NASIONAL
Camping di Seberang DPR, Bentuk Protes yang Dibungkam dengan Alasan Estetika
Di tengah klaim kebebasan berekspresi, warga yang melakukan unjuk rasa dengan damai justru dianggap perusak pemandangan dan ditertibkan atas nama estetika.

KBR, Jakarta - Aksi damai "Camping Bareng Warga" di sekitar Gedung DPR RI, dibubarkan paksa oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta, Rabu (9/4/2025) sore. Salah satu peserta aksi berinisial R menuturkan, pembubaran dilakukan tanpa dasar yang jelas.
Menurut R, sekitar pukul 15.30 WIB, puluhan personel Satpol PP bergerak menuju lokasi aksi di seberang Gerbang Pancasila Gedung DPR.
Sekitar 30 menit kemudian, mereka mulai menyerukan agar peserta bubar dan membongkar tenda yang sudah didirikan.
R menilai alasan yang disampaikan Satpol PP sangat janggal.
"Yang kami bingung adalah alasannya estetika. Mereka mempersoalkan tenda yang berdiri. Terus mereka mempersoalkan kami ada di trotoar. Yang harus saya tegaskan di sini, bukan kami yang menginginkan menenda di trotoar. Tapi kami dipaksa oleh Pamdal DPR untuk bertenda di trotoar. Awalnya kami ingin bertenda di pagar belakang, di depan pagarnya, di gerbang," kata R kepada KBR, Rabu (9/4/2025) sore.
R mengatakan pembubaran berlangsung tanpa ada negosiasi dan dialog.
"Kami sudah berusaha negosiasi. Di sela-sela negosiasi dari alat komunikasinya HT terdengar 'tidak ada negosiasi dan argumentasi'. Dari situ kami beranggapan bahwa negara tidak bisa melindungi hak kami untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Itu sih yang terjadi. Beberapa tenda diamankan. Ada represi juga terhadap teman-teman yang ikut berkemah hari ini," imbuhnya.
Lelaki 27 tahun itu menyebut, peserta aksi hanya meminta hak konstitusional mereka untuk menyampaikan pendapat di muka umum dihormati dan dilindungi.
"Negara harus melindungi itu. Sekelas Satpol PP pun juga harus paham itu adalah hak kami. Kalau kami tidak boleh di fasum-fasos (fasilitas umum dan fasilitas sosial), maka kami harus di mana? Harus dikasih tempatnya, nah itu yang kami minta. Yang kedua karena yang meminta kami ke sini adalah Pamdal, kami minta untuk koordinasi atau negosiasi untuk menghadirkan Pamdal ke sini. Tapi mereka tidak mau," kata dia.
R menyayangkan adanya keterlibatan polisi dalam pembubaran tersebut.
Dari pantauan KBR Media, setelah aksi dibubarkan terlihat puluhan polisi berjaga di sekitar lokasi.
"Polisi hanya melihat, argumentasi dari Satpol PP adalah kalau di fasum-fasos adalah ranahnya Satpol PP. Tapi kenapa ada polisi? Itu saya juga kurang tahu. Apakah bentuk soil force atau tidak," kata dia.
Meski aksi kamping seberang DPR dibubarkan, R menegaskan gerakan ini akan terus berlanjut.
"Yang jelas, aksi atau camping piknik melawan, kami akan tetap berlangsung di titik-titik perlawanan lainnya. Nanti untuk selanjutnya kami melakukan camping di mana, itu akan ada di sosial media secepatnya," ujarnya.

Peserta kamping lainnya, AW, mengatakan aksi ini merupakan saluran untuk menyuarakan protes terhadap kebijakan negara.
"Dan disajikan secara menarik dan lebih mudah dimengerti untuk anak muda. Ini jadi media yang bisa menyalurkan kekhawatiran saya terhadap kondisi negara saat ini secara positif, apa yang bisa saya bantu di level personal. Kecil, tapi kan ini karena kolektif Bareng Warga ya namanya. Dari kecil-kecil bareng-bareng bisa jalan seperti ini," tuturnya.
Aksi berkemah ini merupakan lanjutan dari gerakan demo Indonesia Gelap yang memprotes pengesahan revisi Undang-Undang TNI. Awalnya, tenda didirikan di depan gerbang belakang kompleks Parlemen DPR, sejak Senin (7/4/2025) pagi.
Namun sehari berselang, Pamdal DPR memaksa peserta aksi pindah ke seberang jalan, tepatnya di trotoar Jalan Gelora.
Baca juga:
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menduga, pemindahan lokasi itu disengaja supaya aksi bisa dibubarkan.
"Saya membayangkan memang skenarionya seperti itu. Karena mungkin kalau mau ditangkep atau dibubarkan dengan paksa, kalau masih di wilayah DPR, kan memang pengaman dalam itu Pamdalnya DPR enggak punya wewenang sampai situ. Tapi kalau dia sudah ditaruh di wilayah publik, yang jadi wilayah kekuasaannya Satpol PP dan polisi, jadinya mereka jadi seakan-akan punya kewenangan untuk membubarkan," kata Bivitri kepada KBR, Kamis (10/4/2025).
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera itu menilai ada pelanggaran terhadap hak konstitusional warga untuk berekspresi di ruang publik.
Menurutnya dalih apapun yang disampaikan oleh aparat untuk membubarkan aksi damai tersebut, merupakan bentuk ketidakmauan pemerintah menerima kritik dari masyarakat.
"Karena selama ini klaimnya para pejabat kan kalau demo harus santun segala macam. Kan sebenarnya teman-teman Bareng Warga itu sengaja kan ngeledek itu, untuk bilang bahwa ini kita sudah santun nih, ternyata masih dibubarin juga. Sebenarnya itu membuktikan bahwa soalnya bukan pada cara menyampaikan pendapat, tapi memang mereka memang tidak suka dengan kritik," kata dia.
Bivitri mengatakan Satpol PP tidak berhak membubarkan unjuk rasa damai tersebut.
Dalih ada pelanggaran Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum dengan alasan estetika, dinilai tidak cukup kuat secara hukum.
"Karena kan itu kan cuma Perda ya. Kita harus lihat undang-undang, kan levelnya kan lebih tinggi undang-undang. Nah, dalam undang-undang itu ada undang-undang tentang kebebasan menyatakan pendapat di muka umum dan juga di konstitusi. Nah, sebenarnya kan kemah-kemah itu bukan orang kemah iseng, tapi sedang menyatakan pendapat. Jadi sebenarnya mereka enggak berhak untuk membubarkan sebuah, itu kan sebenarnya unjuk rasa ya, cuma bentuknya saja berbeda. Jadi unjuk rasa itu enggak boleh dibubarin berdasarkan ketertiban umum seperti yang mereka bayangkan oleh Satpol PP, itu enggak boleh seharusnya," imbuhnya.
Bagi Bivitri, peristiwa ini menjadi cermin buram demokrasi saat ini. Di tengah klaim kebebasan berekspresi, warga yang berunjuk rasa dengan damai justru dianggap perusak pemandangan dan ditertibkan atas nama estetika.
Janji Evaluasi
Ketua Bidang Komunikasi Sosial Staf Khusus Gubernur Jakarta, Chico Hakim, meminta maaf atas insiden pembubaran tersebut.
"Atas nama Gubernur kami mohon maaf atas kejadian ini. Gubernur telah mengevaluasi, menegur jajaran pimpinan terkait, dan berkomitmen agar aparat Pemprov memperbaiki cara penanganan dan mengedepankan dialog. Terkait cara-cara penanganan yang di luar prosedur akan dipastikan ada sanksi," kata Chico melalui unggahan media sosial X, Kamis (10/4/2025).
Sementara itu melalui keterangan tertulis, Kepala Satpol PP Jakarta Satriadi Gunawan juga menyampaikan permohonan maaf.
Dia berjanji akan mengedepankan pendekatan dialog dalam menangani aksi demonstrasi di masa mendatang.
"Kami menyampaikan permohonan maaf atas peristiwa yang terjadi dalam aksi di DPR pada Rabu sore. Kami akan lebih mengedepankan dialog untuk menangani situasi serupa," ujarnya, Kamis (10/4/2025).
Satriadi juga berjanji Satpol PP akan terus memastikan aspirasi masyarakat tersampaikan tanpa menimbulkan gesekan.
"Pendekatan humanis dan komunikatif akan kami jadikan standar dalam setiap pengamanan. Kami ingin memastikan bahwa hak menyampaikan pendapat di muka umum tetap terjaga, sejalan dengan ketertiban umum dan kenyamanan masyarakat luas," tambahnya.
Baca juga:
- Mengapa Revisi UU TNI Mengancam Demokrasi?
- Batalkan Revisi UU TNI: Berharap Perpu dari Prabowo Atau Gugat ke MK?
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!