indeks
Dipecat, Diusir, Dipersekusi, Dikriminalisasi: Realita Hidup Kelompok Ragam Gender/LGBTIQ+ di Indonesia

Di kasus- kasus penggerebekan, banyak pelanggaran prosedur hukum yang dilakukan polisi. Para korban juga di-framing dengan narasi pesta seks sesama jenis.

Penulis: Heru Haetami, Ninik Yuniati

Editor: Malika

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
Dipecat, Diusir, Dipersekusi, Dikriminalisasi: Realita Hidup Kelompok Ragam Gender/LGBTIQ+ di Indonesia
Pertunjukan seni Big Star Got Talent. (foto: istimewa)

KBR, Jakarta - Minggu, sekitar jam 1 dini hari, Ungu -bukan nama sebenarnya- tengah bersantai di dekat kolam renang, di sekitar vila di kawasan Mega Mendung, Bogor, Jawa Barat. 

Ia mengaso sejenak usai mengisi sesi edukasi dan jadi juri lomba Big Star Got Talent, ajang pertunjukan seni dan kreativitas, yang digelar 21-22 Juni 2025

Ini tahun kedua acara itu digelar dengan konsep serupa: edutainment. Acara edukasi pencegahan HIV/AIDS, dikemas menarik, dengan menggelar lomba menyanyi dan menari.

“Kita kelar sekitar jam 12 lewat, hampir setengah satu. Itu juga sudah mulai 'udah yuk selesai', karena mungkin capek. Aku lihat mereka masuk kamar, tidur,”

Sejam kemudian, suasana sepi mendadak keos, dengan kedatangan beberapa truk yang mengangkut rombongan polisi. 

Mereka langsung mendatangi satu per satu ruangan peserta, yang sebagian sudah terlelap tidur. 

"Semua digeledah, sudut-sudut ruangan, handphone semua langsung ditahan,”

Polisi menemukan beberapa perlengkapan untuk show.

“Mereka bilang, 'punya siapa nih sajam, pedang?'. Ada yang ngaku 'buat properti tari'," 

Ada juga temuan alat kontrasepsi atau kondom 4 buah yang masih terbungkus rapi. 

"Kemungkinan ada petugas dari lembaga mana (edukasi cegah HIV/AIDS) yang bawa. Karena itu, kan, senjatanya mereka buat edukasi,” tutur Ungu.

Situasi kian mencekam. Kalut berkecamuk.

“Hampir semua panik. Sampai si panitianya 'gimana kak, gimana?'. 'Ya udah tenang, udah tenang',” imbuhnya. 

Konferensi Pers LBH Masyarakat di Jakarta, pada Juni 2025, menyikapi penggerebekan acara Big Star Got Talent. (foto: KBR/Heru)

Ungu curiga, banyak hal tampak janggal. Ada orang yang ia duga polisi, merekam video dengan handphone sejak awal.

“Aku emang sengaja (duduk) paling depan karena takutnya teman-teman belum terbuka sama keluarga dan segala macem. Ketika polisi bilang siapa penanggungjawabnya? saya tunjuk tangan. walaupun saya cuman tamu sebenarnya. Ya mau gimana soalnya teman-teman nggak bisa ngomong, kan,” kata Ungu. 

Sebanyak 75 orang peserta dan panitia dikumpulkan di aula.

Ungu berulang kali meminta polisi menunjukkan surat perintah penggeledahan.

“Mereka (polisi) cuma ngasih lihat map-nya doang, terus lari sana, lari sini. Terus orang lain lagi yang nge-back up. Kita ngasih tahu lagi sampai terakhir entah ibu siapa, dia bilang, 'minta maaf atas ketidaknyamanannya'. Berusaha untuk baik sama kita, 'ya kita ada laporan dari warga',”

Mereka semua lantas dibawa ke Polres Bogor.

Waktu hampir menunjukkan pukul 6 pagi ketika mereka sampai.

Tiga jam berdiam di aula menunggu proses pemeriksaan, ponsel pun masih disita.

Ungu masuk kloter awal yang dipanggil.

Pengalamannya belasan tahun sebagai aktivis Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bekasi, membuatnya tenang saat menjawab pertanyaan.

“Dia (polisi) sampe bilang, 'kamu aparat ya?'. 'Bukan, Pak', 'Kok kayak lo ngerti. 'Ya ngerti aja, aku bilang gitu', kayak santai, kita, kan, nggak salah,"

"Dia (polisi) sempat bilang sekitar jam 2 atau jam berapa, 'ya udah lo boleh pulang'. Terus aku bilang, 'Pak saya pulangnya paling belakang, soalnya harus mastiin semua pulang. Aku boleh ke aula dulu ya, Pak,” ungkap Ungu. 

Ungu kembali ke aula.

Dia melihat peserta Big Star Got Talent masih memenuhi ruangan.

Suasananya memprihatinkan, kata Ungu.

“Aku nyamperin anak-anak karena pada tegang semua di aula. Ada yang nangis. Terus aku adem-adem-in. Kenapa?,”

Kepada Ungu, peserta mengaku dipaksa tes HIV.

Dan hasilnya diungkap ke semua orang.

“Harusnya nggak boleh. Ada kode etiknya, harus dilakukan secara sukarela. Setelah semua selesai dites, polisinya bawa kertas, terus mereka dipanggil-in satu-satu, 'ini ya yang positif, X, pindah, siapa, pindah, di hadapan semua orang',” 

Polisi bahkan memanggil sebagian keluarga mereka.

“Tiba-tiba dibilang, 'ini anak Ibu, LGBT, ini anak Ibu positif (HIV), Ibu tahu nggak kalau anak Ibu LGBT?, Ibu tahu nggak kalau anak Ibunya harus minum obat tiap hari?' Untungnya si Ibu paham anaknya, 'ya Saya udah tahu'. Dia sempet nangis, nangis bukan karena anaknya banci, bukan karena anaknya HIV, tapi ngerasa ini polisi kurang ajar sama anak gue," kata Ungu.

Hari semakin sore, Ungu baru sadar, mereka belum makan-minum sejak penggerebekan dini hari.

Padahal, sebagian dari rekan-rekannya itu harus minum obat antiretroviral (ARV) tiap hari.

“Akhirnya dikasih makan, sekitar jam 5 (sore), tanpa minum. Minum itu baru dateng itu sekitar jam 7 atau jam 8. Jadi pada telat minum obat, semua yang aku tahu sudah positif (HIV). Ada lagi yang memang harus rutin minum obat asam uratnya atau segala macem, pokoknya telat semua. Karena obat juga, kan, disita, cuma akhirnya boleh diminta,”

Lewat tengah malam, semua dibebaskan.

Ponsel Ungu dikembalikan. Namun, sebagian peserta lain tidak demikian. Tanpa penjelasan.

Pulang, tapi Ungu tak tenang.

Benar saja, video penggerebekan viral di media sosial. 

Wajah peserta terpampang jelas, identitas mudah dilacak.

Beberapa media memberitakan acara Big Star Got Talent sebagai pesta seks sesama jenis.

Seketika, berderet pesan masuk di aplikasi percakapan Ungu. Sejumlah peserta dan panitia acara berkeluh-kesah serta berbagi cerita sedih. Ada yang diusir keluarga, dikeluarkan dari indekos, hingga kehilangan pekerjaan. 

“Sampai rumah nggak tidur, cuman megangin HP. 'Kak aku diusir, Kak, aku diini, Kak, aku begini'. Besok siangnya pun ada yang sampai dipecat dan diganggu. Ada satu orang yang akhirnya dia bilang 'Kak aku dikeluarin (dari) kerjaan, mereka tau aku ikut (acara),” 

Ada rekan yang datang ke rumahnya, langsung menghambur, memeluk Ungu, tangisnya pecah. Kakaknya masuk UGD karena diberitahu polisi via telepon, tentang identitasnya.

“Pengakuan dari si kakak, polisinya, (bilang) 'saya jijik sama adik kamu! LGBT, pesta seks'. Seketika dia (si kakak) nge-drop, pingsan dibawa ke rumah sakit,' Dia (sang adik) nangis, nggak kelar-kelar sepanjang malem tuh,”

Kurang dari sepekan Ungu mengunjungi satu per satu rekannya itu. Di Bekasi, Tangerang, dan Depok, mencoba memediasi.

Sedikit yang berakhir bahagia, lebih banyak luka.

“Ada yang (keluarga) bisa terima akhirnya, ya mereka bisa pulang. Lebih banyak yang tidak, bahkan kita sampai diusir, (keluarganya) nggak mau ketemu sama kita. Ngapain lo bela-belainan kayak gitu. Udah sana-sana lo juga sama aja pasti,”

Mereka yang ditolak keluarga atau diusir dari indekos terpaksa hidup menumpang.

Sampe sekarang mereka luntang-lantung, ada yang ditampung di rumah teman, ada yang ditampung di mana,”

Ini belum semuanya.

Sehari kemudian, mendadak sejumlah orang dipanggil lagi ke Polres Bogor, termasuk Ungu.

Beberapa rekannya mengaku, mereka dijemput paksa dari tempat tinggalnya.

“Alasannya karena viral. Yang bikin viral sopo? Kan, bukan kami. Penyidikan dinaikkan katanya, karena viral,”

Baca juga: Echa: LGBT juga Manusia, Sama seperti yang Lain

Ini kali pertama Ungu menjadi korban penggerebekan dan dikriminalisasi, selama belasan tahun menjadi aktivis penanggulangan HIV/AIDS.

Ia berani memastikan acara Big Star Got Talent tak melanggar apa pun.

Apa yang beredar di media sosial maupun sebagian pemberitaan adalah framing jahat terhadap komunitas ragam gender.

“Pada dasarnya polisi nggak bisa membuktikan kalau di situ ada pesta seks, ada pornografi, atau apa segala macam. Karena memang (kami) tidak melakukan apa-apa, tidak terjadi apa-apa,"

"Aku nggak bakal datang kalau aku tahu acaranya dari awal, itu pesta seks,"

KBR mencoba menghubungi Polres Bogor untuk meminta tanggapan tentang dugaan kriminalisasi terhadap peserta acara Big Star Got Talent. Kasat Reskrim Polres Bogor Teguh Kumara belum merespons pesan singkat maupun sambungan telepon KBR.

Kasus Berulang

Sejumlah korban penggerebekan di acara Big Star Got Talent mendapat pendampingan hukum dari lembaga advokasi Inclusive Legal Center (ILC). M Slamet Raharjo, salah satu pendamping hukum ILC, mengungkap pola kriminalisasi semacam ini sudah berulang kali terjadi. 

Menurutnya, banyak korban yang mengalami trauma mendalam. 

“Ketika melihat polisi, tidak hanya di kantor polisi, ketika di luar, dia merasa ketakutan dan stress. Ingat kasus itu. Beberapa (korban) japri ke saya, dia kehilangan pekerjaan, dia banyak diteror kawan-kawannya, dia stress, tidak berani keluar (rumah),” kata Slamet.

Muhammad Slamet Raharjo, advokat Inclusive Legal Center. (foto: KBR/Heru)

Ada dua kasus penggerebekan lain yang juga ia dampingi.

Polanya mirip, aparat selalu menggiring para korban untuk mengakui adanya pesta seks sesama jenis. Proses pemeriksaan pun tidak manusiawi.

“(LGBTIQ+) selalu dianggap (polisi) menyimpang, selalu dianggap penyakit, selalu bisa diubah menjadi heteroseksual. Pertanyaan-pertanyaan (polisi) merendahkan,"

"Tak hanya polisi, aparat termasuk jaksa, hakim juga kadang-kadang dalam persidangan, caranya tertawa, dengan gerak tubuh yang bisa kita lihat bahwa itu menyindir atau merendahkan. Itu adalah bentuk-bentuk ketidaksukaan pada kelompok-kelompok yang berbeda,” M Slamet Raharjo, pendamping hukum Inclusive Legal Center.

Slamet bilang, mereka juga kerap dilecehkan secara fisik maupun verbal.

“Dilempar sandal lah, dikerjain, disuruh ini lah, disuruh ke kamar mandi lah, ditowel badannya, pantatnya ditepuk-tepuk. Pokoknya dianggap bukan manusia lah," 

"Misalnya ada polisi. Ketika si korban ditanya, 'kamu dari mana?' 'Saya dari Medan', 'malu-maluin orang Medan, Saya orang Medan, nggak ada orang Medan yang seperti ini'. Itulah yang kualitas aparat kita,” kata Slamet.

Tak jarang polisi sewenang-wenang mengungkap identitas korban ke keluarga.

“Sebelum dia (korban) dilepaskan (polisi), mereka harus video call dengan keluarganya. Bagi yang punya istri, di-video call. 'Ini lho, suamimu ternyata homoseksual, melakukan hubungan seksual sama jenis.Tidak dilepaskan kalau tidak keluarganya datang,” ucap Slamet.

red
Data Pelaku kekerasan terhadap komunitas ragam gender. (sumber: Catam Arus Pelangi)
advertisement

Pengamat kepolisian, Poengky Indarti mengakui kelompok LGBTIQ+ rentan dipersekusi di daerah yang kurang toleran.

Sayangnya, aparat sering mengikuti suara mayoritas, ketimbang melindungi hak konstitusional warga negara, tanpa kecuali.

“Kalau mereka tidak melakukan kejahatan, jangan dianggap mereka penjahat, kemudian dilabel-in macam-macam seperti itu. Ini yang keliru. Jadi seharusnya ada upaya-upaya untuk melindungi kelompok-kelompok ini. Karena mereka juga kelompok rentan yang menjadi sasaran persekusi,” ujar Poengky kepada KBR.

Poengky mengatakan, aparat harus menghormati hak-hak dasar individu LGBTIQ+, sehingga tidak dilakukan diskriminasi yang berdampak pada persekusi.

"Apakah nggak boleh misalnya kelompok LGBT mengadakan acara, melakukan kegiatan? Kan, boleh-boleh saja. Jadi nggak boleh ada diskriminasi, itu yang benar," katanya.

Menurut Human Rights Working Group (HRWG), menjadi bagian kelompok LGBTIQ+ bukanlah kejahatan.

"Mereka salah apa? mereka korban. Polisi menjadi semacam polisi moral, ini, kan, nggak bisa. Ini tidak adil, khususnya buat kelompok-kelompok LGBT yang sering disasar," kata Direktur HRWG, Daniel Awigra kepada KBR.

Siapa pun termasuk aparat penegak hukum harus memandang ekspresi ragam gender sebagai hak individu.

“Adanya raid-raid atau penggerebekan terhadap kelompok LGBT, ini menunjukkan diskriminatif, ada yang namanya homofobia, ada yang namanya kemudian favoritism, ke siapa? Ke yang hetero,” ujar Daniel.

Direktur HRWG, Daniel Awigra. (foto: instagram/indonesia.hrwg)

Mari bandingkan jika yang menjalani proses hukum adalah kelompok heteroseksual, kata Daniel. Kasusnya bisa sama, tetapi perlakuannya berbeda.

Alih-alih fokus pada dugaan pelanggarannya, polisi malah sibuk mempersoalkan seksualitas kelompok ragam gender

“Kadang-kadang di hetero (seksual) juga ada banyak persoalan, misalkan apakah ada unsur paksaan, perkosaan atau tidak, ada harassment atau tidak, apakah mereka dengan orang yang cukup umur atau tidak. Di hetero juga ada banyak relasi-relasi itu, tapi kenapa ini cenderung menyasar kelompok-kelompok minoritas seksual, yang ekspresi seksualnya berbeda dari kelompok yang dianggap mayoritas,” kata Daniel Awriga, Human Rights Working Group (HRWG)

Daniel bilang, diskriminasi terhadap kelompok minoritas gender saat berhadapan hukum merupakan problem struktural di institusi kepolisian.

“Polisi harus adil untuk semuanya. Adil itu basisnya tidak ditentukan oleh jumlah. Meskipun kelompoknya minoritas, kecil, bukan berarti dia nggak punya hak. Mereka juga punya hak untuk bahagia, untuk bebas dari rasa takut, hak berekspresi, sama dengan kelompok yang lebih mayoritas,” ucap Daniel.

red

Ada andil negara dalam langgengnya diskriminasi terhadap kelompok LGBTIQ+.

Salah satunya karena tidak mengakui kelompok ini sebagai kelompok rentan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Itu sebab kasus-kasus diskriminasi terhadap kelompok ragam gender tak dibahas di Kementerian HAM.

Ini seperti dikatakan Harniati, Staf Ahli di Kementerian HAM.

“Kita hanya mengenal istilah kelompok rentan di dalam UU dan peraturan pelaksanaannya. Nah, kelompok rentan itu terdiri dari lima: anak, perempuan, masyarakat hukum adat, disabilitas dan lansia,"

"Misalnya ada keinginan di luar itu (lima kelompok rentan), maka partisipasi masyarakat itu yang sangat penting. Kalau misalnya ada masukan-masukan, silakan, terutama untuk rencana revisi UU Nomor 39. Ini ke depannya bagaimana? kembali ke masyarakat kita,” kata Harniati saat ditemui KBR di Jakarta Selatan.

Penulis: Heru Haetami, Ninik Yuniati

Editor: Malika

#KeadilanGender
diskriminasi gender
LGBT

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...