NASIONAL

Budiman Sudjatmiko soal Pemecatan, Penculikan, Prabowo, hingga Keputusan Bu Mega Menunjuk Ganjar

"Pak Prabowo itu adalah pemimpin yang menurut saya dari ketiganya, kekuatan utamanya adalah pada strategic thinking, pemikiran strategic."

AUTHOR / Sindu

Budiman Sudjatmiko soal Pemecatan, Penculikan Aktivis, Prabowo, hingga Keputusan Bu Mega Menunjuk Ga
Bekas politisi PDI-P, Budiman Sudjatmiko. (Foto: Muh Ridlo Susanto/KBR)

KBR, Jakarta- Redaksi KBR   mewawancarai bekas Politisi PDI Perjuangan Budiman Sudjatmiko, terkait   pemecatannya, penculikan aktivis, dukungan terhadap Prabowo, rencana setelah dipecat, dan soal keputusan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri yang ia nilai salah telah menunjuk Ganjar sebagai bakal calon presiden 2024. 

Berikut wawancara Budiman dengan KBR yang dilakukan di kawasan Jakarta Selatan, Kamis, 31 Agustus 2023.

KBR: Apa saja indikator yang membuat Mas Budi berkesimpulan dan memutuskan untuk mendukung Pak Prabowo? Indikatornya apa saja?

Budiman Sudjatmiko (Budiman): Indikatornya adalah  Pak Prabowo itu adalah pemimpin yang menurut saya dari ketiganya, kekuatan utamanya adalah pada strategic thinking, pemikiran strategic. Punya beberapa pandangan yang menurut saya pas untuk sebuah Indonesia yang melanjutkan kepemimpinan yang sudah strategic pula, yang sudah diletakkan oleh Pak Jokowi pada periode keduanya, 2019-2024.

Karena itu pendekatan pemimpin yang menyerupai seperti Pak Jokowi 2014 itu sudah enggak relevan. Itu perdekatan populistik sudah enggak relevan. Perdekatan populistik itu kan perdekatan di mana pemimpin turun ke bawah mendekati rakyat. Tugas pemimpin ke depan bukan pemimpin turun ke bawah rakyat, tapi sama-sama mengangkat rakyat dari bawah ke atas. Baik itu sumber daya manusianya, kesejahteraannya, kebudayaan dan peradabannya, begitu.

KBR: Itu indikator utama atau ada variabel lain?

Budiman: Itu indikator utama, itu indikator utama. Itu ada, bukan utama, itu satu-satunya. Satu-satunya saya yakini bahwa setiap jenis kepemimpinan itu berbeda. Kenapa Pak Jokowi dulu tahun 2014 dengan pendekatan blusukan yang populistik gitu, tepat? Karena kalau lihat dalam sebuah sejarah, saya pelajari, pemimpin populis itu dibutuhkan dalam sebuah negara yang baru runtuh dari otoritarianisme. Atau pemimpin populis itu dibutuhkan di sebuah negara demokratis yang baru saja mengakhiri kepengimpinannya yang elitis, maka dibutuhkan.

Ketika kekuasaan cukup berjarak dalam era demokrasi, maka dibutuhkan pemimpin yang bekerja, yang belusuk, menyapa rakyat. Pemimpin adalah kita, makanya menuju ke atas. Jokowi adalah kita, karena pemimpin menuju ke atas blusukan. Karena Pak Jokowi ingin kembali membagikan kepercayaan pada pemimpin. Pada politik, pada negara. Eh, negara itu hadir loh. Negara hadir, blusukan. Itu kan, Jokowi adalah kita, itu kan menunjukkan bahwa negara hadir di tengah rakyat. Blusukan menuju rakyat. Jokowi adalah kita, Jokowi adalah bersamanya. 

Itu pendekatan populis dan tepat. Karena, pada 2019, pemilih Pak SBY, ya memang, dalam pandangan banyak orang, suka enggak suka, itu elitis. Pak Jokowi juga sadar, bahwa populisme itu enggak boleh dilama-lama, tugas pemimpin rakyat bukanlah nongkrong bersama rakyat di bawah. Enggak!  Tugas pemimpin setelah itu adalah ngangkat rakyat bareng-bareng. Bareng-bareng ya! Itu menunjukkan progresifnya itu di situ.

KBR: Menurut Mas Budiman ini momen tepat bagi Pak Prabowo untuk maju dan menggeser populisme tadi?

Budiman: Momen tepat untuk pemimpin strategis. Bukan menghilangkan kerakyatannya. Bukan menghilangkan kerakyatannya, tidak. Kerakyatannya ada. Tapi, bentuknya bukan rakyat dibiarkan biasa saja, kalau sudah jadi pemimpin.

Rakyatnya dibikin lebih makmur. Rakyatnya dibikin lebih terbuka pada orang, pengetahuan. Rakyatnya dibikin lebih terbuka wawasannya. Bahwa hidup mereka sehari-hari tidak terlepas dari dinamika politik nasional. Bahwa dinamika politik nasional sehari-hari tidak terlepas dari dinamika politik global. Termasuk konflik-konfliknya. Bahwa apa yang terjadi dalam perang Rusia dan Ukraina itu akan memengaruhi krisis pangan ke depan. Misalnya seperti itu. 

Ini sesuatu yang pernah dicoba oleh Bung Karno zaman dulu. Ketika dia pidato sama rakyat, dia bicara tentang Non-Blok. Dia bicara tentang Asia-Afrika. Rakyat sudah mengerti apa yang terjadi di dunia. Rakyat tahu apa yang terjadi di Afrika. Rakyat desa lho. Rakyat tahu apa yang terjadi di revolusi Kuba. Karena dia populis,  strategis Bung Karno.

KBR: Itu ada di figur...?

Budiman: Tidak sama. Tidak sama bukan copy paste. Tetapi setidaknya, dari ketiga pemimpin (Anies, Ganjar, Prabowo, red) ini, Pak Prabowo yang paling mendekati.

Konsekuensi

KBR: Mas Budiman, Anda sadar dengan konsekuensi yang bakal dijatuhkan oleh partai (PDI-P) ketika sikap itu disuarakan?

Budiman: Saya sadar. Saya sadar. Tapi, bagi saya, kebutuhan Indonesia, atas kepentingan strategi itu lebih penting daripada status politik saya.

KBR: Jadi, itu kemarin adalah sikap yang terukur?

Budiman: Terukur!

KBR: Meskipun PDI-P adalah partai yang dari PRD kemudian Mas Budiman ke PDIP. Cukup lama. Ada 2 periode masa.

Budiman: 19 tahun, 19 tahun (di PDI-P)!.

KBR: Bagaimana, pertimbangan-pertimbangan apa sih yang kemudian memutuskan dengan waktu yang cukup lama itu? Ada kesimpulan bahwa Mas Budiman harus mengambil sikap. Meskipun itu konsekuensinya adalah pindah atau dipecat dari partai?

Budiman: Ya, saya sudah saya katakan tadi. Bagi saya berpolitik untuk Indonesia, artinya saya ingin hidup dalam sebuah negara yang sistemnya, keadaanya, seperti apa yang saya yakin dan saya akan berjuang untuk itu. Bahkan meskipun itu mengambil risiko. Itu sikap saya dari dulu. Sikap saya dari dulu. Saya tidak segan untuk mengorbankan diri untuk sesuatu yang saya yakini tepat, begitu, sesuai dengan zaman.

KBR: Bagaimana kemudian dengan relasi yang Mas Budiman bangun di internal partai atau di kalangan PDIP?

Budiman: Secara individu biasa-biasa saja. Banyak yang masih biasa-biasa saja. Masih oke, tidak banyak perubahan. Masih saling menyapa. Kenapa kita harus menganggap bahwa perbedaan politik harus menjadi permusuhan individu? Kan tidak perlu juga.

Pragmatisme

KBR: Mas Budiman, kemudian ada juga yang mengatakan bahwa ada sisi pragmatisme di balik sikap deklarasi kemarin. Bagaimana?

Budiman: Misalnya?

KBR: Katakanlah dalam tanda petik ada tawaran kemudian untuk menjadi menteri dan sebagainya?

Budiman: Kita bicara jabatan, tidak ada. Kita tidak ada bicara jabatan. Saya enggak ngomong harus jadi ini. Enggak ada. Enggak ada.

KBR: Jadi enggak ada?

Budiman: Ngomong jabatan enggak. Saya nagih jabatan tidak, sebagai prasyarat, enggak ada. Saya akan enggak dukung kalau dapat ini. Enggak ada!

KBR: Komitmen apa sih yang Mas Budiman dan Pak Prabowo ini sepakati ketika deklarasi itu disampaikan?

Budiman: Komitmen, komitmen saya ingin Indonesia ini ini seperti yang menjadi bahan diskusi kami berdua. Kami berbicara banyak hal. Kami berbicara tentang geopolitik. Kami berbicara tentang antisipasi kalau menjadi perang. Kami berbicara soal bagaimana posisi Indonesia di BRICS. Bagaimana menghadapi unipolarisme dan multipolarisme Kami berbicara tentang koperasi. Kami berbicara tentang desa. Kami berbicara tentang pembangun SDM. Kami berbicara tentang kemajuan teknologi. Kita berbicara itu semua. Dan itu adalah konsen-konsen saya.

Baca juga:

Penculikan

KBR: Mas Budiman, kemudian ini juga mau enggak mau sedikit membangkitkan luka masa lalu tentang penculikan?

Budiman: Tidak, tanpa ada inipun ada orang-orang yang selalu membawa isu ini 5 tahun sekali.

KBR: Nah, kemudian bagaimana?

Budiman: Tidak, tanpa suara ini pun itu akan diangkat. Dan tidak pernah diselesaikan.

KBR: Mas Budiman, tapi kan Mas Budiman sendiri dari dulu adalah korban?

Budiman: Ini enggak, saya jujur mengatakan, saya mengatakan setop menjadi kaya ini komoditas. Justru saya ingin mengatakan setop menjadikan ini komoditas. Kalian enggak selesaikan juga sih. Dan itu adalah amanat dari beberapa orang yang diculik. Untuk ngomong, agar hentikan masalah kami itu menjadi komoditas politik lima tahun sekali. Kami ini bukan lukisan yang mau ditaruh di sebuah ruangan kotor. Kami ingin jadi sapu. Kami ingin menyelesaikan masalah-masalah, bukan dijadikan pajangan di dinding... (tidak jelas). Tapi, ruangannya kita dibiarkan kotor. Enggak diapa-apain juga kan?

KBR: Tapi, secara pribadi atau mungkin sebagai korban juga...

Budiman: Enggak. Saya, semua aktivis yang pernah ikut ditahan enggak mau dijadikan komoditas politik, oleh politisi-politisi yang juga enggak pernah bicara menyelesaikan soal-soal ini. Tapi, hanya ngomongin lima tahun sekali itu udah setop.

KBR: Tapi, apakah ini nanti bisa menjawab teka-teki atau keruwetan masalah ini?

Budiman: Teka-teki jelas bahwa tidak ada konsistensi antara menggunakan isu ini untuk menyerang lawan politiknya, dengan menyelesaikan, enggak ada konsistensi itu.

KBR: Kalau kita kembali ke substansi awal, Mas Budiman, inikan masih misteri, ada teman-teman yang masih belum kembali?

Budiman: Bagi kami yang lebih misteri adalah kenapa orang-orang itu menjadikan ini sebagai komoditas  politik. Itu bagi kami misteri. Bagi kami sih sudah enggak jadi misteri. Ya kita sendiri buka kepada orang. Ini loh masalahnya. Enggak ada konsistensi juga.

KBR: Tapi, terlepas dari itu, ini adalah fakta. Ada orang yang hilang waktu itu.

Budiman: Oh, iya. Kita selesaikan. Dan kita bicara, Pak Prabowo sudah bicara minta maaf, Pak Jokowi sudah bicara Perpres Pelanggaran HAM, yang menyelesaikan masalah HAM, tanpa harus ke pengadilan. Pak Prabowo juga nyatanya tidak pernah diadili juga sih. Dan nyatanya beliau jadi cawapresnya Bu Megawati tahun 2009. Dia pernah mengajukan di KPU, mendaftar di KPU jadi calon wakil presiden. Tidak dibatalkan. Tidak dicoret pencalonannya. Itu fakta enggak?

KBR: Mas Budiman, oke itu fakta. Tapi, bagaimana kemudian ini agar tidak menjadikan satu komoditas setiap lima tahun.

Budiman: Ya, diselesaikan!

KBR: Apakah itu bagian dari komitmen atau ada dorongan lain yang disampaikan oleh Pak Budiman?

Budiman: Ada yang saya sampaikan ke beliau. Tapi mungkin belum bisa saya ungkap. Bahwa satu saat memang harus diselesaikan. Mungkin belum bisa saya ungkap. Tapi, intinya beliau sudah minta maaf. Bukan di depan publik, di panggung, di Semarang.

Siap Dipanggil Komnas HAM

KBR: Mas Budiman, mungkin terakhir juga. Kemarin (30 Agustus) adalah Hari Antipenghilangan Paksa Internasional. Beberapa teman-teman, koalisi masyarakat sipil termasuk ada Al-Araf di sana. Menyampaikan atau mendorong Komnas HAM untuk ikut memanggil Mas Budiman dalam konteks kasus penghilangan paksa. Karena Mas Budiman pernah menyebut bahwa, entah persisnya kapan... Tapi, pernah menyebut bahwa mereka yang diculik sudah dikembalikan. Bagaimana menyikapi perkembangan itu?

Budiman: Tidak ada masalah. Saya kan bukan korban yang diculik. Saya mendengar dari orang-orang yang diculik. Saya mendengar dari Nezar, dari almarhum Rahardjo Waluyo Jati.

KBR: Artinya benar mereka sudah dikembalikan atau bagaimana?

Budiman: Saya bukan pelakunya. Jangan tanya saya. Kok seolah semua problem masalah bangsa yang ditanggungkan kepada saya? Saya bukan pelakunya. Saya juga bukan korbannya. Saya mendengar dari mereka yang diculik. Bahwa mereka sudah dikembalikan.

KBR: Itu poinnya. Anda mendengar dan salah satu frasanya atau kalimatnya adalah mereka sudah dikembalikan. Apakah fakta atau informasi yang Anda dapat ketika itu dari korban-korban, memang benar seperti itu adanya?

Budiman: Kalau saya bohong, pasti korban-korban itu akan memprotes. Kenapa orang-orang mengganggap diri mereka lebih punya hak moral untuk memprotes saya padahal orang yang saya kutip namanya tidak memprotes? Berarti mereka tidak keberatan.

KBR: Artinya siap ketika nanti ini mungkin di-follow up oleh Komnas HAM, ya?

Budiman: Jangan tanya siap, saya pernah dipenjara pun siap. Apa masalahnya? Pertanyaan gini, kenapa Al-Araf merasa punya hak moral lebih dari orang yang pernah menceritakan saya? Mereka menceritakan ke saya lho. Mau dipanggil siapa? Mau dipanggil CIA pun  Oke. Siapa ayo? Siapa yang mau manggil saya, silakan panggil.

Widji Tukul

KBR: Oke, kita skip bagian itu.

Budiman: Tidak! Selesaikan dulu apa yang harus dipanggil?

KBR: Itu tadi soal bagaimana informasi tentang orang-orang yang (korban) penghilangan paksa?

Budiman: Ya, kalau mau dipanggil, panggillah saya. Walaupun saya bukan korbannya. Saya mendengar dari si korbannya langsung. Artinya korbannya yang harus dipanggil.

KBR: Seperti apa sih informasi yang Mas Budiman dengar ketika itu?

Budiman: Ya, kita sudah dilepas dari mereka, kaya gitu. Sudah dilepas, teman-teman. Ya, itu seperti itu.

KBR: Widji Tukul? Termasuk di dalamnya?

Budiman: Saya, kalau menurut Andi Arif, dia pernah buat pernyataan di Detik, bahwa dia pernah melihat Widji Tukul di Detik, coba saya lihat beritanya. Pernah melihat Widji Tukul di kawasan Megaria.

KBR: Tahun berapa persisnya?

Budiman: 2014. Pernyataan dia di Detik 2014 apa 2011 saya lupa.

KBR: Berapa korban sih Mas Budiman yang waktu itu menjelaskan ke Mas Budi tentang sejumlah fakta yang...

Budiman: Anda bisa tanya Faisol Reza, Anda bisa tanya Andi Arif, Anda bisa tanya Nezar Patria, wakil menteri Kominfo, Anda bisa tanya Mugiyanto, Anda bisa tanya Aan Rusdianto, Raharjo Waluyo Jati, orangnya sudah sudah meninggal.

KBR: Setelah deklarasi kemarin, Prabu, bagaimana teman-teman IKOHI menyikapinya? Apakah ada komunikasi lanjutan?

Budiman: Mugiyanto mengatakan, 'Saya tidak mendukungmu, tapi saya memahami langkahmu". Anda tanya Mugiyanto.

Pelabuhan Berikutnya?

KBR: Tapi, kemudian adalah teka-teki berikutnya Mas Budiman?

Budiman: Saya bukan penjawab teka-teki.

KBR: Ke mana ini Mas Budiman akan berlabuh setelah ini?

Budiman: Berlabuh gimana maksudnya? Ya, saya akan mendukung Pak Prabowo.

KBR: Kalau, katakanlah, Mas Budiman kan menyatakan bahwa ini bukan lagi zamannya politik jalanan.

Budiman: Kamu berharap, seperti apa itu?

KBR: Harus ada peran serta aktif, misal turun. Masuk di parlemen atau lembaga politik.

Budiman: Bukan sekadar politik jalanan, kritik sosial, lewat teknologi bahkan.

KBR: Ada dua partai yang mengindikasikan siap untuk menampung Anda, Gerindra dan PKB. Apakah dua ini akan jadi partai?

Budiman: Saya belum berpikir, saya belum berpikir masuk partai. Tidak lama, tidak tahu berapa lama. Sampai sekarang saya masih memutuskan untuk menjadi individu.  Saya punya kelompok teman-teman, tapi bukan partai.

Dukungan ke Prabowo dan Keraguan Atas Putusan Mega

KBR: Kalau soal dukungan Pak Prabowo ini, apakah ini cukup berdampak positif kepada Pak Prabowo?

Budiman: Tanya tim suksesnya saja. Tanya tim AI-nya saja bagaimana, apakah ada   keberdampak positif. Saya bukan Yunarto Wijaya. Budiman Sudjatmiko tidak bisa menjadi aktivis, tidak bisa menjadi politisi, tidak bisa menjadi ketua lembaga survei sekaligus. Tidak bisa menjadi saksi penculikan sekaligus. Banyak hal yang saya tidak tahu juga. Saya lakukan apa yang saya ingin, dari kaca mata saya. Tapi kalau soal itu, tanya lembaga survei saja. Apakah ada dampaknya atau tidak. Tanya timnya Pak Prabowo, apakah positif tidak. Saya kurang tahu.

KBR: Mas Budi, dengan mendukung Pak Prabowo, ini kan berlawanan dengan partai yang sebelumnya Anda diami. Berarti Anda meragukan bahwa keputusan Bu Mega atau keputusan partai secara umum untuk memilih Mas Ganjar?

Budiman: Pada kali ini, ya, saya meragukan. Tidak pada saat Pak Bu Mega mendukung Pak Jokowi. Tidak pada saat Bu Mega mendukung Pak Ahok, misalnya. Tidak juga saat Bu Mega mendukung Pak Ganjar sebagai gubernur Jawa Tengah, menurut saya itu banyak pilihan yang tepat.

KBR: Variabelnya apa itu?

Budiman: Kan, sudah saya jelaskan tadi.

KBR: Kalau untuk Ganjar?

Budiman: Ya, yang mana, yang mana untuk Pak Ganjar?

KBR: Kalau untuk keputusan PDI-P memilih Ganjar, indikatornya?

Budiman: Kan saya sudah bilang, kualifikasi tadi kurang menjadi strong point-nya Pak Ganjar.

KBR: Meskipun dengan elektabilitas yang cukup seksi? Meski itu bukan jaminan.

Budiman: Anda tidak bisa meminta seorang pilot untuk mengarahkan arah pesawat saat sedang mengalami turbulensi, berdasarkan voting penumpang-penumpangnya.


Editor: Rony Sitanggang

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!