokasi di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.

“Saya dulu sedang cari hobi, pas beli kopi saya jadi terinspirasi untuk serius membuat kopi, siapa tahu saya punya potensi di sana,” kata Fadil.

Pada 2019, Fadil menjadi barista magang di Kouji, sebelum direkrut sebagai pekerja tetap. Selama magang, ia berkesempatan mengasah kemampuan saat Kouji ikut pameran atau bazar kopi. Fadil ditantang membuat beraneka macam menu.

“Awalnya susah membuat minuman baru, tapi kalau latihan setiap hari, pasti jadi gampang kok. Pas di bazar capek luar biasa tapi juga happy, happy-nya karena bisa buat minuman untuk banyak orang,” ujar laki-laki berusia 26 tahun itu.

Baca juga: Kisah Kouji, Penyandang Autisme Dirikan Kafe Ramah Autis (Bagian 1)

Menu coffee latte racikan Fadil, barista di Kouji Genki Project. (Dok: KBR/ Nafisa)

Saban hari Fadil bekerja dari jam 11 siang sampai 6 sore. Jika kafe libur, ia menjadi barista di tempat lain. 

Di Kouji, Fadil juga bisa menekuni hobi lain: belajar bahasa Jepang. Sebab, pemilik kafe, Kouji Santoso Eto dan ibunya, Yumiko Santoso Eto adalah keturunan Jepang dan fasih berbahasa Jepang.

“Saya cari hobi yang lain bukan berarti bosen ya. Tapi biar bisa lebih maju lagi. Saya juga suka nonton Youtube polyglot, yaitu orang yang bisa beberapa bahasa,” tuturnya.

Bekerja di Kouji berdampak positif terhadap kondisi autisme Fadil. Ia kini lebih mampu berinteraksi dengan orang lain, termasuk saat bertemu dengan orang baru.

Pengelolaan emosi Fadil pun kian membaik.

“Dulu saya nggak suka ngomong sama orang. Kemudian saya coba sedikit demi sedikit setiap hari. Sekarang saya udah bisa bicara dengan orang, saya lawan rasa takutnya,” kata Fadil.

Lebih dari 30 tahun tinggal di Indonesia, Yumiko menilai lapangan pekerjaan untuk anak berkebutuhan khusus masih sangat terbatas. Sektor bisnis masih kurang inklusif untuk penyandang autisme.

"Kalau di luar negeri sih udah biasa, perusahaan pakai anak disabilitas. Tapi di Indonesia untuk sementara  masih belum. Masih sangat terbatas ya,” ujar Yumiko.

Baca juga: Unjuk Gigi Anak Down Syndrome Melenggang di Catwalk

Fasilitas calming room membantu penyandang autisme untuk menikmati tempat yang lebih tenang di kafe Kouji Genki Project. (Dok: KBR/ Nafisa)

Karenanya, Yumiko mendukung anaknya mendirikan kafe yang nyaman dikunjungi orang dengan autisme.

Para barista Kouji direkrut dari sesama penyandang autisme. Ada empat barista yang dilatih kemudian bekerja di sana.

“Anak-anak kan nggak selamanya sekolah. Mereka harus mandiri dan berkarya. Niat Kouji, dia mau bantu orang lain. Anak yang tadinya nggak bekerja, sekarang mereka bisa kerja," kata perempuan asal Jepang itu.

Para calon barista dilatih langsung oleh Kouji. Cara ini lebih mengena karena pengajarnya adalah sesama penyandang autisme. 

“Mereka mulai dari nol belajar di sini. Di Jakarta ada pelatihan barista, tapi kalau di tempat lain agak sulit dan biayanya juga mahal sekali.” tutur Yumiko.

Yumiko tak menampik ada tantangan tersendiri ketika bekerja dengan penyandang autisme.

“Kebanyakan itu mood-nya nggak stabil. Pernah dulu di Cibulan, tamunya minta kopi, tapi baristanya nggak mau bikin. Kalau sekarang sih baristanya semangat terus,” ucapnya.

Baca juga: Lewat Seni, Berdayakan Penyandang Skizofrenia

Kalender karya penyandang autisme dipajang dan dijual di Kouji Genki Project. (Dok: KBR/ Nafisa)

Keberhasilan ini membuat Yumiko semakin bersemangat menciptakan ruang-ruang berkarya bagi orang dengan autisme. Yang terbaru adalah Sunday Talent Project.

Beberapa karya mereka dipajang di kafe, mulai dari kaos, tas tote, dan kalender.

“Anak spesial yang punya talent itu jarang tampil di tempat umum. Mungkin ada juga yang naik panggung, tapi kan nggak semua orang dapat kesempatan. Di sini mereka bisa menunjukan talent-nya, supaya lebih pede,” papar Yumiko.

Yumiko yakin penyandang autisme mampu berkarya dan mandiri asalkan diberi kesempatan. Itu sebab, inisiatif seperti Kouji Genki Project mesti dikembangkan dan diperbanyak.

“Harapan saya sih, nanti mereka bisa mandiri ya. Bisa bikin kafe sendiri misalnya atau bisa juga kita mungkin bikin cabang," katanya.

Penulis: Nafisa Deana, Valda

Editor: Ninik Yuniati