NASIONAL
TNI Berencana Produksi dan Distribusi Obat, Apakah Urgen dan Mendesak?
"Pelibatan TNI dalam produksi dan distribusi obat ini harus bersifat sementara, terukur, dan berada di bawah kontrol sipil," ujarnya

KBR, Jakarta- Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin berencana akan merevitalisasi laboratorium farmasi yang ada di TNI. Dia mengatakan, nantinya TNI bakal memproduksi obat-obatan melalui pabrik obat pertahanan negara.
Sjafrie menjelaskan rencana pelibatan TNI memproduksi obat ini hadir lantaran harga obat di Indonesia yang mahal.
"Kita tahu harga obat di Indonesia tinggi sekali, kita juga sudah melakukan revitalisasi laboratorium farmasi yang ada di angkatan menjadi satu pabrik farmasi obat pertahanan negara, sehingga diharapkan nanti produksi obat kita yang kita akan kerjakan. Nanti produksi obat yang akan kami kerjakan bisa kami sumbangkan kepada rakyat Indonesia" kata Sjafrie ketika rapat bersama Komisi I DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (30/4/2025).
Sjafrie menambahkan nantinya TNI akan bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dalam proses pembuatan obat.
Obat-obatan yang diproduksi rencananya terutama akan disumbangkan kepada masyarakat di desa melalui Koperasi Desa Merah Putih.
"Dengan adanya koperasi desa yang dibentuk, maka apotek-apoteknya kami suplai dari obat yang kami buat di pabrik terpusat," ucapnya.

Target 80 Ribu Koperasi Desa Merah Putih
Pemerintah melalui Satuan Tugas (Satgas) Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih menargetkan 80 ribu koperasi desa dapat terbentuk dan beroperasi paling lambat pada 28 Oktober 2025.
Dalam rapat koordinasi Satgas Kopdes Merah Putih di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Pangan, pemerintah juga menentukan beberapa tenggat waktu yang harus dipenuhi hingga koperasi-koperasi tersebut resmi berdiri.
“Kami menetapkan target penyelesaian musyawarah desa khusus atau musdesus di seluruh desa pada 31 Mei 2025,” kata Menteri Koordinator Bidang Pangan yang juga Ketua Satgas Kopdes Merah Putih, Zulkifli Hasan, dalam jumpa pers 16 Mei 2025, dikutip dari ANTARA.
Selanjutnya, proses legalisasi dan pendaftaran koperasi ke Kementerian Hukum ditargetkan rampung pada 30 Juni 2025, guna memastikan keberadaan dan operasional koperasi memiliki landasan hukum yang kuat.
Kemudian, pada Hari Koperasi, 12 Juli 2025, peluncuran resmi pembentukan Koperasi Desa Merah Putih akan dilaksanakan.

BPOM Dukung Wacana TNI Produksi Obat
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Taruna Ikrar, menegaskan lembaganya mendukung penuh wacana pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk memproduksi obat-obatan.
Ia menyebut siapa pun boleh memproduksi obat selama memenuhi persyaratan dan sesuai prosedur, termasuk perusahaan milik lembaga militer.
"Oh kami sangat mendukung. Sebetulnya itu bagian dari perusahaan negara. Kita tahu kan perusahaan negara ada dari BUMN, kayak Bio Farma dan Kimia Farma. Terus dari pihak negara lagi yang lain, kan ada perusahaan obat yang berhubungan dengan TNI. Jadi kan kita fasilitasi. Jadi sebetulnya intinya enggak ada masalah. Itu hal yang general saja," ucap Taruna kepada wartawan, Jumat (16/5/2025).
Taruna juga menegaskan nantinya BPOM akan turut terlibat dalam pengawasan produksi obat-obatan oleh TNI. Sebab, menurutnya pengawasan itu telah menjadi tanggung jawab dari BPOM.
BPOM Beri Izin Edar Obat Generik ke Lembaga Farmasi TNI
Teranyar, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Taruna Ikrar telah memberikan izin edar untuk obat generik kepada Lembaga Farmasi TNI Angkatan Udara (Lafiau) Roostyan Effendie dan Lembaga Farmasi Pusat Kesehatan TNI Angkatan Darat.
Pemberian izin ini diberikan BPOM dalam acara Asistensi Regulatori Obat Terpadu yang dilaksanakan di Hotel DoubleTree, Jakarta Utara, pada Senin (19/5/2025).

Izin edar adalah persetujuan yang diperlukan agar obat dapat dijual di Indonesia. Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU 17/2023), obat kini termasuk dalam kategori Sediaan Farmasi, yang juga meliputi Bahan Obat, Obat Bahan Alam, kosmetik, suplemen kesehatan, dan obat kuasi.
Setiap orang yang memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi harus mendapatkan izin dari pemerintah pusat atau daerah (Pasal 143 UU 17/2023).
Izin edar, yang dikeluarkan oleh BPOM, adalah salah satu izin yang diperlukan. Proses mendapatkan izin edar ini diatur dalam Peraturan BPOM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat (Peraturan BPOM 24/2017) sebagaimana diubah terakhir oleh Peraturan BPOM 13/2021.
Rencana TNI Memproduksi Obat Perlu Dikaji Ulang
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi meminta agar wacana pelibatan TNI dalam membuat dan mendistribusikan obat dikaji secara matang.
Menurutnya hal ini menjadi penting agar tugas pokok TNI sebagai pertahanan negara tidak hilang dan keluar dari jalurnya. Sebab, dia khawatir gagasan itu bikin TNI sibuk mengurusi bisnis ketimbang fokus pada tugas utamanya di sektor pertahanan.
"TNI harus tetap menjaga garis batas antara peran pertahanan dan fungsi sipil. Profesionalisme TNI itu kan tidak hanya diukur dari kekuatan tempur, tapi juga dari kepatuhan terhadap mandat konstitusional dan ketidak berpihakan di luar sektor pertahanan. Karena itu pelibatan TNI dalam produksi dan distribusi obat ini harus bersifat sementara, terukur, dan berada di bawah kontrol sipil," ujar Khairul kepada KBR, Senin (19/5/2025).

"Selain itu semua prosesnya juga harus terbuka terhadap audit publik supaya tidak menciptakan ruang abu-abu ya dalam tata kelola negara," tambahnya.
Khairul juga menilai keterlibatan TNI dalam mengurusi kesehatan masyarakat tidak tepat. Apalagi, saat ini sudah ada banyak pelaku bisnis farmasi yang jauh lebih kompeten dalam memproduksi obat-obatan.
"Saya sampaikan pelibatan ini jangan sampai mengganggu ekosistem industri farmasi nasional ya. Industri ini sudah lama beroperasi ya dengan berbagai tantangan regulasi dan kompetisi. Kalau lembaga militer masuk ke pasar obat dengan keistimewaan tertentu tanpa ruang bermain yang setara gitu ya ini kan bisa menimbulkan distorsi pasar dan merusak tatanan usaha yang sudah ada," tutur Khairul.
"Jadi perlu ada jaminan bahwa langkah ini bukan bentuk intervensi negara yang justru menyingkirkan aktor-aktor sipil," katanya.
Lebih lanjut, Khairul mendesak adanya penjelasan yang transparan ihwal skema dan tujuan terkait keinginan pemerintah yang menggandeng Koperasi Desa Merah Putih untuk mendistribusikan obat produksi tentara. Hal ini, kata dia, menjadi penting agar tidak menimbulkan konflik kepentingan.
"Walaupun TNI memproduksi obat-obatan ini sebagai bentuk keterlibatan negara yang sah. Khususnya untuk menjawab kebutuhan masyarakat terhadap ketersediaan obat murah ataupun gratis. Namun harus ada kejelasan regulasi,dll. Karena kan ini kaitannya dengan koperasi," tegas Khairul.
"Perlu kita pahami bahwa koperasi walaupun berdasarkan prinsip gotong royong dan kesejahteraan anggota tetap saja dia merupakan entitas ekonomi," imbuhnya.

Siapa yang Berani Mengawasi TNI Jika Memproduksi Obat?
Kalangan ahli epidemiologi menilai pelibatan TNI dalam memproduksi dan mendistribusikan obat keliru dan tidak akan menyelesaikan akar masalah.
Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menyebut tidak ada situasi darurat yang mengharuskan TNI turun tangan dalam memproduksi obat-obatan. Ia pun khawatir akan timbul dampak negatif jika militer dipaksa terlibat dalam membuat obat bagi masyarakat secara luas.
"Secara kesehatan masyarakat dan juga regulasi bidang farmasi, pelibatan TNI dalam fungsi produksi dan distribusi obat ini bukan atau belum menjadi pendekatan yang tepat. Bahkan dalam pandangan saya dapat menimbulkan sejumlah risiko. Seperti kualitas dan keamanan obat tidak terjamin. Kesalahan sekecil apapun ingat ini dapat mengancam nyawa. Kemudian resiko lainnya adalah potensi komersialisasi tanpa pengawasan. Karena kita tahu siapa yang mau berani mengawasi militer jika militer terlibat dalam fungsi produksi ya," ujar Dicky kepada KBR, Senin (19/5/2025).

Dicky berpendapat TNI bukan murni entitas farmasi dan dianggap belum memiliki SDM yang memadai. Selain itu, fasilitas atau kompetensi sesuai standar Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) juga perlu diperhatikan.
"Karena memang TNI bukan untuk memproduksi obat, mereka kan untuk alat pertahanan ya senjata," ujar Dicky..
Ketergantungan Impor Jadi Faktor Penyebab Kekurangan Obat di Indonesia
Dicky menyebut kekurangan obat bukanlah masalah baru yang tengah dihadapi pemerintah. Kata dia, sejak lama Indonesia memang memiliki masalah dengan kemampuan untuk memenuhi ketersediaan obat dalam negeri.
Salah satu yang menjadi penyebab ialah ketergantungan bahan baku impor.
"Maka itu pelibatan TNI tidak tepat ya jika menyasar akar masalahnya. Karena kekurangan obat di Indonesia tuh bukan semata karena kekurangan aktor produksi atau distribusi. Melainkan karena terutama ketergantungan pada bahan baku impor, hampir 90 persen bahan obat kita diimpor itu masalah yang sangat fundamentalnya," kata Dicky.
"Masalah yang mengakar lainnya adalah keterbatasan insentif ekonomi untuk produsen dalam negeri. Rantai pasok obat tidak efisien. Terlalu banyak distributor, mark up tinggi, dan proses pengadaan yang lambat. Serta regulasi harga yang tidak jelas," lanjutnya.

Siapa yang Tepat untuk Memproduksi Obat dalam Negeri?
Lebih lanjut, Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menegaskan yang berhak dan berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan obat dalam negeri adalah industri farmasi nasional dan BUMN farmasi.
"Menurut saya yang paling tepat memproduksi obat adalah industri farmasi nasional dan BUMN farmasi. Ada biofarma, holding kimia Farma, Indofarma. Nah mereka itu yang paham betul soal standar dan mutu obat bagi masyarakat. Jadi mereka-mereka itu biar bisa menjawab permasalahan yang sekarang ya harus diperkuat dengan kemitraan riset dengan perguruan tinggi," katanya.

Kondisi Produksi Obat RI
Pada tahun 2025, BPOM menargetkan sekitar 20 perusahaan farmasi di Indonesia masuk kategori maturitas tinggi atau generatif. Maturitas Tinggi/Generatif artinya perusahaan yang paling inovatif dan mampu mengembangkan produk baru.
Secara keseluruhan, ada sekitar 240 perusahaan farmasi di Indonesia, namun yang aktif di pasar hanya sekitar 160-190 perusahaan. Dari jumlah yang aktif di pasar, artinya mereka secara aktif memproduksi dan memasarkan obat-obatan.
Sementara, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat Indonesia masih sangat bergantung pada impor bahan baku obat (BBO), dengan lebih dari 90% BBO yang digunakan di negara ini merupakan produk impor. Dengan rincian 45 persen dari China, 27 persen India, dan 8 persen Amerika Serikat.
Nilai impor BBO yang diimpor pun mencapai 30-35 persen dari total nilai bisnis farmasi nasional.

Saat ini, Indonesia baru mampu memproduksi sekitar 5,61% dari total 1.105 jenis bahan baku obat yang dibutuhkan, atau sekitar 62 jenis bahan baku obat.
Indonesia memiliki 23 industri BBO yang di antaranya sudah dapat memproduksi 8 dari 10 bahan baku obat yang paling sering dipakai di Indonesia, yakni parasetamol, omeprazol, atorvastatin, clopidogrel, amlodipin, candesartan, bisoprolol, dan azitromisin.
Apa yang Harus Dilakukan untuk Penuhi Stok Obat Nasional?
Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menyebut ada sejumlah cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk menjamin ketersediaan stok obat.
- Jangka Pendek
Pemerintah perlu melakukan optimalisasi stok nasional. Melakukan digitalisasi sistem distribusi obat untuk memantau ketersediaan obat secara real time. Serta melakukan kemitraan distribusi dengan TNI hanya untuk daerah 3T, bukan untuk produksi tapi hanya distribusi saja.
- Jangka Menengah
Pemerintah perlu membuat insentif bagi produsen lokal untuk terus dan memulai produksi bahan baku obat secara mandiri. Ini dapat membantu kelangkaan atau keterbatasan obat dalam negeri.
- Jangka Panjang perlu ada strategi investasi besar dalam industri farmasi bahan baku nasional. Selain itu, alih teknologi dan kemitraan riset internasional ini juga diperlukan. Serta reformasi regulasi dan perizinan badan POM agar tidak berbelit.
Baca juga:
- Polemik Rencana Program Siswa Ditarik ke Barak TNI, Apa Dampaknya?
- Muncul Usul Pemakzulan Gibran, Bisakah Dilakukan?
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!