SAGA
"Target nol merkuri di pertambangan skala kecil di 2025. Namun, progres penurunannya baru 20 persen."
Ilustrasi bioakumulasi merkuri pada ikan. (Foto: dinkespapuabarat.wordpress.com).
KBR, Jakarta - Siang nan terik di pelelangan ikan Pasar Cilincing, Jakarta Utara. Sekelompok orang sibuk memilih ikan, menimbangnya, kemudian membersihkan dengan pisau.
Mereka adalah tim peneliti Nexus3 Foundation yang tengah membuat filet dari beberapa jenis ikan. Di antaranya, ikan tengkek, kuwe, tuna, tenggiri, dan tongkol. Ikan-ikan ini sering dikonsumsi warga.
FIlet-filet ikan itu dibawa ke laboratorium untuk dites kadar merkurinya. Hasilnya agak mengkhawatirkan, terutama untuk ikan tengkek, kata peneliti Nexus3, Bonusa Huda.
"Ikan tengkek punya kadar merkuri cukup tinggi mengingat bobotnya yang relatif kecil. Ini tentunya jadi sorotan khusus, karena ikan tengkek cukup populer di masyarakat dan dapat ditemukan di online shop dengan harga relatif terjangkau,” kata Bonusa.
Ini kali pertama Nexus3 meneliti kandungan merkuri pada ikan. Lokasinya pun baru.
Mereka biasanya meneliti di wilayah Tertambangan Emas Skala Kecil (PESK) seperti di Maluku dan Minahasa, Sulawesi Utara. Selama puluhan tahun, penambangan ini dikerjakan warga lokal secara ilegal, dengan menggunakan merkuri.
Totalnya sekitar 190 titik di seluruh Indonesia. Tidak ada nama DKI Jakarta.
Baca juga: Mending Belanja Bahan Pokok Ketimbang Buat Beli Rokok
Para peneliti Nexus3 Foundation mengambil sampel ikan-ikan di Pasar Cilincing. Temuan awal menunjukkan kadar merkuri tinggi untuk ikan tengkek. (Foto: Nafisa/KBR)
Namun, Nexus menduga pencemaran merkuri sudah lintas pulau, menyebar terbawa air laut dan sungai.
Apalagi di sekitar Jakarta, ada aktivitas bongkar kapal dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara, yang juga melepaskan emisi merkuri.
“Dari air itu nanti ada fitoplankton, zooplankton, yang akan mengonsumsi merkuri-merkuri itu. Nanti kayak jadi rantai makanan gitu. Fitoplankton dimakan ikan, kemudian ikan dimakan manusia, nah itu bahayanya,” imbuh Bonusa.
Jenis ikan yang sering dikonsumsi warga adalah predator tertinggi di kategorinya. Berarti, kandungan merkurinya bisa berlipat kali ikan-ikan di bawahnya.
“Kalau ikan predator, dia akan menjadi yang paling tinggi tingkatannya dalam rantai makanan. Jadi dia akan bisa terakumulasi merkurinya cukup tinggi di situ,” ujar Bonusa menerangkan.
Haruki Agustina, Direktur Pemulihan Lahan Terkontaminasi dan Tanggap Darurat Limbah B3 dan Non-B3 di KLHK, menyebut bisa saja ikan di Jakarta memang sudah terkontaminasi merkuri.
Sumbernya tidak harus dari penambangan emas, tetapi bisa juga dari sektor industri.
Namun, ia mengakui KLHK belum punya data rinci paparan merkuri pada ikan dan berharap bakal ada riset tentang itu ke depan.
“Mungkin nanti ke depan seperti itu, seharusnya seperti itu untuk mengetahui bioakumulasi, nanti untuk menentukan kebijakan-kebijakan ke depan,” kata Haruki.
Baca juga: Nelayan Lombok Timur Adopsi Perikanan Berkelanjutan
Petambang menuangkan air ke dalam gelondong atau tromol. Merkuri dituangkan pada tromol untuk memisahkan pasir emas dari lumpur. Untuk menghasilkan emas 1 gram, dibutuhkan setidaknya 5 gram merkuri. (Foto: goldismia.org)
Dampak riil
Dampak merkuri pada kesehatan memang tak langsung kentara, tetapi nyata ketika tingkat paparannya intens dengan kandungan tinggi.
Sonia Buftheim, peneliti Nexus3, pernah 'mencicipi' dampak paparan merkuri pada 2016 silam. Kala itu, ia tengah meneliti di lokasi penambangan emas Sekotong, Nusa Tenggara Barat.
“Yang aku rasakan, pusing, mual, muntah, terus kadang badan tuh kayak nggak mau diajak kerja, pengin rebahan. Mikirnya kecapaian dan sebagainya,” Sonia bercerita.
Gejala-gejala itu dirasakannya setelah tiga hari bekerja di lapangan. Padahal, Sonia tidak sepanjang hari berada di lokasi penambangan. Ia menginap di hotel yang cukup jauh dari kampung warga. Tak sekalipun Sonia makan dan minum di sana.
Sonia kemudian diminta kembali ke Jakarta dan melakukan tes darah. Benar saja, kadar merkurinya melampaui ambang batas Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
“Aku jadi kebayang bahwa mereka (petambang) di lapangan kan nggak punya opsi lain gitu ya, hidup di sana, cari makan di sana, besar di sana. Jadi memang yang mereka lakukan adalah paling adaptasi akhirnya. Ada yang bahkan ngerujak Bodreks, karena mereka di sana sudah biasa sakit kepala,” tutur dia.
Dilema
Hingga kini, pertambangan emas skala kecil sulit ditutup, sebab dari situlah warga lokal menggantungkan hidup.
Haruki menyebut upaya penghapusan merkuri di penambangan emas terus berjalan. Sampai sekarang penggunaan merkuri baru turun 15 hingga 20 persen. Padahal target bebas merkuri sebentar lagi, yakni 2025.
“Ini kalau bicara PESK, it's very tough job, bahwa ada ilegal trade yang kita nggak tahu dari mana,” ucap Haruki.
Baca juga: Pilah Sampah Mandiri, Warga Sukaluyu Tak Terdampak Kebakaran TPA Sarimukti
Direktur di KLHK, Haruki Agustina, menyebut penghapusan merkuri di sektor kesehatan paling progresif, meski masih ada kendala soal pengelolaan alat-alat medis yang ditarik. (Foto: dok pribadi)
Belum ada resep jitu menyetop perdagangan merkuri, meski sudah dilarang. Bahan berbahaya itu dengan mudah bisa diperoleh di lokapasar.
KLHK mengenalkan alternatif cara menambang emas dengan menggunakan sianida. Ada bahan lain yang ramah lingkungan, tetapi terlalu mahal bagi penambang kecil.
“Ada teknologi penambangan emas tanpa merkuri, digantikan dengan sianida. Meskipun itu kita kontrol, karena sianida juga memang bahan kimia yang cukup berbahaya. Tapi lebih jauh lebih level baiknya dibanding merkuri,” tutur dia.
KLHK juga memberikan insentif berupa bantuan peralatan menambang tanpa merkuri ke 8 lokasi seperti Gorontalo, Sulawesi Utara dan Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Harga alatnya mencapai Rp1,5 miliar.
Upaya penghapusan merkuri juga melibatkan kementerian lembaga lain. Salah satunya Kementerian ESDM yang diharapkan ikut mengedukasi lewat perizinan tambang.
“Karena yang izin itu dari teman-teman ESDM. Makanya edukasi harus lintas, teman-teman ESDM harus juga memberikan kontribusi dalam konteks edukasi perizinan, syarat perizinan itu apa saja,” pungkas Haruki.
Penulis: Nafisa Deana & Ninik Yuniati