Article Image

SAGA

Silang.id Perluas Ekosistem Inklusif bagi Tuli

"Silang mengembangkan berbagai fitur inovatif untuk memperluas akses Tuli. Mereka diganjar banyak penghargaan, di Future City Hackathon 2024."

Tangkapan layar aplikasi video relay service (VRS) yang dikembangkan silang.id. FItur ini ingin memperluas akses Tuli ke layanan publik (Foto: Ninik/KBR)

KBR, Jakarta - Di sebuah video di akun Instagram @silang.ig, terlihat seorang Tuli mengunjungi lembaga layanan publik. Ia diarahkan untuk menggunakan fitur panggilan video yang terhubung ke penerjemah bahasa isyarat. Fasilitas ini memudahkan si Tuli berkomunikasi dengan petugas layanan.

Fitur yang disebut video relay service (VRS) ini dikembangkan oleh Silang.id, perusahaan startup digital, PT Inovasi Digital Inklusi, yang dibentuk pada 2019. Bagja Prawira, seorang tuli, adalah salah satu pendirinya.

"Produknya ini mirip video call. Misalkan Tuli datang ke tempat pelayanan publik, atau ke rumah sakit, kadang-kadang kan itu jadi ada hambatan ya, karena orang dengar tidak memahami cara berkomunikasi dengan Tuli itu seperti apa. Nah, saat Tuli sudah scan barcode, yang menandakan ada VRS, nanti akan muncul juru bahasa isyarat," terang Bagja yang diterjemahkan juru bahasa isyarat, Putri Sri Hanitami.

Bagja bercerita, platform Silang.id bercita-cita memperluas aksesibilitas tuli. Awalnya dengan membuka kelas privat bahasa isyarat Indonesia (Bisindo).

"Kita memang di awal, masih tahap awareness, butuh pengenalan terlebih dahulu tentang Bisindo, itu kenapa Silang, membuka kelas bahasa isyarat. Tapi seiring berjalannya waktu, kita melihat situasi ini kurang strategis. Kenapa? Alumni setelah belajar Bisindo, mungkin dalam waktu kurun 1 bulan lebih, otomatis sepertinya akan lupa," lanjut Bagja.

Kemudian, Silang mengubah fokusnya pada pemenuhan kebutuhan Tuli.

"Kita pivot, gantinya kita fokus ke akses. Ini yang dibutuhkan teman-teman Tuli. Di satu sisi, lembaga ataupun perusahaan dan lain itu memang tidak punya waktu kan untuk belajar bahasa isyarat. Tapi Tuli butuh akses, jadi ini saling terhubung," tutur dia.

Dari sinilah lahir inovasi video relay service (VRS) untuk membantu Tuli berkomunikasi. Harapannya mereka jadi berani keluar rumah, menikmati fasilitas publik, tanpa takut dengan hambatan komunikasi.

Baca juga: Kenal Lebih Dekat dengan Juru Bahasa Isyarat

Bagja Prawira, co-founder Silang.id. (Foto: Nafisa/KBR)

Silang bekerja sama dengan sejumlah pihak untuk uji coba. Salah satunya, dengan kafe Sharelockin di Jakarta Timur.

Menurut Daniel, head store Sharelockin, selama uji coba, banyak Tuli yang datang berkunjung. Fitur VRS mempermudah mereka mengakses fasilitas di kafe.

"Mereka merasa puas dan terbantu. Mereka juga kerja di sini, berkumpul di sini, dan adanya VRS tersebut, di jam-jam kerja membantu mereka juga agar di jam crowded mereka bisa lebih mudah memesan makanan atau minuman. Jadi lebih memudahkan dan lebih simpel untuk mereka, secara komunikasi," kata Daniel.

Pemilik Sharelockin, Raras menyebut, karyawannya juga sempat dilatih cara berkomunikasi dengan Tuli.

"Pembekalan cara menghadapi teman Tuli, cara berkomunikasi dengan teman Tuli. Tapi memang dasar-dasarnya, kayak 'apa kabar', 'selamat siang', 'selamat pagi', dll. Nah, itu dikasih sama Kak Bagja. Nah, sekarang kita gunakan bahasa-bahasa isyarat apabila ada teman tuli datang ke Sharelockin," ujar Raras.

Aksesibilitas adalah salah satu dari 22 hak penyandang disabilitas yang mesti dipenuhi negara. Hak-hak itu dijamin dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Silang ingin mengingatkan tugas ini dengan mengajak kolaborasi lembaga-lembaga publik.

"Misalkan mereka dari Puslatkesda, Pusat Latihan Kesehatan Daerah, dia sudah berkolaborasi dengan Silang, memberikan layanan juru bahasa isyarat di puskesmas-puskesmas. Nanti kita minta teman-teman Tuli untuk datang. Kalau berhasil, ini bisa menjadi pilot project yang bisa di-copy ke berbagai sektor. Ini prototype-nya kita sudah ready, sudah bisa disebarluaskan," tutur Bagja.

Bagja mengakui, pemahaman pemerintah tentang kebutuhan Tuli masih minim. Ini menjadi kendala bagi Silang untuk memperluas penggunaan VRS maupun Juru Bahasa Isyarat (JBI)

"Kita mau coba memperkenalkan ke pemerintah, ini VRS yang dibutuhkan oleh teman-teman Tuli. Bahasanya itu seperti pitching. Kita pitching, ini lho VRS, tapi ya butuh ada awareness juga untuk memperkenalkannya karena nggak semua orang tuh langsung bisa memahami tentang VRS itu seperti apa, JBI itu apa," jelasnya.

Baca juga: Ring the Bell, Pendidikan Inklusif untuk Anak-Anak Tunanetra!

Peserta dari komunitas Rumpun Disabilitas mengikuti pelatihan dasar teknologi informasi dan komunikasi di Balai Besar Pengembangan SDM dan Penelitian Kominfo, Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (19/8/2024). (Foto: Hasrul/Antara)

Dunia kerja juga masih belum ramah bagi Tuli. Banyak dari mereka yang gagal di tahap wawancara, karena perusahaan atau pemberi kerja tak paham bahasa isyarat atau tak punya fasilitas JBI. Masalah ini juga ingin dijawab oleh Silang, dengan menyediakan program peningkatan kapasitas bagi para Tuli.

"Kita juga mengedukasi teman-teman Tuli untuk bisa meningkatkan kemampuan, upgrade skill. Contohnya kita ada program deaf webinar untuk bisa memberikan pelatihan kepada teman-teman Tuli, contoh, terkait dengan UI/UX, cara membuat CV, dan yang lainnya," imbuh Bagja.

Hingga kini, pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas dinilai masih jalan di tempat, menurut Wakil Ketua Komisi Nasional Disabilitas, Deka Kurniawan. Akar masalahnya ada di paradigma pemerintah.

"Dari regulasi yang dikeluarkan pemerintah, ternyata banyak gap. Yang kami sorot adalah jangan sampai berlarut-larut gap itu terjadi terus. Dan memang ternyata mereka itu bukannya enggak mau sebetulnya, kementerian/lembaga termasuk pemerintah daerah, terutama di daerah yang banyak perspektif masih kurang, karena mereka memang belum tahu," ujar Deka.

Komnas Disabilitas tak tinggal diam, dengan melakukan sejumlah advokasi. Salah satunya pembuatan SIM untuk Tuli. Sekitar seribu Tuli sudah mengantongi SIM pada akhir 2023 lalu.

"Itu contoh konkret aja. Itu kan karena kami melakukan advokasi langsung ke Kapolri, kemudian ke polda-polda, turun kita ke lapangan dan mendampingi proses pembuatan SIM bagi penyandang disabilitas," tutur Deka.

Advokasi untuk kalangan Tuli juga terkendala data yang tak sinkron. Kondisi ini mempersulit pemetaan masalah maupun pencarian solusinya.

"Karena yang dihadapi oleh kita ini kan masih sektoral. Misalnya dalam kasus pendataan antar kementerian/lembaga itu masih memiliki cara dan strategi masing-masing, padahal ini bisa disinergikan. Itu tantangan kita, makanya target kita yang paling nomor satu adalah mensinkronkan dulu itu," jelasnya.

Deka bilang, pemenuhan hak-hak Tuli maupun penyandang disabilitas secara umum, butuh kerja sama berbagai pihak. Semuanya itu dimulai dari membangun kesadaran untuk mengubah keadaan.

"Selain ke pemerintah, kami juga kepada masyarakat. Kami datang ke kegiatan-kegiatan seni, budaya, keagamaan, kami selalu bicara (soal) disabilitas. Dan kami tidak hanya bekerja sendiri, kami juga mendorong mereka untuk menjadi orang-orang yang memperjuangkan terkikisnya stigma (terhadap disabilitas)," pungkas Deka.

Penulis: Nafisa Deana   

Editor: Ninik Yuniati