BERITA
Gelombang Tinggi, KKP Siapkan Program Bantu Nelayan yang tengah Paceklik
"Secepatnya dong, kondisi panceklik ini kan mendesak sehingga tindakan harus cepat."
AUTHOR / Winna Wijaya, Gilang Ramadhan,
KBR, Jakarta- Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah
menyiapkan program untuk membantu perekonomian nelayan saat masa
paceklik. Nelayan di berbagai daerah saat ini tidak bisa mencari ikan ke
laut karena gelombang tinggi.
Menurut Sekretaris Jenderal KKP, Nilanto Perbowo, program yang akan
dilaksanakan KKP untuk memperkuat ekonomi nelayan beragam. Ia
mencontohkan, dari segi pengolahan KKP akan mengajarkan nelayan untuk
mengawetkan ikan.
"Secepatnya dong, kondisi panceklik ini kan mendesak sehingga tindakan harus cepat. Senin lah mudah-mudahan sudah ada update-nya
apa saja yang akan dilakukan KKP. Perikanan tangkap melakukan apa,
penguatan daya saing melakukan apa, PRL akan melakukan apa," kata
Nilanto kepada KBR, Kamis (26/07/18).
Nilanto mengatakan, bantuan untuk nelayan di masa paceklik juga akan
diberikan oleh kementerian dan lembaga lain. Ia mencontohkan bantuan
beras dan kebutuhan pokok lainnya dari Kementerian Sosial untuk nelayan
di daerah-daerah tertentu.
"Pemerintah Daerah bisa mengajukan permohonan kepada Kementerian sosial untuk membagikan beras yang di gudang-gudang mereka," ujarnya.
Tapi kata Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati Romica, program padat karya yang digulirkan pemerintah belum mampu membantu perekonomian nelayan yang terdampak gelombang tinggi. Susan menerima laporan dari beberapa kelompok nelayan yang menjadi basis KIARA di Sabang, Lampung, Jawa Tengah Nusa Tenggara Timur hingga Sulawesi terkait program padat karya.
Ia mengatakan, sampai saat ini
belum ada kelompok nelayan yang menerima manfaat program tersebut.
"Program padat karya belum punya skema yang jelas mau bagaimana. Baru
ketika gelombang tinggi program padat karya baru diintensifkan. Itu yang
pertama artinya negara belum siap. Kedua adalah setelah kami cek basis
kami sampai saat ini belum merasakan bagaimana program padat karya itu
seperti apa," kata Susan kepada KBR, Kamis (26/07/18).
Menurut Susan, banyak nelayan yang nekat mencari ikan ke laut meski
gelombang tinggi karena tidak punya mata pencaharian lain. Selain itu,
banyak nelayan yang berhutang kepada tengkulak karena tidak bisa melaut.
"Mereka tahu pergi melaut itu beresiko membuat mereka meninggal di
tengah laut. Mereka mau tidak mau menantang laut karena sebelumnya sudah
berhutang," ujarnya.
Sementara mengenai asuransi bagi nelayan yang disalurkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) masih belum merata. Ia mengatakan, dari satu juta asuransi pada 2018 baru separuhnya yang telah didistribusikan. Selain itu, asuransi tersebut hanya berlaku satu tahun dan setelah itu nelayan harus bayar premi mandiri.
Menurut Juru Bicara Dirjen Hubla Kemenhub, Gus Rional, konsep padat
karya dari Kementerian Perhubungan belum jelas rincian programnya. Kata
dia, hal itu masih akan dibahas bersama Kementerian KKP, Kemendes,
Pemda, dan Kemensos.
"Program padat karya yang disebut Pak Menhub waktu konpers itu secara
detil sih memang kita belum bisa berikan detilnya, karena memang masih
akan dibahas dengan daerah juga, dan mungkin KKP," kata Gusrional kepada
KBR, Kamis (26/7/18).
Kata dia, Kemenhub juga masih menimbang ketersediaan anggaran. Sebab
wilayah target program meliputi Pulau Sumatera dan Pulau Jawa.
Penempatannya akan dipertimbangkan sesuai dana yang dialokasikan.
Sebelumnya, Menhub Budi Karya Sumadi mengatakan, program itu sudah jalan
di Sukabumi dan Pangandaran. Hal itu dibenarkan oleh Gusrional, di
beberapa tempat sudah diterapkan. Terbaru di Labuhan Bajo, Sumba, warga
membersihkan pantai dan perairan. Kemudian di Jember Jawa Timur,
dengan konsep yang sama. Dan juga di Pulau Lancang, Kepulauan Seribu.
"Pembersihan perairan. Padat karya intinya banyak penghasilannya, dengan UMR sesuai wilayah," ujarnya.
Sebelumnya Gelombang tinggi di perairan Pantai Selatan Jawa
menyeret puluhan rumah dan bangunan di sepanjang sempadan pantai di
kabupaten Bantul, Rabu (25/07/2018). Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mencatat 20 rumah rusak
ringan hingga berat tersapu gelombang setinggi hingga 9 meter. Ini
adalah fenomena pasang air laut terparah sepanjang tahun ini. Meski
demikian aktivitas wisata tetap diperbolehkan di sejumlah pantai seperti
Parangtritis, Pandansimo dan Pantai Kuwaru.
"Saat ini tinggi gelombang 3 meter. Aktivitas nelayan tetap belum
dibolehkan sampai tanggal 31 Juli. Kalau wisata diperbolehkan asal tidak
main air," kata Kepala Pelaksana BPBD Bantul Dwi Daryanto saat
dihubungi, Kamis (26/07/2018).
Dwi Daryanto menuturkan, lokasi terparah akibat gelombang tinggi berada
di Pantai Pandansimo. Bangunan rumah maupun warung di daerah sempadan
rusak diterjang gelombang. Satu orang luka ringan, puluhan lainnya harus
mengungsi ke rumah kerabat karena kehilangan rumah. Pada saat kejadian,
sebagian warga mengungsi di tenda darurat.
Seluruh bangunan dan warga terdampak gelombang tinggi berada di sempadan
atau 300 meter dari bibir pantai. Beberapa bangunan bahkan berdiri
hanya 50 meter dari bibir pantai.
"Kemarin langsung kerja bakti di lokasi. Ini jadi evaluasi bersama agar warga mematuhi aturan tidak berdagang atau mendirikan bangunan di dalam sempadan pantai," ujar Kepala Pelaksana BPBD Bantul Dwi Daryanto.
Baca juga:
<li><b><a href="http://kbr.id/headline/07-2018/bmkg_peringatkan_gelombang_tinggi__ini_yang_bikin_nelayan_cilacap_nekat_melaut/96693.html">BMKG Peringatkan Gelombang Tinggi, Ini yang Bikin Nelayan Cilacap Ngotot Melaut</a> <br>
<li><a href="http://kbr.id/berita/11-2017/musim_peralihan__nelayan__curhat__sulit_melaut/93667.html"><b>Musim Peralihan, Nelayan 'Curhat' Sulit Melaut</b></a> <span id="pastemarkerend"> </span><br>
Ketua Advokasi dan Jaringan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Misbahul Munir
memperkirakan keseluruhan nelayan di wilayah Pulau Jawa terdampak cuaca
buruk. Wilayah itu meliputi Pangandaran, Yogyakarta, Jepara, Cilacap,
Trenggalek, Jember, hingga Banyuwangi.
Akibatnya, kata Munir, aktivitas nelayan terhenti, kini mereka bekerja
serabutan. Namun ada pula yang menjual barang-barang rumah tangga yang
dimiliki, hingga ada yang mengandalkan hutang.
"Jadi banyak yang dijual. Jadi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari aja
mereka ini, nelayan yang tidak bisa melaut otomatis akan mencari
hutangan-pinjaman," kata Munir kepada KBR, Kamis (26/7/18).
Munir mengatakan, kebanyakan nelayan masih terjebak dalam meminjam uang.
Menurutnya, kalau nelayan yang terorganisir otomatis mereka memakai
koperasi nelayan. Namun faktanya, di Pulau Jawa nelayan umumnya terjebak
meminjam hutan ke rentenirm. Dia mencontohkan di daerah Pantai Utara
Jawa, para anak buah kapal mayoritas terjebak meminjam uang ke para
pemilik kapal.
Kata dia, bantuan pemerintah seperti asuransi memang ada seperti untuk
kecelakaan dan perawatan sakit. Tetapi pengurusannya dinilai
menyusahkan.
"Untuk soal asuransi pun, untuk mengklaim itu ribet, tidak banyak juga
yang bisa untuk memberikan manfaat dari asuransi itu," ucapnya.
Justru kata dia, mestinya ada asuransi alias bantuan bagi nelayan di saat mengalami paceklik atau cuaca ekstrem seperti ini.
Menurut Munir, program padat karya yang digagas beberapa
kementerian dinilai tak menyentuh akar persoalan.
"Sebetulnya padat
karya itu apa untuk nelayan. Nelayan untuk menyiasati itu tetap serabutan," imbuhnya.
Di Sumatera Utara kata Ketua KNTI, Muhammad Baasir saat gelombang
tinggi, nelayan mendapat penghasilan dengan mencari kerang dan mengolah
ikan asin.
"Kalau ngga melaut ya mana ada aktivitas, paling ya ada cari kayu, cari
ikan, mungkin ya kerja sampingannya macam-macamlah. Ada yang milih ikan
lah, membelah ikan asin ah. Ada yang dia mengalihkan mencari kerang.
Kalau kerang kan, cuaca kurang bagus dia kan di daratan. Air sepinggang
sudah bisa dicari kerang," kata Baasir kepada KBR, Kamis (26/7/18).
Kata dia, nelayan di Sumatera Utara saat cuaca buruk berutang kepada rentenir untuk mencukupi kebutuhan harian.
"Macam cuaca buruk ini kawan-kawan pengelola ikan asin hampir rata-rata
semua ambruk lah, tidak ada penghasilan. Makanya kami membutuhkan
bantuan pemerintah dalam hal ini," ungkapnya.
Peringatan BMKG
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, gelombang tinggi diperkirakan terjadi hingga Oktober 2018. Perkiraannya, puncak gelombang tinggi di laut akan terjadi Jumat (27/7/2018). Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan fenomena ini terkait gerhana bulan total pada 2 Juli mendatang.
"Gelombang tinggi masih akan berlangsung sampai Oktober. Ini prediksi BMKG. Sudah mulai tumbuh Mei, puncaknya ini 27 Juli," terang Dwikorita usai rapat karhutla di Kantor Staf Presiden, Rabu (25/7/2018).
BMKG telah memberikan peringatan dini ke daerah-daerah yang berpotensi mengalami gelombang tinggi. Dwikorita menambahkan, daerah yang terdampak ada di perairan selatan mulai dari Sumatera hingga pulau Jawa.
Baca juga:
<li><b><a href="http://kbr.id/berita/02-2018/bmkg__waspadai_cuaca_ekstrim_hingga_7_februari/94892.html">Peringatan Waspada Cuaca Ekstrem</a><br>
<li><a href="http://kbr.id/berita/12-2017/ratusan_hektare_daratan_di_penajam_paser_utara_terancam_abrasi/93923.html"><b>Ratusan Hektare Daratan di Daerah Ini Terancam Abrasi</b></a> <br>
Editor: Rony Sitanggang
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!