PBHI berharap reformasi yang digaungkan oleh Presiden Prabowo Subianto memiliki alasan yang lebih manusiawi dan lebih menyorot Hak Asasi Manusia (HAM) serta tidak hanya memikirkan urusan politik.
Penulis: Ken Fitriani, Hoirunnisa, Naomi, Resky N
Editor: Resky Novianto

- Presiden Prabowo menyetujui tim reformasi Polri, lalu menindaklanjutinya dengan melantik Ahmad Dofiri sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan, Ketertiban Masyarakat dan Reformasi Kepolisian.
- Organisasi masyarakat sipil menolak reformasi kepolisian yang hanya sebatas gimik politik, menuntut perubahan sistemik berbasis HAM dan konstitusi, serta pelibatan masyarakat.
- Pemerintah memercayai Mantan Wakapolri Ahmad Dofiri sosok kredibel dengan rekam jejak yang tegas.
KBR, Jakarta- Presiden Prabowo Subianto menyetujui pembentukan tim reformasi kepolisian usai bertemu Gerakan Nurani Bangsa (GNB) di Istana Kamis, (11/9/2025).
Keputusan ini disebut langkah awal merespons kritik publik terhadap institusi Polri yang dinilai semakin jauh dari prinsip demokrasi dan akuntabilitas. Terlebih, kepala negara sudah melantik melantik Ahmad Dofiri sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan, Ketertiban Masyarakat dan Reformasi Kepolisian di Istana Negara, Jakarta, Rabu, (17/9/2025).
Meski begitu, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) bersama Organisasi Bantuan Hukum (OBH) DIY menolak tegas pembentukan tim atau Komisi Reformasi Kepolisian jika hanya bersifat gimik politik tanpa menyentuh akar permasalahan sebenarnya.
Koalisi ini mendesak agar reformasi institusi Polri dilakukan secara sistemik dan berbasis pada mandat konstitusi.
Perwakilan PBHI DIY, Siti Fatimah mengatakan pembentukan Komisi Reformasi Kepolisian ini cenderung bersifat gimik, tidak sistemik dan sekedar monumental menjalankan mandat konstitusional demi reformasi institusional.
"Latar belakangnya bahwa respon Presiden Prabowo Subianto terhadap usulan reformasi kepolisian RI ya patutlah kita apresiasi. Kemudian karena respon tersebut menunjukkan mungkin adanya komitmen politik dari pimpinan negara untuk mendorong institusional yang lebih transparan, akuntabel dan sesuai dengan mandat konstitusi," katanya dalam konferensi pers di Yogyakarta, Rabu (17/9/2025).
PBHI Soroti Gimik Politik di Institusi Polri
Siti mengungkapkan, ada beberapa alasan mengapa perbaikan konstitusi ini sangat mendesak dilakukan. Pertama, mandat konstitusional dan institusional. Kedua, adanya tuntutan dari masyarakat tentang performa kepolisian pada saat ini. Ketiga, adanya alasan-alasan fundamental yaitu struktural, kemudian regulasi dan kultur.
"Kita baca tentang sepuluh tahun gimik politiknya kepemimpinan yang sebelumnya gitu ya. Apakah itu ide politik atau sekedar repitisi yang tidak ada reformasinya. Ya kami membaca itu mengundang atensi publik karena nyaris tidak pernah terjadi di lembaga hukum manapun yang terkadang tiba-tiba ada kasus yang viral, seperti kasusnya Ferdy Sambo," jelasnya.
Meski kasus Ferdy Sambo saat itu viral, Siti bilang namun tidak sampai mendasar dan fundamental pada akar permasalahannya. Ia menilai hal-hal tersebut hanya seperti kasusistik semata meski diselesaikan tanpa menyentuh dasar masalah karena terlanjur viral.
"Di sisi lain tekanan ekonomi dan sosial yang terjadi saat ini. Makanya kita segera mendesak apakah reformasi ini harus segera dilakukan atau tidak. Kemudian apakah reformasi ini akan mendasari tentang Hak Asasi Manusia atau tidak," paparnya.

Reformasi Polri Berperspektif HAM
Siti berharap, reformasi yang digaungkan oleh Presiden Prabowo Subianto memiliki alasan yang lebih manusiawi dan lebih menyorot Hak Asasi Manusia serta tidak hanya memikirkan urusan politik. Reformasi ini juga diharapkan mendasarkan pada fundamental bagaimana kepolisian ini lebih baik ke depannya.
"Pada akhirnya reformasi evaluasi dan perbaikan sistem di Polri harus menjadi agenda serius karena langkah ini bukan hanya perbaikan internal, tapi juga tentang penguatan pilar-pilar demokrasi, perlindungan HAM dan stabilitas negara yang selaras dengan kerangka reformasi konstitusional dan institusional yang akan menjadi pijakan perbaikan multi aspek yang menyasar di titik hulu, dan kemudian menjadi katalisator bagi perbaikan Indonesia ke depannya," lanjut Siti.
"Reformasi ini jangan menjadi ajang gimik pihak-pihak tertentu yang justru berpotensi akan menunda bahkan membajak agenda reformasi yang berubah menjadi agenda politisasi," imbuh Siti.
Evaluasi Polri Jangan Setengah Hati
Perwakilan Pusat Bantuan Hukum Perhimpunan Advokat Indonesia (PBH PERADI) DIY, Atqo Darmawan mengatakan, kondisi Indonesia saat ini pasca aksi besar-besaran di sejumlah daerah pada akhir Agustus lalu memang semakin memperkeruh dan menunjukkan sikap represif kepolisian terhadap masyarakat yang sedang menyuarakan aspirasinya.
Atqo menilai, aspirasi adalah suatu hak warga negara yang diberikan oleh negara yang seharusnya dilindungi sesuai ketentuan berlaku. Selama ini, perlindungan yang diberikan justru menunjukkan sikap represif seperti menembakkan gas air mata dan sebagainya.
"Tentu menurut saya, momentum ini adalah sebagai sarana Polri untuk mengevaluasi bagaimana kinerja mereka selama ini. Banyak yang menganggap kinerja Polri bagus, tapi perlu kita ingatkan bahwa di tengah bagusnya itu ada hal yang perlu diperbaiki," ungkapnya.
Atqo berharap, adanya Komisi Reformasi Kepolisian ini nantinya dapat membuka penyebab kematian beberapa masyarakat dalam aksi demontrasi tersebut.
"Harapannya Komisi Reformasi ini berisi orang-orang yang kredibel, track record-nya dapat dipercaya. Jangan sekedar asal tunjuk ataupun hanya sekedar memuaskan kepentingan publik, yang penting ada dulu," imbuhnya.

Kapan Tim Reformasi Polri Dibentuk?
Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra memperkirakan Komisi Reformasi Polri kemungkinan akan dibentuk pada bulan depan, yakni Oktober 2025.
Hal tersebut dikatakan seiring dengan pernyataan Presiden Prabowo Subianto kepada dirinya.
"Itu mungkin dalam 2-3 minggu ke depan akan dibentuk timnya," ujar Yusril saat ditemui di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (17/9/2025) dikutip dari ANTARA.
Untuk itu, kata dia, Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat dan Reformasi Kepolisian Ahmad Dofiri yang baru saja dilantik, akan ikut menangani reformasi Kepolisian bersama komisi tersebut.
Namun Yusril mengaku belum mengetahui siapa yang akan memimpin komisi itu beserta anggotanya lantaran timnya masih disusun hingga saat ini.
"Biasanya nanti akan dibuat keputusan presiden terkait siapa yang akan memimpin komisi itu," katanya.

Ahmad Dofiri Sosok yang Tepat
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menilai Ahmad Dofiri merupakan sosok yang tepat untuk memimpin upaya reformasi kepolisian.
Pernyataan itu disampaikan Komisioner Kompolnas Mohammad Choirul Anam di Jakarta, Rabu, untuk menanggapi pelantikan Ahmad Dofiri sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat dan Reformasi Kepolisian.
Anam mengatakan bahwa Dofiri memiliki komitmen tinggi untuk menjadikan personel Polri sebagai polisi yang profesional, humanis, dan jauh dari berbagai pelanggaran.
“Komitmennya untuk menindaklanjuti berbagai pelanggaran oleh anggota kepolisian, itu juga tindak lanjutnya bagus,” katanya.
Selain itu, dia menilai bahwa Dofiri memiliki ketegasan dalam menghadapi persoalan internal kepolisian. Menurutnya, ketegasan itu menjadikan Dofiri sebagai sosok yang dihormati di kepolisian.
“Di samping karena kepandaiannya karena beliau adalah penerima penghargaan Adhi Makayasa, tetapi juga karena sikap tegasnya terhadap berbagai persoalan yang ada di kepolisian. Itu yang penting,” ucapnya.

Rekam Jejak Karir Ahmad Dofiri
Selama berkarier di kepolisian, Ahmad Dofiri berhasil menempati sejumlah posisi strategis. Dedikasi dan kegigihannya menjadikan ia sosok teladan bagi rekan-rekannya dalam menapaki jenjang karir.
Ahmad Dofiri pernah memegang peran penting dalam penyelidikan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, atau Brigadir J. Kasus yang sempat menjadi sorotan publik pada 2022 ini, yang melibatkan oknum kepolisian Ferdy Sambo, menempatkan Ahmad Dofiri pada posisi kepercayaan penting untuk meyakinkan masyarakat akan penegakan hukum yang adil.
Berdasarkan keputusan Komisi Kode Etik Polri pada 26 Agustus 2022, Ferdy Sambo dijatuhi sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH). Selain itu, Ahmad Dofiri menetapkan sanksi etik terhadap Sambo berupa tindakan tercela, serta sanksi administratif berupa penempatan khusus (patsus) selama 40 hari di Mako Brimob.
Dofiri juga dianugerahkan pangkat Jenderal Kehormatan oleh Prabowo Subianto. Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, resmi menganugerahkan pangkat Jenderal Kehormatan (bintang empat) kepada Ahmad Dofiri dan Djamari Chaniago. Upacara kenegaraan tersebut digelar di Istana Negara, Jakarta, pada Rabu (17/9/2025).
Mahfud MD ]Masuk Radar dalam Tim Reformasi Polri
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengungkapkan bahwa Mahfud MD menjadi salah satu tokoh yang dipertimbangkan Presiden Prabowo Subianto untuk bergabung dalam tim komite reformasi Polri.
Prasetyo dalam konferensi pers di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, menyebut komite ini tengah disiapkan pemerintah sebagai bagian dari komitmen memperkuat agenda reformasi kepolisian.
“Berkenaan dengan komisi atau komite reformasi kepolisian memang itu bagian dari komitmen pemerintah, komitmen Bapak Presiden, dan sekarang sedang proses untuk kita meminta kesediaan para tokoh-tokoh untuk berkenan bergabung di komite tersebut,” ujarnya dikutip dari ANTARA.
Ketika ditanya apakah Mahfud MD termasuk dalam daftar tokoh yang dilirik berdasarkan pengalamannya sebagai mantan Menko Polhukam, Prasetyo membenarkan kabar itu.
“Termasuk salah satunya," katanya.

Reformasi Polri: Desain Ulang Jati Diri
Dalam keterangan resmi Koalisi RFP menyebut, reformasi harus dimaknai tuntutan pembenahan menyeluruh institusi kepolisian, baik pada aspek sistem, kewenangan, struktur, hingga kultur.
"Buruknya kinerja kepolisian selama ini menunjukkan persoalan Polri berakar multiaspek. Alhasil, Polri tidak kunjung berbenah meski diterpa skandal berulang, mulai dari korupsi, brutalitas, hingga arogansi kekuasaan dan penyalahgunaan wewenang. Dengan demikian, harus dirumuskan peta jalan reformasi kepolisian yang jelas dan terukur," bunyi rilis Koalisi RFP yang diterima KBR, Senin, (15/9/2025).
Koalisi RFP berpandangan agenda reformasi kepolisian sudah saatnya dimaksudkan agar mampu meredefinisi ulang jati diri Polri yang sipil (civilian police).
"Mendesain jalan depolitisasi, demiliteritasi, desentralisasi, dan dekorporatisasi kepolisian secara mendasar dan signifikan. Semua situasi ini disebabkan karena pascatransisi reformasi 1998, agenda reformasi kepolisian hanya berhenti pada pemisahan Polri dari dwifungsi ABRI, tanpa benar-benar merombak tata kelola, struktur dan kultur institusi Polri," bunyi rilis.
Perbaikan Polri secara Multisektor
Perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Dhanil Alghifary menyebut, reformasi kepolisian ini tidak hanya terbatas pada regulasi saja. Namun juga mesti dilihat secara utuh, baik segi regulasi, struktur dan kultur.
"Salah satu yang mendasar mengapa polisi ini perlu direformasi adalah tindakan brutalitas yang dilakukan secara berulang. Sebetulnya tindakan ini tidak hanya terjadi pada penanganan massa aksi, tapi juga dalam proses penangkapan dan dalam proses penyidikan," jelasnya.
Dhanil menyampaikan, brutalitas aparat kerap tidak disertai dengan fungsi pengawasan. Ia mengaku belum pernah mendengar ketika ada kekerasan yang dilakukan oleh kepolisian kemudian dilaporkan secara etik maupun pidana.
"Lantas yang disanksi pimpinan kepolisiannya itu belum ada. Pasti yang dikorban kroco-kroco (anak buah, red) yang dianggap melakukan pelanggaran di lapangan," tegasnya.
Jika reformasi kepolisian ini memang dilakukan, lanjut Dhanil, ia berharap ada pelibatan masyarakat sipil dalam proses reformasi tersebut.
"Jangan sampai ini hanya jadi gimik, hanya seremonial saja tapi secara aktif perlu melibatkan masyarakat," imbuhnya.

Evaluasi Polri Mendesak Buntut Penanganan Massa Demonstran Agustus
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) sekaligus pakar Kebijakan dan Tata Kelola Pemerintahan Kolaboratif, Muchamad Zaenuri menilai, isu ini kembali mengemuka setelah publik disuguhi 'tontonan' yang kurang mengenakkan pada akhir Agustus lalu.
“Saya kira wajar, karena insiden yang terjadi kemarin bisa menjadi pemicu, terutama dengan tragedi meninggalnya Affan sebagai puncaknya. Padahal kondisi sebenarnya sudah menunjukkan kerawanan dan risiko tinggi sebelumnya,” ujar Zaenuri dalam keterangan tertulisnya, Rabu (17/9/2025).
Menurutnya, kesalahan berulang dalam penanganan unjuk rasa seharusnya tidak terjadi dalam tata kelola pemerintahan modern yang mengedepankan siklus Plan, Do, Check, Action.
“Setiap tahun seharusnya ada evaluasi untuk mencari solusi atas masalah yang dihadapi,” imbuhnya.
Zaenuri menegaskan, reformasi kepolisian harus dilakukan secara komprehensif, bukan hanya pada aspek teknis di lapangan. Reformasi itu mencakup tiga hal utama: Regulasi, tata kelola, dan paradigma.
“Pertama, pemerintah perlu membenahi regulasi sebagai dasar hukum. Kedua, memperbaiki struktur dan manajemen sumber daya manusia demi menciptakan tata kelola yang baik. Ketiga, mengubah mindset penegakan hukum menjadi ‘polisi pelindung masyarakat’,” jelasnya.
Lebih lanjut, Zaenuri menekankan pentingnya penggunaan pendekatan persuasif dalam menangani aksi massa ketimbang cara-cara represif.
“Polisi seharusnya lebih canggih dalam menangani pergerakan massa. Teknik persuasif harus diutamakan. Aparat perlu tampil lebih dingin dan sabar menghadapi demonstran,” ujarnya.
Partisipasi Akademisi dan Masyarakat Sipil dalam Tim Reformasi Polri
Dalam perspektif pemerintahan kolaboratif, Zaenuri menilai kehadiran masyarakat sipil dan akademisi sangat penting untuk mendukung reformasi. Akademisi, menurutnya, memiliki posisi strategis karena independensinya dalam memberi catatan kritis terhadap jalannya pemerintahan.
“Tentu saja peran stakeholder dari akademisi maupun masyarakat sipil harus saling menguatkan. Sebanyak apa pun reformasi dilakukan, jika rakyatnya tidak sadar, hasilnya akan sama saja,” tegasnya.
Ia juga menyarankan agar kolaborasi dimulai dengan kesamaan visi dalam penegakan hukum, lalu dilanjutkan dengan dialog intensif.
“Bahkan lebih konkret lagi, bisa melalui penyadaran masyarakat hingga memberi masukan regulasi terkait cara penegakan hukum yang efektif. Semua persoalan bisa didialogkan dan dicari penyelesaiannya bersama-sama,” jelasnya.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media
Baca juga:
- Desakan Reformasi Polri, Sembilan Masalah Sistemik Harus Dibenahi
- Kontroversi Rencana Pembagian 330 Ribu Smart Digital Screen ke Sekolah