SAGA
"Syska La Veggie menggali pengalaman pribadinya sebagai perempuan, anak, dan ibu dalam melewati dua krisis besar, krisis 1998 dan pandemi Covid-19"
Syska La Vegie mengenakan baju APD saat pembukaan Jamu Ngatiyem di Goethe-Haus Foyer, Jakarta, Selasa (1/8/2023). (Foto: Goethe-Institut Indonesien)
KBR, Jakarta - Sore itu, di GoetheHaus, Jakarta, Syska Liana dikerumuni puluhan anak. Seniman yang akrab dipanggil Syska La Veggie ini tengah memperagakan cara mencampur cat di palet, hingga menyapukan kuas ke permukaan kertas.
Namun, ada yang spesial. Bahan cat berasal dari empon-empon yang biasa digunakan sebagai jamu.
“Anak-anak bisa mengenal jamu secara fisik, juga bisa menjadi alternatif lain dalam membuat sebuah karya atau gambar. Ini kan juga mudah ditemukan di dapur, mungkin bisa dicoba di rumahnya nanti,” kata seniman kelahiran Surabaya, 1989 ini.
Para orang tua yang mendampingi pun ikut penasaran. Mereka turut menyimak sembari sesekali mengabadikan aktivitas sang anak dengan kamera telepon genggam.
Kelas melukis dengan jamu memang hanya dibuka untuk anak-anak.
Ini adalah bagian dari pameran seni karya Syska bertajuk “Jamu Ngatiyem”.
“Orang dewasa akan sibuk dengan konten, bukan sibuk dengan imajinasi mereka menyelesaikan karya. Makanya anak-anak sangat cepat sekali ya, mereka pede, mau gambar apa itu, pede,” tutur Syska.
Baca juga: Adaptasi Warga Timbulsloko yang Menolak 'Tenggelam'
Syska La Veggie tengah mengajari anak-anak melukis dengan jamu di GoetheHaus, Jakarta, Minggu (13/8/2023). Sebanyak 26 anak menjadi peserta dari total 50-an yang mendaftar. (Foto: KBR/Ninik).
Berkenalan (lagi) dengan jamu
Benar saja, salah satu peserta, Alma (10), hanya butuh setengah jam untuk menyelesaikan lukisannya. Ia mengaku terkesan karena aneka bumbu dapur ternyata bisa dipakai sebagai bahan cat.
“Tadi eksperimen sama jamu, kencur, dan lain-lain. Dicampur sama deterjen, sama jeruk nipis. Tadi gambar kayak pemandangan,” ujar Alma.
Di luar ruang pelatihan, Ana, ibu Alma, tengah mengantre di depan kedai berbentuk boks berukuran sekitar 2 x 1 meter.
Ini adalah instalasi depot Jamu Ngatiyem, yang didominasi warna hijau dan kuning. Ana memesan jamu “Pegal Insecure”.
“Rasanya sih enak ya, anget di tubuh, nggak encer, pas lah. Komposisinya lebih banyak ke kayak temulawak, kunyit. Karena kunyit sendiri kan kayak antibiotik, dan jahe perpaduannya itu memang pas, enggak pahit, orang dulu tahunya kan (jamu) pahit,” ujar perempuan 43 tahun ini.
Ana terakhir kali meminum jamu ketika masih usia SMP.
“Sudah lama nggak minum jamu-jamu seduh gini, udah hilang dari peradaban, semenjak nggak ada tukang jamu lewat sih. Setelah sekian lama baru ini lagi, terus ada rasa yang ‘wah ini yang dulu tuh’. Jadi kayak nostalgia,” kata warga Depok, Jawa Barat ini.
Ia terkesan dengan pengemasan Jamu Ngatiyem yang unik. Nama-namanya pun menggelitik dan dibubuhi pesan bermakna.
“Karena di sini juga ada khasiatnya, perasaan tidak percaya diri, kalau yang pegal insecure, masalah sosial juga ya. Jadi kayak sesuatu yang lucu atau mungkin kekinian, biar bisa diterima juga. Anak-anak yang sekarang kan nggak tahu jamu ini apa,” imbuh Ana.
Baca juga: Arka Kinari, Keliling Dunia Wanti-Wanti Krisis Iklim
Alma ditemani ibunya, Ana usai mengikuti kelas melukis dengan jamu di GoetheHaus, Jakarta, Minggu (13/8/2023). Sembari menemani, Ana sempat mencicipi Jamu Ngatiyem. Ini pengalaman pertama sejak hampir 30 tahun lalu, ia mengkonsumsi jamu. (FOTO: KBR/Ninik)
Dua krisis
Selain “Pegal Insecure”, ada enam jenis jamu lain, yakni, “Tuntas Patriarki”, “Galian Demokrasi”, “Anti Korupsi”, “Tolak Rasisme”, “Sehat Normal Baru”, dan “Resik Hoax”.
Lima di antaranya merupakan hasil program residensi yang Syska jalani di Yogyakarta bersama Ruang MES 56 dengan Cemeti-Institute for Art and Society.
Adapun jamu “Resik Hoax” dan “Pegal Insecure” merupakan varian baru yang dibuat Syska untuk pameran di Jakarta.
“Sejak Covid juga banyak hoaks, apalagi menjelang Pemilu, pasti mulai akan sering muncul hoaks. Ini juga masih relate untuk dibicarakan,” ucap Syska yang juga aktif di Perempuan Pengkaji Seni ini.
Lewat Jamu Ngatiyem Syska ingin membandingkan dua krisis yang pernah melanda, yaitu krisis ‘98 dan pandemi Covid-19.
“Kayak ada dua kesamaan seperti banyaknya pengangguran karena PHK, dolar naik, untuk perempuan juga ada dampaknya, perempuan mengalami beban ganda dan lebih. Terus juga ada banyak pelecehan, kekerasan terhadap perempuan, perceraian juga kan,” ungkap Syska.
Jamu dipilih sebagai medium bercerita. Sebab di dua krisis tersebut, jamu menjadi primadona.
“Pas Reformasi jamu banyak dicari karena waktu itu yang bekerja sebagai karyawan dapat Jamsostek atau asuransi, kemudian dia udah nggak kerja lagi kan, akhirnya cari alternatif lain, yaitu dengan mengkonsumsi jamu. Di Covid, sama kan, ketika vitamin, obat-obatan sulit dicari, mahal, orang cari alternatif jamu,” terang Syska.
Karya ini sangat personal bagi Syska, karena digali dari pengalaman pribadi. Ngatiyem diambil dari nama ibunya.
“Karena terinspirasi oleh Ibu Ngatiyem, yaitu mamaku, yang pernah berjualan jamu di era moneter ketika papaku di-PHK karena waktu itu memang banyak PHK besar-besaran. Kemudian dia bekerja membantu ekonomi keluarga dengan strategi dia berjualan jamu,” kisah Syska.
Pergulatan Ngatiyem juga dirasakan Syska ketika masa pandemi.
“Aku sebagai seorang ibu juga, perempuan, yang bekerja untuk membantu menopang ekonomi keluarga. Dan juga ketambahan aku sebagai generasi sandwich. Mamaku udah nggak jualan lagi kan, udah 15 tahun, dia jualan sampai 2010,” ungkapnya.
Pengunjung sedang menunggu jamu pesanan di depot jamu seduh Ngatiyem. Jamu Ngatiyem sebelumnya dipamerkan di Yogyakarta pada Maret 2023 dengan menyajikan lima varian jamu. Dua varian baru diciptakan Syska untuk pameran di Jakarta. (Foto: KBR/Ninik).
Melampaui
Meski tetap mengangkat isu perempuan, Syska menekankan karyanya ini lintas gender. Berbagai masalah sosial yang direpresentasikan lewat nama-nama jamu itu relevan untuk diperbincangkan siapa saja.
“Pasca-Covid pun hal-hal ini masih dirasakan dan harus 'disembuhkan' karena jamu artinya pengobatan dan penyembuhan. Tidak hanya perempuan saja, konteks tema-tema jamu itu nongender. Dia rempah-rempah yang bisa dikonsumsi nggak gender tertentu, makanya aku membuat tagline, “Jamu Ngatiyem, Jamu Segala Gender, Segala Masa,” tutur Syska.
Depot “Jamu Ngatiyem” menjadi karya pertama Syska yang bisa dikonsumsi. Pendekatan ini juga sudah dipraktikkan oleh beberapa seniman, agar audiens bisa lebih banyak berinteraksi dengan karya seni.
“Sehingga orang lebih nyaman menikmati karya. Makanya kenapa aku milihnya di luar, di areal dekat kantin, atau areal orang nongkrong, tidak di ruang galeri, yang sangat formal, agar audiens bisa lebih rileks menikmati karya ini, bahkan dia tidak merasakan ini karya,” pungkas Syska.
Penulis: Ninik Yuniati