NUSANTARA

Monas Tak Layak Jadi Pusat Pertahanan Nasional

KBR68H, Jakarta - Kawasan Monumen Nasional (Monas) Jakarta tidak layak menjadi pusat pertahanan nasional. Pengamat militer Universitas Indonesia Andi Widjajanto mengatakan, perlu ada peraturan khusus soal tata ruang pertahanan untuk menjadikan suatu kawa

AUTHOR / Wiwik Ermawati

Monas Tak Layak Jadi Pusat Pertahanan Nasional
monas, pertahanan nasional, andi widjojanto

KBR68H, Jakarta - Kawasan Monumen Nasional (Monas) Jakarta  tidak layak menjadi pusat pertahanan nasional. Pengamat militer Universitas Indonesia Andi Widjajanto mengatakan, perlu ada peraturan khusus soal tata ruang pertahanan untuk menjadikan suatu kawasan menjadi pusat militer atau pertahanan.

Jika pemerintah ngotot menjadikan kawasan Monas sebagai area militer, menurut Andi, Presiden harus lebih dulu menetapkan kondisi darurat perang di kawasan tersebut.

"Kalau memakai prinsip humaniter, gereja, masjid, monas, Museum Gajah, itu tidak boleh dijadikan kawasan militer. (Walaupun tidak ada misalnya bunker perlindungan di bawahnya itu tetap tidak boleh dijadikan sasaran ya?), itu tetap memiliki imunitas perang. Jadi Kalau ada musuh menembaknya dia akan kejahatan perang dan akan diadili di Mahkamah Internasional di Jenewa, " kata Andi dalam Program Sarapan Pagi

Pengamat militer dari Universitas Indonesia, Andi Widjajanto menambahkan berdasarkan hukum humaniter internasional kawasan Monas dan sekitarnya merupakan kawasan penduduk sipil yang tidak boleh diserang dalam situasi perang.

Tahun depan, Pemerintah provinsi DKI Jakarta bersama Kementrian Pertahanan berencana merombak kawasan Tugu Monas menjadi tempat pertahanan darurat. Sejumlah armada militer, seperti pesawat tempur, Tank Amfibi dan roket jarak jauh akan ditempatkan di sejumlah titik di kawasan tersebut.

Editor: Doddy Rosadi

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!