NUSANTARA

Polisi Kepung dan Tangkap Petani Pakel, Kriminalisasi?

Total ada sepuluh orang yang mengepung rumah salah satu petani anggota Rukun Tani Sumberejo Pakel (RTSP) tersebut.

AUTHOR / Astry Yuana Sari, Hermawan, Sindu

EDITOR / Sindu

Polisi Kepung dan Tangkap Petani Pakel, Kriminalisasi?
Ratusan warga Pakel Banyuwangi datangi Mapolresta Banyuwangi sebagai bentuk solidaritas atas penangkapan Muhriyono, Senin, 10 Juni 2024. Foto: KBR/Hermawan

KBR, Banyuwangi- Sekelompok orang mengepung rumah Muhriyono, warga Desa Pakel, Kecamatan Licin, Banyuwangi, sekitar pukul 19.30 WIB, Minggu, 09 Juni 2024. Total ada sepuluh orang yang mengepung rumah salah satu petani anggota Rukun Tani Sumberejo Pakel (RTSP) tersebut. Lima orang lainnya merangsek masuk ke rumah. Lima belas orang itu seluruhnya berpakaian preman.

Setelah itu, Muhriyono dibawa pergi dari rumah, tanpa alasan kepada pihak keluarga. Berdasarkan rilis yang diterima KBR dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur, sekelompok Orang Tak Dikenal (OTK) itu adalah anggota Polresta Banyuwangi.

RTSP lantas mendatangi Polresta Banyuwangi untuk menuntut polisi menjelaskan status dan keberadaan Muhriyono. Namun, Polresta Banyuwangi tak memberikan informasi apa pun. Keberadaan Muhriyono baru diketahui keesokan harinya, Senin, (10/6). Ia berstatus terperiksa sebagai saksi.

Tersangka

Di hari yang sama, Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria dan Sumber Daya Alam (TeKAD GARUDA) menerima kabar status Muhriyono naik jadi tersangka, setelah ditangkap paksa.

"Terhadap kejadian ini, kami berpendapat bahwa peristiwa tersebut masuk dalam kategori pelanggaran terhadap hak atas peradilan yang adil dan menabrak aturan serta standar tentang penangkapan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), serta masuk dalam kategori penghilangan orang secara paksa dalam durasi singkat (short enforced disappearances)," bunyi rilis WALHI Jatim, seperti dikutip KBR, Selasa, (11/06).

"Berdasarkan informasi yang kami terima, penangkapan sewenang-wenang tersebut terjadi pada saat Muhriyono sedang makan malam di kediamannya sepulang dari menggarap lahan. Kami menilai, tindakan yang dialami oleh Muhriyono merupakan bentuk pelanggaran hak atas prinsip peradilan yang adil (fair trial), dan menyimpang dari kaidah penangkapan yang diatur dalam KUHAP," tulis Koalisi Masyarakat Sipil menyikapi penangkapan Muhriyono, Selasa, (11/06).

Dijerat Pasal Pengeroyokan

Direktur WALHI Jatim, Wahyu Eka menjelaskan, Muhriyono dijerat dengan Pasal 170 KUHP tentang Pengeroyokan, berdasarkan laporan dari pihak keamanan PT Bumisari. Bermula dari bentrok antara petani dan buruh perkebunan, petugas keamanan perusahaan, serta sekelompok orang diduga preman, Maret 2024.

"Sekuriti, buruh perkebunan, dan sekelompok orang yang diduga preman masuk lahan warga. Menebangi, provokasi, dan mengintimidasi. Akhirnya diadang warga, dan terjadilah bentrok. Korban dari kedua belah pihak," tutur Wahyu Eka via WhatsApp kepada KBR, Selasa, 11 Juni 2024.

Menurut Wahyu, dalam kasus tersebut warga juga melapor ke Polresta Banyuwangi. Tetapi, laporan warga lambat diproses, berbeda dengan laporan pihak perkebunan, terutama sekuriti.

Sewenang-wenang dan Menyimpang

WALHI Jatim tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil yang turut mengawal konflik agraria antara petani Pakel dan PT Bumisari. Anggota koalisi lainnya adalah Rukun Tani Sumberejo Pakel (RTSP), TeKAD GARUDA, KontraS, Walhi Nasional,YLBHI, dan LBH Surabaya. 

Mereka menyebut penangkapan oleh Polresta Banyuwangi adalah tindakan sewenang-wenang, menyimpang, dan tidak dilakukan secara proporsional hingga telah mengingkari peraturan internal kepolisian.

Dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui UU No. 12/2005 Pasal 9, disebutkan: "Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang dan tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum.

Selain itu, dalam instrumen hukum internasional HAM PBB juga menjamin setiap orang berhak atas kemerdekaan dan berhak untuk bebas dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang oleh negara.

Koalisi menguraikan kesalahan prosedur penangkapan itu menjadi tiga hal:

- Pertama, proses penangkapan dilakukan tidak sesuai prosedur hukum dan melanggar prinsip HAM, karena tidak disertai surat sebagaimana telah diatur dalam Pasal 19 ayat (2) KUHAP. Penangkapan Muhriyono juga menyalahi dan menghilangkan prosedur pemanggilan saksi.

- Kedua, penangkapan sewenang-wenang tidak sesuai prinsip profesionalisme Polri sebagaimana Peraturan Kapolri No 12/2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana, Pasal 34 ayat (2), dan Pasal 66 ayat (2), serta Pasal 7, Peraturan Kapolri No 07/2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

- Ketiga, Koalisi menilai polisi telah bertindak berlebihan dalam menangkap Muhriyono dengan dalih pemanggilan dan pemeriksaan saksi. Mereka menyebut tindakan ini masuk kategori penghilangan orang secara paksa dalam durasi singkat (short enforced disappearances).

“Tidak diketahuinya keberadaan Muhriyono oleh pihak keluarga hingga satu hari berselang sejak penangkapan dan tidak adanya kejelasan tentang motif atau alasan penangkapan yang ditunjukkan oleh anggota kepolisian Polresta Banyuwangi menunjukkan adanya intensi untuk menyangkal keberadaan Muhriyono dan hak untuk mendapatkan perlindungan hukum” ungkap Dimas Bagus Arya, Koordinator KontraS.

red
Ratusan warga Pakel Banyuwangi datangi Mapolresta Banyuwangi sebagai bentuk solidaritas atas penangkapan Muhriyono, Senin, 10 Juni 2024. Foto: KBR/Hermawan

Tak Bisa Dituntut

Koalisi memandang, pemidanaan Muhriyono telah mencederai hak-hak masyarakat mendapatkan pemenuhan hak atas tanah yang selama ini diperjuangkan warga dan RTSP.

Menurut Koalisi, alih-alih menyelesaikan sengketa konflik agraria, polisi seolah justru jadi alat pembungkaman, dan kriminalisasi petani. Padahal, sengketa lahan antara warga Pakel dan PT Bumisari telah terjadi lebih dahulu. Seharusnya penyelesaian sengketa sesuai Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan, sebelum penuntutan secara pidana.

Mereka yakin, Muhriyono sedari awal tidak berhak dituntut secara perdata maupun pidana, sebagaimana Pasal 66, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jo UU Nomor 6 Tahun 2023. Aturan itu berbunyi: “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”

Tiga Tuntutan

Karena itu, koalisi mendesak Polresta Banyuwangi membebaskan Muhriyono dari tahanan, dan menghukum personel yang sewenang-wenang melakukan penangkapan. Hal ini sebagai upaya menjaga ketertiban hukum di masyarakat.

Kedua, mendorong Divisi Profesi dan Pengamanan (Divisi Propam) Polri memeriksa tindakan berlebih dan menyimpang yang dilakukan anggota Polresta Banyuwangi.

Ketiga, meminta Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) proaktif mengawasi, termasuk memanggil dan memeriksa anggota Polres Banyuwangi, sesuai kewenangan berdasarkan Perpres Nomor 17 tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian Nasional, Pasal 8 ayat 1.

Kriminalisasi?

Sebelumnya, aparat kepolisian menjemput paksa seorang petani warga Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, Minggu malam, (9/6). Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Jauhari Kurniawan menyebut tindakan itu sebagai kriminalisasi.

Jauhari menyebut, selama ini aparat seperti tak menggubris laporan warga, namun dengan cepat memproses laporan dari pihak perkebunan PT Bumisari Maju Sukses.

"Ya, memang ini merupakan satu rangkaian juga yang kita meyakini bahwa ini adalah proses kriminalisasi. Karena memang proses atau peristiwa yang dilaporkan oleh warga pun sampai saat ini juga prosesnya masih mandek di tingkat penyelidikan. Sedangkan peristiwa yang dilaporkan oleh security perkebunan ini sudah naik ke tingkat sidik, ya, penyidikan," kata Jauhari kepada KBR, Senin, (10/6/2024).

Kasat Reskrim Polresta Banyuwangi, Andrew Vega mengeklaim telah memeriksa saksi dan meminta keterangan korban. Selain memeriksa saksi, polisi juga akan menggelar olah TKP dugaan kasus penganiayaan petugas keamanan PT Bumi Sari.

Konflik Agraria di Pakel

Konflik agraria di Pakel sudah terjadi hampir satu abad. Mengutip Mongabay, persoalan lahan ini berawal pada 1925. Saat itu, sekitar 2.956 warga mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran di Pakel, Licin, Banyuwangi kepada pemerintah kolonial Belanda.

Data Walhi Jawa Timur menyebutkan, empat tahun kemudian, atau pada 11 Januari 1929, permohonan itu dikabulkan. Mereka dapat hak membuka kawasan hutan seluas 4.000 bahu atau sekitar 3.000 hektare dari Bupati Banyuwangi, R.A.A.M. Notohadi Suryo.

Walaupun mengantongi izin "Akta 1929", warga Pakel kerap mengalami berbagai tindakan intimidasi dan kekerasan dari Pemerintah Kolonial Belanda dan Jepang. Pasca-kemerdekaan, warga Pakel terus berjuang mendapatkan kepastian atas hak pembukaan hutan seperti yang tertuang dalam "Akta 1929".

Pada 1980-an, lahan kelolaan warga yang masuk "Akta 1929" ini masuk konsesi perusahaan perkebunan PT Bumisari. Konflik agraria pun terus terjadi hingga kini.

Baca juga:

Editor: Sindu

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!