Article Image

SAGA

Masyarakat Adat Anggai di Tengah Konsesi Sawit

Buah sawit yang sudah matang dan berjatuhan di tanah. (Foto: KBR/Rei)

Pengantar:

Sejak 2012, sekitar 40 ribu hektar hutan adat di Kampung Anggai, Boven Digoel, Papua beralih fungsi menjadi kebun sawit. Masyarakat bersedia melepas lahan ke perusahaan karena terpikat iming-iming pembangunan dan kesejahteraan. Malangnya, delapan tahun berselang, janji-janji tak kunjung terealisasi. Sedangkan hutan terus terdegradasi. Jurnalis KBR Dwi Reinjani berbincang dengan masyarakat adat Kampung Anggai, tentang kehidupan mereka pasca-masuknya konsesi sawit.

KBR, Boven Digoel - Sejak matahari terbit, Fara dan ratusan buruh lain sibuk membersihkan buah sawit matang. Perkakas seperti balok kayu dan arit jadi andalannya saban hari. Pekerjaan ini dilakoninya selama 8 tahun terakhir.

"Pembersihan saja, hanya itu, tidak ada lagi (tugas) yang lain," kata perempuan 27 tahun ini.

Fara adalah buruh harian di lahan konsesi milik PT Megakarya Jaya Raya yang berada di Kampung Anggai, Distrik Jair, Boven Digoel, Papua. Upahnya Rp140 ribu per hari.

Beberapa bulan lalu, ia kehilangan anak ketiganya saat melahirkan. Proses persalinan dilakukan di rumah karena fasilitas klinik yang disediakan perusahaan dianggap tak memadai.

Opsi ke rumah sakit juga memberatkan karena biayanya mahal dan harus menempuh perjalanan jauh ke kota selama beberapa jam.

"Di rumah, dibantu ibu kader, bukan (bidan). Tidak ada (bantuan perusahaan)," ungkapnya.

Perkebunan sawit di lahan konsesi PT Megakarya Jaya Raya (MJR) seluas hampir 40 hektar, berada di Kampung Anggai, Distrik Jair, Papua. (Foto: KBR/Rei)

Ketersediaan faskes yang layak merupakan salah satu dari banyak janji perusahaan yang belum terpenuhi sejak 2012. Padahal, risiko kecelakaan kerja cukup tinggi, misalnya serangan binatang buas.

"Ada babi mengamuk, babi itu menggigit. Kasihan ada satu pekerja meninggal. Babi dan ular sama (berbahaya),” ujar Ema yang juga buruh harian.

Hal ini diperparah dengan kepesertaan BPJS Kesehatan yang berstatus non-aktif, meski gaji mereka saban bulan dipotong untuk iuran.

"Kalau diobati di sini (klinik) tidak bayar. Kalau dirujuk ke Boven Digoel bayar sendiri. Jadi waktu kita gajian kan potong BPJS Kesehatan, Ketenagakerjaan. Tapi BPJS Kesehatan-nya sudah mati," lanjut Ema.

Baca juga: Kampung Liu Mulang, Teladan Hidup Selaras dengan Alam

Seorang buruh memperlihatkan bagian pelepah dan buah sawit yang busuk karena tak dirawat. (Foto: KBR/Rei)

Tenaga kerja dan kesejahteraan

Pada 2012 silam, PT Megakarya Jaya Raya datang ke kampung Anggai dengan menjanjikan pembangunan infrastruktur kesehatan, pendidikan hingga kesejahteraan.

Janji-janji ini yang mendorong sebagian marga melepaskan lahannya. Total hutan adat yang sudah dialihfungsikan oleh perusahaan mencapai 40 ribu hektare.

"Dia (perusahaan) datang dengan gula-gula (janji manis), kasih kita uang minyak, 7 miliar, anggaplah sebagai ucapan permisi. Selain uang, mereka juga siapkan perempuan cantik di rumah kita," kata Ketua Marga Mabo.

Sebagian janji perusahaan kepada Marga Mabo dipenuhi. Di antaranya, kompensasi pelepasan lahan sebesar Rp7 miliar, gaji ketua adat Rp1,7 juta per bulan serta mempekerjakan warga lokal.

Namun, janji soal kesejahteraan belum terbukti. Ketua Marga Mabo mengatakan, baru pada 2020 buruh harian lepas beralih menjadi buruh harian tetap dengan sistem perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).

"Kita maunya ada perjanjian kerja yang jelas, tapi sampai sekarang tidak ada. Sementara pimpinan kampung juga tidak bisa bersikap pada perusahaan. Memang perusahaan datang dengan tujuan membantu kami, tapi perjanjian kerja saja tidak ada," ujar Ketua Marga Mabo.

Baca juga: Jernang, Emas Rimba yang Terancam Punah

Alat angkut sawit yang rusak, diparkir di permukiman warga. Alat ini juga biasa digunakan untuk mengangkut para buruh ke ladang sawit. (Foto: KBR/Rei)

Perusahaan juga diduga melakukan diskriminasi terhadap orang asli Papua. Sebab, warga lokal menempati posisi buruh, sedangkan jabatan lebih tinggi banyak diisi pendatang. Bang Muh, operator alat berat asal Maluku mengakui ketimpangan ini kerap memicu konflik.

“Seringlah (konflik). Sesama kita, operator juga ada rasa iri soal pekerjaan. Misal, enak ya operator gajinya lumayan. Seperti operator buldozer dan excavator itu dapat premi (tambahan) kalau dulu. Mereka bisa dapat gaji dan premi sampai 10 juta,” kata Bang Muh.

Sulitnya akses lapangan kerja bagi warga lokal juga dikonfirmasi oleh riset Yayasan Pusaka Bentala Rakyat pada 2019. Warga pendatang lebih berpeluang mendapat posisi strategis, kata Peneliti Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Rasela Melinda.

"Ke anak kampung satu-satunya yang kerja di kantor, saya tanya, 'kenapa sesulit itu?' Dia bilang karena ada penilaian dari mandor atau supervisor-nya. Biasanya penilaian itu diajukan ke perusahaan, nanti mereka yang evaluasi," tutur Rasela.

Baca juga: Kontribusi Berkelanjutkan Selamatkan Terumbu Karang

Seorang anak tengah mencuci kaki di Sungai Kiobo, Desa Anggai yang terlihat keruh. Warga sering memanfaatkan sungai untuk mandi dan mencari ikan. (Foto: KBR/Rei)

Lingkungan rusak

Sebagian marga enggan melepas hutan adat karena melihat perusahaan ingkar janji. Salah satunya Marga Meanggi.

"Kalau seperti ini ya saya tidak kasih. Kalau nanti dijanjikan lagi? Ya tidak saya kasih. Tetap," kata Ketua Marga Meanggi.

Ketua Marga Meanggi menegaskan ingin tetap mempertahankan hutan dan melestarikannya demi anak cucu. Hutan adalah bagian dari identitas masyarakat adat Meanggi, tempat mereka beraktivitas dan menggantungkan hidup.

"(Hewan apa saja yang biasa diburu?) babi, kaswari, tuban, biawak dan ikan. Ada juga pohon sagu, ada ulat sagu, ulat kayu juga. (Jadi hutan itu ibarat pasarnya masyarakat?) iya," lanjut Ketua Marga Meanggi.

Sayangnya deforestasi sudah terjadi dan merusak lingkungan. Sejak banyak hutan dibabat, warga kesulitan mendapatkan air bersih, sayur dan sagu. Jarak tempuh ke hutan terdekat pun makin jauh. Menurut Antonia, warga Meanggi, kondisi ini memaksa banyak perempuan beralih menjadi buruh sawit.

"Dulu telaga bagaikan cermin kaca muka, bening sekali. Kita duduk dalam perahu kita lihat ikan udang jalan di bawah sana. Ada kura-kura dan buaya. Tapi sekarang, sayang sudah kabur sama sekali. Jangankan lihat, kita gantung pancing saja, umpan tinggal putih di mata kail," tutur dia.

Baca juga: Bendrong Menuju Dusun Mandiri Energi dan Pangan

Robertus, Koordinator Humas Ikatan Mahasiswa Boven Digoel. (Foto: KBR/Rei)

Geliat pemuda dan perempuan adat

Degradasi tanah ulayat yang makin cepat menggugah generasi muda adat. Mereka yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Boven Digoel (IMADI) sudah mulai berkeliling Distrik Jair guna melakukan edukasi. Medianya lewat pemutaran film dan dialog.

"Ada beberapa film yang kita angkat terkait dengan lingkungan dan dampak juga ketika food estate atau perusahaan besar masuk. Tidak hanya tanah saja yang hilang tapi bahan pangan lokal dan juga budaya sosial," ujar Koordinator Humas IMADI Robertus yang juga pemuda Kampung Anggai.

Program lumbung pangan (food estate) di Papua juga menjadi perhatian karena berpotensi merugikan masyarakat adat.

Selain pemuda, kalangan perempuan pun diajak untuk ikut berperan dalam pelestarian tanah adat. Terlebih, aktivitas sosial ekonomi masyarakat adat banyak digerakkan oleh perempuan.

Peneliti Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Rasela Melinda menyebut mereka butuh edukasi dan peningkatan kapasitas agar optimal berkontribusi dalam perjuangan masyarakat adat.

"Perempuan maupun laki-laki beberapa marga yang belum melepaskan tanahnya diundang, biasanya ke acara pendidikan, pelatihan, penyadaran atau peningkatan kapasitas," kata Rasela.

Laporan ini didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Penulis: Dwi Reinjani

Editor: Ninik Yuniati