Article Image

SAGA

Kisah Kouji Penyandang Autisme, Dirikan Kafe Ramah Autis (Bagian 1)

"Kouji Santoso Eto, penyandang autisme tertantang menciptakan ruang-ruang inklusif bagi penyandang autisme dengan membuat kafe raham autis. "

Suasana tampak depan Kouji Genki Project. kafe ramah autis di Tebet Jakarta Selatan. (Dok: KBR/ Nafisa)

KBR, Jakarta - Hening. Demikian kesan pertama saat menjejakkan kaki ke Kouji Genki Project. Kafe bernuansa Jepang, berlokasi di Tebet, Jakarta Selatan ini adalah kedai kopi ramah autis. Pemiliknya, Kouji Santoso Eto, juga merupakan penyandang autisme.

Kouji memang hobi minum kopi. Ia belajar membuat beragam minuman berbahan dasar espresso. Pada 2018, Kouji berlatih menjadi barista di Anomali Kopi.

Setahun berselang, ia lulus dengan sertifikat barista, kemudian bekerja di PT Sumitomo Indonesia.

Selama menggeluti dunia barista, menu latte art menjadi bagian paling menantang. Sebab, teknik menghias kopi ini butuh konsentrasi tinggi.

“Ya sekitar setengah tahun lah. Susahnya mungkin mood-nya, nggak stabil. Kadang terbuat hatinya, kadang nggak,” kata laki-laki berusia 29 tahun itu.

Baca juga: Inbis Permata Bunda, Wadah Difabel Mandiri Berkarya

Kouji Genki Project, mendapat apresiasi dari lembaga nirlaba di Amerika Serikat karena inklusif terhadap orang dengan kebutuhan khusus. (Dok: KBR/ Nafisa)

Kouji mulai tertarik mendirikan kafe sendiri dengan konsep ramah autis. Minatnya kian menguat begitu mengetahui rekan masa kecilnya sukses sebagai barista.

“Aku mau ada pekerjanya yang anak istimewa, supaya bisa bekerja. Terus terinspirasi oleh teman SD, barista juga, jadi mungkin aku bisa seperti dia,” ujarnya.

Ibu Kouji, Yumiko Santoso Eto mendukungnya. Ia sadar anak berkebutuhan khusus butuh tempat untuk mengekplor bakat. Di Jakarta, fasilitas seperti itu masih sedikit.

Pada 2019 Kouji Genki Project resmi berdiri.

Yumiko turun langsung mengurusi kafe, mengambil peran sebagai chef, sedangkan Kouji menjadi barista.

“Dulu cuma berdua. Buka pertama kali itu saya bikin kue, dia bikin minuman,” kata Yumiko.

Baca juga: Pembuktian Penyandang Down Syndrome di Panggung Profesional

Kouji Santoso Eto sempat bekerja sebagai barista, sebelum memutuskan membuka bisnis kedai kopi ramah autis. (Dok: KBR/ Nafisa)

Menu yang disajikan Yumiko dijamin bernutrisi dan ramah autis.

“Mungkin banyak orang tua susah membawa anaknya ke restoran atau kafe. Jadi saya pikir (akan) banyak anak-anak autis datang. Saya bikin menu yang gluten free, karena anak autis kan harus menghindari gluten, tidak pakai gula putih juga,” ujarnya

Ini selaras dengan nama yang dipilih, ‘Genki’.

"Kouji" kan nama anak saya sendiri, "genki" itu sehat dalam bahasa Jepang. Jadi kalau orang datang ke kafe ini, (harapannya) jadi sehat, jadi semangat,” kata perempuan asal Osaka, Jepang ini.

Kouji Genki Project lambat laun dikenal dan makin berkembang. Banyak pengunjung dari kalangan penyandang autisme.

Mereka kemudian merekrut staf untuk membantu di dapur. Yumiko mempekerjakan kenalannya yang paham tentang autisme.

“Kalau ada masalah kita sering diskusi. Itu tidak terlalu sulit ya, staf juga langsung ngerti. Di sini cukup support,” tutur Yumiko.

Baca juga: Resiliensi Komunitas Difabel Semarang untuk Berdikari

Yumiko Santoso Eto punya latar belakang sebagai ahli nutrisi. Ia menyajikan menu makanan yang aman bagi penyandang autisme (Dok: KBR/ Nafisa)

Kafe dirancang sedemikian rupa agar pengunjung merasa seperti di rumah. Ada bermacam buku berbahasa Inggris dan Jepang yang bisa dibaca gratis.

Jika pengunjung dengan autisme butuh suasana tenang, Kouji menyediakan calming room. Ruangan seluas 12 meter persegi itu dilengkapi headphone peredam suara dan bean bag untuk bersantai.

“Misalnya ada yang terganggu suara musiknya bisa dikecilin atau dimatikan. Semua stafnya juga paham karena udah biasa sama anak-anak,” kata penyuka makanan Indonesia ini.

Komitmen Kouji Genki Project menyediakan kafe ramah autis mendapat apresiasi.

Pada Juni 2022, mereka meraih sensory inclusive certified dari Autism Career Pathways, organisasi nirlaba berbasis di San Fransisco, Amerika Serikat.

“Tiba-tiba ada yang menghubungi IG kami, katanya mau kasih sertifikasi. Kita agak bingung juga. Terus komunikasi di Whatsapp. Mungkin dia liat di IG terus oh ini memang betul-betul anak autis kerja, makanya dikasih sertifikasi," kata Yumiko.

Penulis: Nafisa Deana, Valda

Editor: Ninik Yuniati