ragam
Keluargaku Mati Dibakar, Dalangnya Masih di Luar

Ayah, ibu, adik, dan anak semata wayangnya diduga dibakar di dalam rumah.

Penulis: Astri Yuana Sari, Sindu

Editor: Malika, Ninik Yuniati

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
Keluargaku Mati Dibakar, Dalangnya Masih di Luar
Pemakaman Rico, istri, dan anaknya. Foto: LBH Medan

KBR, Jakarta- Hadiah ulang tahun adik, uang untuk ibu, juga biaya hidup anak semata wayangnya yang berusia 3 tahun, masih disimpan Eva.

Mestinya semua itu, Eva berikan saat balik ke rumah orangtuanya, di Jalan Nabung Surbakti, Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Melepas rindu ke sang buah hati yang sudah seminggu ia titip selama bekerja di Berastagi.

Namun, kesempatan membahagiakan orang-orang tercinta, dirampas darinya.

Kamis dini hari, 27 Juni 2024 lalu, ayah-ibunya, anak, dan adiknya tewas terbakar di dalam rumah.

Kabar itu, Eva terima dari tiga teman sekampungnya

“Dia bilang ‘kebakaran kedaimu’, enggak percayalah aku. Kubilang gini, ‘jangan main-main dulu kenapa, Nang, aku baru pulang loh jam satu tadi’. ‘Ini serius, sumpah!’ Sampai ditunjuk-in dia video kedai aku. Loh, bangunlah aku langsung. Anakku gimana?"

Saya bertemu Eva Meliani Pasaribu, anak jurnalis Tribrata TV, Rico Sempurna Pasaribu, di sebuah rumah makan di selatan Kota Jakarta.

Perempuan 23 tahun ini terbang ke Jakarta untuk menyambangi Puspom TNI AD. Ia menuntut keadilan atas kasus kematian keluarganya yang diduga melibatkan tentara.

Eva mencoba tegar ketika menceritakan kembali peristiwa itu. Tangannya tak berhenti meremas kertas tisu. Sesekali ia menyeka wajah.

“Langsung aku ambil kereta (motor), gas itu sudah habis langsung kubuat jalan, enggak lagi ke TKP, ke rumah sakit umum langsung karena sudah dibawa ke sana katanya.”

red
Kondisi rumah Rico yang dibakar. Foto: LBH Medan/@Ar.smb.bre itink
KBR


Gosong

Tak lama, Eva tiba di Rumah Sakit Umum Kabanjahe. Ia bingung dan lemas ketika berjalan memasuki rumah sakit dan melewati ruang-ruang perawatan.

“Sesampai di sana. Dibawa awak (aku) sampai ke ujung. ‘Loh, ini ke mana, kamar mana?’. ‘Nang, jangan nangis, ya’, katanya. Sampailah kutengok sudah ada orang nangis di depan kamar jenazah. Aduh. ‘Anakku mana, anakku mana? Enggak kan, Nang, enggak, kan?” tanya Eva.

Ada empat korban, ia dengar. 

Eva menolak percaya, tak mungkin mereka keluarganya. 

Sampai dia membuka sendiri empat kantong mayat yang diletakkan berjajar di kamar jenazah.

“Rupanya memang benar dia (bapaknya). Aku nengok tatonya sudah samar-samar. Anakku (kondisinya) sudah, hadeh tahulah dah kek mana.”

Eva mengenali jasad ayahnya, Rico Sempurna Pasaribu.

Itu pemandangan paling menyayat yang pernah ia lihat.

Matanya memerah dan berkaca-kaca. Suaranya mulai parau.

“Iya. Semuanya sudah gosong.”

Kejanggalan

Saat Eva di rumah sakit, hampir semua wartawan, kawan bapaknya datang ke kamar jenazah.

“Dia (salah satu teman bapaknya) bilang, ‘ada yang janggal, ada yang janggal ini. Bawa autopsi, autopsi.’”

Eva tak paham, apanya yang janggal? Pikirannya masih kalut.

Perlahan Eva mencerna omongan-omongan mereka. Ia diminta mengecek media sosial sang ayah. Ada dugaan kejadian nahas itu terkait berita perjudian yang Rico tulis.

“Langsung aku buka ini Facebook Bapakku. Kutengok-tengok beritanya, berita kek mana ini.”

“Dia buat berita apa sih tentang gimana sih ini, apa yang terjadi? Rupanya bapakku sudah nyindir nih, oh ada beritanya ini, ada enggak kaitannya ini?“

Eva penasaran, tetapi tak tahu harus apa.

Ia pasrah saja menyaksikan jenazah keluarganya dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara, Medan untuk diautopsi.

“(Eva) enggak iku, aku enggak sanggup gimana-gimana lagi,”

Alih-alih dibawa ke rumah duka, usai autopsi, jenazah keluarga Eva malah diinapkan di RS Bhayangkara. Tak ada rasa curiga dari pihak keluarga.

Eva sebaliknya, menandai beberapa kejanggalan. Sulung dari dua bersaudara ini mulai menggali informasi, menelisik media sosial Rico dan membaca tulisan-tulisannya.

“Dari awal memang aku doang yang membangkang ini semua. Kalau enggak, enggak akan ada ini, keluarga memang cuma kayak, yang tahunya polisi bilang gitu, ya, gitu. Karena polisi lebih tahu daripada kita, gitu keluarga.”

red
Makam Rico Sempurna, istri, dan anaknya. Foto: LBH Medan
KBR


Pemakaman

Esok harinya, 28 Juni 2024, jenazah empat keluarga Eva dimakamkan.

Sejumlah sanak saudara datang ke pemakaman. Termasuk teman-teman adiknya dari sekolah dasar, berseragam putih merah.

Pagi-pagi itu yang dikubur dulu anakku,"

Eva bersimpuh di dekat liang lahat keluarganya. Ia memakai kaus hitam lengan panjang, kerudung oranye, dan kain adat yang dibalutkan di pinggang.

Air matanya terus tumpah. Matanya sembap. Wajahnya terlihat putus asa. Eva hanya bisa pasrah, meski tak terima fakta. 

Ingat Ibu

Eva mengingat kali terakhir ia bertemu sang ibu.

Ibunya datang ke warung kopi, tempat usahanya. Modalnya dari hasil menabung selama bekerja dua tahun sebagai operator judi ikan-ikan di salah satu warung di Jalan Kapten Bom Ginting.

Lapak judi itu diduga milik prajurit TNI, Kopral Satu (Koptu) Herman Bukit (HB), anggota Yonif 125 Simbisa. Lokasinya tak jauh dari rumah Eva, sekitar 350-an meter. 

“Jadi, mamak itu minta tolong bantu dia untuk kayak beli daging di kampung mamaknya, ke kampung nenekku, gitulah,

Uang itu akan dipakai ibunya untuk Pesta Tahunan, acara adat Batak, semacam syukuran merayakan hasil panen. Tuan rumah bakal menjamu siapa saja yang datang untuk makan dan minum, gratis.

Hadiah Adik dan Biaya Anak

Eva juga mengumpulkan uang demi memenuhi permintaan adiknya, remaja 12 tahun yang di bulan itu berulang tahun.

“Tablet adikku aku dapat pesan dari TikTok,”

“Biaya anakku lagi, itu sudah ada semua. Aku pegang ini,”

27 Juni 2024, dini hari, Eva pulang ke indekos selepas kerja. Berharap bisa beristirahat melepas penat, sembari menunggu hari terang. Paginya, ia berencana pulang ke rumah.

Namun, Eva tak bisa tidur, bukan kantuk yang menyerang, tapi rasa panas di badan.

“Kaban Jahe dingin, loh kok panas, mungkin itu tanda-tandanya kata keluargaku setelah aku cerita, loh, kok panas ini, sampai aku ambil kipas kecik (kecil), kok sesak panas, sampai sejam aku bergulat dengan panas-panas itu,”

Eva tak sempat menyerahkan uang untuk ibunya, tablet untuk adiknya, juga membiayai tumbuh kembang buah hatinya. Karena semuanya telah tiada, tanpa sempat mengucap kata pisah.

red
Petugas Labfor Polda Sumut mengambil sampel sisa pembakaran di rumah Rico-Foto: tribratanews.sumut.polri.go.id
KBR

Dugaan Rekayasa?

Selang beberapa hari setelah pemakaman, saat duka masih bergelayut, Eva harus datang ke Polres Tanah Karo, menghadapi penyelidik yang menanyakan soal peristiwa kebakaran yang menewaskan keluarganya.

“Itu yang aku dimintai keterangan sendiri, enggak bareng Om. Aku di-BAP, itulah yang ditanyain, enggak jelas,”

Proses BAP ini bikin Eva jengah. Ia merasa digiring agar mengamini bahwa kebakaran bersumber dari kompor gas.

“Dia ngarahin ini kayak ngotot gitu, kayak ini kebakaran murni. Mau kayak mana kau buat kalau kami sudah mengkaji ini gini, gitu. (Siapa itu?) Rasmaju (Kasatreskrim Polres Tanah Karo). Sabarlah namanya juga musibah,” tutur Eva mengulang proses BAP.

Esok harinya, Eva meluapkan kekesalannya ke sejumlah wartawan, teman mendiang sang ayah, Rico Sempurna Pasaribu, yang datang mewawancarainya soal proses BAP.

“Aku merasa tertekan, enggak suka aku,”

Omongan Eva langsung viral. Tak lama berselang, Polda Sumatra Utara datang. Ada harapan polisi bakal mengusut kasus ini, pikirnya.

Namun, asa pupus seketika.

Jajaran polda hanya mampir menyerahkan bantuan, kemudian langsung balik arah.

“Dan larilah aku keluar kujumpain si Poldanya, ‘Pak tolong saya Pak, tolong saya, bisa enggak kita bicara empat mata? Banyak nih kejanggalan-kejanggalan, ini enggak kebakaran murni, Pak’,”

Eva merasa aneh, mayat empat keluarganya ditemukan berdekatan di satu titik. Seolah tak ada usaha menyelamatkan diri. Padahal, rumahnya terbuat dari papan kayu, mudah dijebol jika terbakar.

Tak mungkin mereka semua pulas tertidur saat kejadian. Eva paham betul ibunya sensitif terhadap suara dan pergerakan. Ia pasti terbangun bila mendengar benda terbakar atau mencium bau asap.

“Aku tahu sifat Mamaku itu gimana, dia enggak pernah masak malam (hari),”

Desakan Eva berbuah hasil. Selang beberapa hari, datang kabar dari Kasatreskrim Polres Tanah Karo, Rasmaju Tarigan. Katanya, Polda Sumut ingin berbicara empat mata dengan Eva soal kasus kebakaran itu.

Asa kembali menyala … tetapi tak lama …

“Rupanya enggak, enggak ketemu sama polda. Dia ngasih ke ajudannya, 'ngomong sama aku saja, poldanya lagi sibuk, tetapi, poldanya butuh juga apa penjelasan yang akan kamu kasih tahu',”

red
Rumah plus kedai Rico sebelum dibakar. Foto: LBH Medan
KBR

Titik Terang

Eva mulai putus asa, merasa buntu, karena tak paham hukum. Kasus masih gelap, padahal pemberitaan di media sudah gencar.

“Sampai keluargaku bilang, ‘jangan kau sembarangan ngomong sama orang nanti kita bisa dipidana kalau enggak benar’. Keluargaku takut-takut,”

Rasa gentar pun menyelisip. CCTV rumahnya tiba-

tiba rusak. Ia jadi gampang curiga saat berjumpa orang baru.

Sampai akhirnya Eva bertemu Anugerah, perwakilan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), yang sempat ia kira intel.

“Langsung lah aku sejadi-jadinya semua apa yang aku tahu kulampiaskan saja ke dia,"

Sengaja Dibakar

Kecurigaan Eva bahwa empat keluarganya mati dibakar selaras dengan hasil penyelidikan KKJ. Total ada 11 kejanggalan yang ditemukan, kata koordinator KKJ, Erick Tanjung.

“Kesengajaan untuk dibakar, ya, untuk membunuh Rico Sempurna Pasaribu, dan kita menemukan sehari sebelumnya ada berita-berita Rico Sempurna Pasaribu di Tribrata TV dan di postingan dia juga di akun Facebook-nya, tentang ada lapak judi yang dimiliki prajurit Angkatan Darat berinisial Koptu HB,”

Rico, ternyata sempat menghubungi Kasatreskrim Tanah Karo, Rasmaju Tarigan, meminta perlindungan, karena merasa terancam oleh Kopral Satu Herman Bukit Koptu HB, anggota Yonif 125 Simibisa.

Sebab, Rico menulis beberapa artikel di Tribrata TV, tentang judi ikan-ikan yang diduga dikelola Koptu HB, pada 21, 22, 23, dan 26 Juni 2024. Permintaan itu tak direspons.

“Dia (Rico) bertemu dengan Koptu HB dan sempat ada muncul percakapan bahwa Koptu HB minta untuk berita yang dia posting di akun pribadinya, dan berita yang terbit itu juga agar diturunkan, agar di-takedown,”

Di 26 Juni itu juga, Rico mengunggah status di Facebook yang berbunyi: “Kurang biaya operasionalkah Batalion 125 Simbisa sehingga anggotanya harus membuka lapak perjudian?”

27 Juni dini hari, kebakaran terjadi.

red
Kopral Satu Herman Bukit (Koptu HB) menghadiri persidangan pembunuhan berencana Rico Sempurna sekeluarga di PN Kabanjahe. Foto: Tangkapan layar YouTube Tribun Medan
KBR

Beragam Kejanggalan

Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) juga mencatat kejanggalan di pemeriksaan saksi bernama Anderson Sembiring atau Econ, teman Rico sesama wartawan lokal. Dia adalah orang terakhir yang bersama Rico, mengantar Rico pulang, dan memastikan kawannya itu masuk ke rumah, sebelum memacu mobilnya.

Telepon genggam Econ sempat disita penyelidik Satreskrim Polres Tanah Karo. Setelah dikembalikan, ia mendapati ada pesan teks dari Bebas Ginting alias Bulang dihapus

Bulang, residivis kasus pembunuhan 1982 juga dikenal sebagai tangan kanan Koptu HB. Ia bertugas mengamankan lapak judi dari LSM atau wartawan. Malam sebelum kejadian, Bulang sempat menelepon Econ untuk menanyakan keberadaan Rico. Saat itu, Econ menjawab telah mengantarkan Rico ke rumahnya.

Tersangka Diringkus

Juli 2024, Polda Sumut meringkus tiga tersangka: Bulang, Yunus Syahputra Tarigan, dan Rudi Apri Sembiring. Bulang disangka memerintahkan Yunus dan Rudi, membakar rumah Rico dengan upah masing-masing Rp1 juta.

Ketiganya diadili, divonis bersalah melakukan pembunuhan berencana yang sadis, kejam, dan keji. Hukumannya penjara seumur hidup.

Nama Koptu HB selalu muncul sejak penyelidikan, rekontruksi, hingga pengadilan. Termasuk dalam persidangan 16 Desember 2024 di Pengadilan Negeri Kabanjahe.

Setelah dua kali mangkir, Kopral Satu Herman Bukit akhirnya bersaksi pada 24 Februari 2025. Mengenakan seragam loreng lengkap. Sejumlah tentara juga tampak di ruangan sebagai pengunjung sidang.

Dia membantah terlibat pembakaran rumah Rico, meski membenarkan pernah bertemu dan menelepon Rico terkait berita yang menyebut namanya sebagai pengelola lapak judi.

red
Info grafis kekerasan jurnalis di Indonesia berdasarkan data AJI Indonesia. KBR/Raihan
KBR


“Dia berbohong itu," kata Eva.

Eva juga menampik ucapan Koptu HB yang mengklaim hanya kenal Eva via media sosial. 

Koptu HB, kata Eva, adalah bos lapak judi ikan-ikan. Eva bekerja di sana sebagai operator. Mereka bahkan pernah berbincang di tempat perjudian. Eva menirukan percakapan kala itu.

“Heran saja aku, Bapakmu wartawan kok kau kerja gini?’ Dia (HB) bertanya juga. Sampai lama itu kami berbicara. dia datang ke mesin aku,”

Eva bekerja di lapak judi Koptu HB selama dua tahunan. Digaji Rp250 ribu per hari selama 12 jam. Eva bilang, bisnis judi Koptu HB bisa menghasilkan ratusan juta rupiah per malam. Bisnis judi inilah yang juga ditulis Rico dalam artikelnya. Eva yakin Koptu HB terlibat. Karenanya, ia tak terima bekas bosnya itu melenggang tanpa proses pengadilan.

Mengadu ke Berbagai Lembaga

Juli 2025, Eva terbang ke Jakarta, menyambangi Puspom TNI AD, menuntut keterlibatan Koptu HB diusut. Ia juga mengadu ke DPR, Komnas HAM, hingga KPAI meminta dukungan agar keadilan ditegakkan.

KBR telah berupaya menghubungi juru bicara TNI Kristomei Sianturi untuk meminta tanggapan, tetapi tak dijawab hingga berita naik siar.

Kuasa hukum Eva dari LBH Medan, Irvan Saputra menyebut tak sulit sebenarnya mengungkap dalang kasus ini.

“Maukah penyidik, dalam hal ini pomdam dan danpuspom, untuk mengungkap ini? Kami berpikir tidak begitu sulit mengungkap ini. Kalau secara keilmuan tentang pembunuhan berencana, yang kita pahami secara ilmu dan hukum, butuh waktu 3x24 jam untuk mengetahui siapa pelaku pembunuhan. Tetapi, ini hampir setahun.”

Kekerasan oleh TNI

Ini bukan hanya tentang Rico dan keluarganya, tetapi juga menyangkut keamanan dan keselamatan jurnalis sebagai pilar demokrasi.

Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Erick Tanjung bilang, data lembaganya menunjukkan, angka kasus kekerasan TNI terhadap insan pers meningkat beberapa tahun terakhir.

“Biasanya tiap tahun pelaku kekerasan terhadap jurnalis ini rata-rata paling banyak itu polisi. Dan tiap tahun kalau dari TNI itu paling cuma 1-2 kasus atau paling banyak 3 kasus, ya, dalam setahun. Kalau di 5 tahun terakhir, ya, tetapi dalam 1-2 tahun ini trennya naik aktor pelaku dari TNI ini,”

red
Eva Meliani (baju merah paling kanan) didamping LBH Medan dan sejumlah lembaga HAM usai konpers setahun pembunuhan Rico di kantor KPAI, Jakarta. Foto: KBR/Astri Yuana Sari
KBR


Harapan Eva

KKJ mendukung perjuangan Eva, anak Rico, menuntut keadilan atas kematian ayah, ibu, adik dan anak semata wayangnya. Kegigihannya diapresiasi. Andai Eva pasrah saja dari awal, bisa jadi kasus ini terkubur bersama jasad keluarganya.

“Semoga di perjuangan ini akan membuahkan hasil. Keluarga juga berharap agar segera selesai diusut tuntas. Agar kami pihak keluarga juga tidak bertanya-tanya lagi. Agar kami pihak keluarga merasa tenang dengan adanya seperti kejelasan.”

Meski Eva tahu, upayanya menuntut keadilan atas kematian orang-orang ia cintai itu tak mudah.

“Dan seluruh Tanah Karo itu tahu, bahwa dia (Koptu HB) itu pemiliknya. Bahkan adalah bos-bos baru, misalnya abang, mau buka mesin (ikan-ikan), mau buka juga, saya mau taruh di lokasi sini, kita harus konfirmasinya ke si Koptu HB ini. Saking berpengaruhnya dia di sana tentang perjudian itu,"

Baca juga:

Rico Sempurna Pasaribu
TNI AD
Eva Meliani Pasaribu
Jurnalis
Tribrata TV
Judi
Perjudian

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...