NASIONAL

Tren PHK Industri Tekstil Meningkat, Apa Penyebabnya?

"Tentunya kami tidak ingin hanya satu kementerian saja yang melihat ini menjadi permasalahan yang urgen untuk diselesaikan. Tetapi juga lintas stakeholder pemerintah dan bahkan presiden juga,"

AUTHOR / Heru Haetami

EDITOR / Heru Haetami

PHK massal industri tekstil, PHK tekstil meningkat, PHK massal pabrik tekstil
Massa menggelar aksi memprotes PHK massal dan menuntut penyelamatan industri tekstil di Bandung, Jawa Barat, Jumat (5/7/2024). (Foto: ANTARA/Novrian Arbi)

KBR, Jakarta - Pemerintah mengakui adanya tren Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di industri tekstil.

Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal BKPM, Bahlil Lahadalia mengatakan, produktivitas industri menjadi salah satu pemicu sehingga terjadi ketidakmampuan bersaing.

"Masalahnya ada dua mesinnya tua, yang kedua biaya ekonominya sudah tinggi dibandingkan negara lain. Ini juga terkait produktivitas kerja kita. Jadi kita harus mencari jalan tengah, hak-hak buruh tetap kita perhatikan. Tapi buruh juga harus memperhatikan keberlangsungan perusahaan," ujar Bahlil dalam Konferensi Pers Realisasi Investasi Triwulan II dan Semester I Tahun 2024, Senin (29/7/2024).

Menurut Bahlil Lahadalia, perlu ada jalan tengah, dengan tetap memikirkan nasib buruh serta keberlangsungan industri. 

Ia mengatakan buruh harus ikut memperhatikan keberlangsungan perusahaan, karena jika pabrik tutup maka semua akan menanggung rugi.

Ia menyebut beberapa pilihan. Misalnya untuk mendatangkan investor, pemerintah perlu memberikan insentif perpajakan, sementara perbankan bisa memberikan fasilitas pembiayaan untuk peremajaan mesin.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada triwulan II 2024, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,93 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu 5,22 persen di 2023 dan 5,52 persen di 2022.

Pelemahan daya beli masyarakat membuat produsen menurunkan harga agar barang laku terjual dan tidak menumpuk di gudang.

Baca juga:

Kalangan pengusaha menilai fenomena deflasi yang terjadi turut memberi andil pada ancaman PHK.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jakarta, Diana Dewi mengatakan, deflasi merupakan kondisi yang tidak mengenakkan bagi para pelaku usaha. Bila deflasi tidak terkendali, muaranya bisa terjadi pemutusan hubungan kerja.

“Karena perusahaan sebagai produsen tentu akan merugi. Di mana cost produksi tetap, sementara income menurun. Bisa dikatakan tak kunjung membaik. Bisa mengakibatkan resesi korporasi dan mendorong roda perekonomian lambat berputar,” kata Diana kepada KBR, Senin, (5/8/2024).

Menurut Diana, deflasi yang terus meningkat dalam tiga bulan terakhir patut diwaspadai. Ia khawatir kondisi ini akan berdampak buruk pada korporasi.

“Karena artinya tingkat produksi meningkat yang tidak diimbangi dengan daya beli konsumen atau masyarakat. Selain peningkatan produksi, faktor yang mempengaruhi adalah turunnya permintaan. Bila kondisi ini dibiarkan terus maka akan berdampak buruk pada korporasi. Karena aktivitas jual beli melemah,” ujarnya.

Baca juga:

Kurangi produksi

Diana Dewi meminta para produsen menyeimbangkan jumlah barang produksi dengan kebutuhan. Caranya dengan mengerem produksi dan meningkatkan pemasaran melalui pemberian diskon atau formula-formula lain.

“Para pengusaha perlu melakukan antisipasi bila kondisi tak juga membaik. Sebab imbasnya bisa pada pengurangan pegawai atau menurunkan upah minimum yang harus dibayarkan. Ini tentu saja juga akan merugikan para pekerja.” katanya.

Ekonom dari lembaga ekonomi INDEF Andry Satrio Nugroho menilai masalah pemutusan kerja atau PHK adalah alarm atau sinyal tanda bahaya.

Andry menduga, kurangnya perhatian pemerintah terhadap industri tekstil dan pakaian jadi, membuat industri ini menjadi penyumbang PHK cukup besar.

Menurut Andry, meski arah kebijakan industri yang dilakukan pemerintah saat ini memprioritaskan pada program hilirisasi, namun kebijakan itu hanya berfokus pada pertambangan.

“Sangat disayangkan sekali begitu ya ketika kita berbicara mengenai 5 subsektor industri terkait dengan hilirisasi ini masih cukup berat di hilirisasi pertambangan. Padahal kita tahu bahwa tekstil kalau kita tarik ke belakang ini sebetulnya adalah bagian hilirisasi di migas. Jadi tekstil ini adalah produk hilirnya. Jadi produk hilir dari petrokimia. Jadi harusnya pemerintah juga memberikan effort yang cukup besar juga dan tentunya tidak pandang bulu begitu ya dan memprioritaskan hanya sebatas hilirisasi pertambangan saja,” ujar Andry dalam diskusi daring, Kamis (8/8/2024).

Andry Satrio Nugroho mendorong Presiden Joko Widodo turun tangan menyelamatkan industri tekstil untuk menekan angka pemutusan hubungan kerja.

“Sense yang kita harapkan dari pemerintah dalam menangkap sinyal-sinyal ini dan mempersiapkan langkah-langkah yang harus dilakukan. Dalam hal ini tentunya kami tidak ingin hanya satu kementerian saja yang melihat ini menjadi permasalahan yang urgen untuk diselesaikan. Tetapi juga kita berbicara lintas stakeholder pemerintah dan bahkan yang kami harapkan bahwa presiden juga ikut melihat terkait dengan industri tekstil ini. Karena ini adalah industri yang memang sebetulnya memberikan kontribusi tenaga kerja yang cukup besar,” katanya.

Baca juga:

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!