NASIONAL
Soeharto Dinilai Tak Layak Jadi Pahlawan, Korban Hingga Aktivis Bongkar Rekam Jejak HAM
petisi daring tolak gelar pahlawan nasional untuk Soeharto sudah ditandatangani 3.800 orang. Penolakan itu merespons rencana Kementerian Sosial

KBR, Jakarta- Menteri Sosial Saifullah Yusuf menjelaskan pengusulan gelar pahlawan nasional, termasuk nama bekas Presiden Soeharto, bermula dari usulan masyarakat. Dikutip dari ANTARA, usulan tersebut, menurutnya, berawal dari masukan seminar dan tokoh setempat, yang kemudian disampaikan ke bupati atau wali kota.
"Setelah itu, nanti prosesnya naik ke atas, ke gubernur. Ada seminar lagi, setelahnya baru ke kami," ujar Saifullah Yusuf, Minggu (20/4) malam.
Kementerian Sosial, melalui Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial, membentuk tim yang terdiri dari akademisi, sejarawan, tokoh agama, dan tokoh masyarakat untuk memproses semua usulan dari gubernur se-Indonesia.
"Nah, setelah itu, nanti kami matangkan. Saya akan mendiskusikan, dan memfinalisasi. Kami tanda tangani. Langsung kami kirim ke Dewan Gelar," lanjutnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kemensos, Mira Riyati Kurniasih, mengungkapkan bahwa sudah ada 10 nama yang masuk dalam daftar usulan calon Pahlawan Nasional 2025, termasuk Soeharto.
Selain Soeharto dan Abdurrahman Wahid, nama-nama lain yang kembali diusulkan adalah Bisri Sansuri, Idrus bin Salim Al-Jufri, Teuku Abdul Hamid Azwar, dan Abbas Abdul Jamil. Empat nama baru yang diusulkan tahun ini adalah Anak Agung Gede Anom Mudita, Deman Tende, Midian Sirait, dan Yusuf Hasim.
Soeharto Dinilai Tidak Layak Jadi Pahlawan Nasional
Wacana pemerintah untuk menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto kembali memicu gelombang protes dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (Gemas) menegaskan, rencana penganugerahan gelar pahlawan itu merupakan bentuk pengkhianatan terhadap memori para korban dan upaya pemutihan kejahatan masa lalu.
Anggota Gemas sekaligus Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jane Rosalina dengan gamblang mengungkap betapa kelamnya catatan HAM di bawah kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun.
"Berbagai macam pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di pemerintahan presiden Soeharto juga banyak sekali rentetannya, kebijakan operasi militer dan militerisasi yang disertai eksploitasi SDA yang terjadi di Papua, di Aceh misalkan saat penetapan Daerah Operasi Militer Aceh," ungkap Jane kepada KBR, Kamis, (17/4/2025) malam.
Jane juga mengingatkan publik pada pembantaian massal di Santa Cruz, Timor Leste, serta berbagai kasus perampasan tanah rakyat dan penghancuran lingkungan.
Baca juga:
- Soeharto Jadi Pahlawan Nasional? Ini Kata Mensos Gus Ipul
- IKOHI: Jokowi Utang Tuntaskan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Apalagi, Jane menyebut Komnas HAM telah menetapkan adanya sembilan kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di era Soeharto, termasuk tragedi 1965/66, penembakan misterius (Petrus), Peristiwa Tanjung Priok, Talangsari, Rumah Gedong dan Pos Satis, penghilangan orang secara paksa, Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II, Kerusuhan Mei 1998, dan pembunuhan dukun santet.
"Kalau misalkan kita lihat dari rentetan banyaknya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia maupun pelanggaran berat hak asasi manusia, tentu sudah dapat dipastikan bahwa Soeharto tidak layak diberikan gelar pahlawan nasional kalau melihat rekam jejak buruk dan berdarahnya gitu," tegas Jane.
Lebih lanjut, ia menggambarkan bagaimana negara di bawah Soeharto bertransformasi menjadi alat kekerasan yang represif.
"Kalau misalkan kita lihat dalam rezim Soeharto sendiri negara sudah bertransformasi menjadi mesin pembunuh. Misalkan dalam pembasmian kebebasan berpendapat, ada perampasan sumber daya alam, penghancuran lingkungan hidup, terus pengelolaan kekerasan antarwarga, belum lagi kekerasan perempuan, ada pemberedelan pers, pembatasan partai politik dan lain sebagainya," ungkapnya.
Gelar Pahlawan: "Pengingkaran Sejarah"
KontraS menilai wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto merupakan sebuah upaya sistematis untuk menghapus ingatan kolektif bangsa terhadap penderitaan para korban.
"Kalau misalkan kita mau membayangkan Soeharto sebagai pahlawan nasional ini adalah salah satu bentuk nyata dari lupa dan pengingkaran sejarah oleh negara terhadap penderitaan jutaan korban kekerasan dan pelanggaran berat hak asasi manusia yang terjadi di masa orde baru gitu," ucap Jane.

Jane juga menyoroti implikasi simbolik dari pemberian gelar tersebut.
"Kalau juga kita katakan bahwa Soeharto ini bukan hanya simbol diktator militer saja tetapi juga merupakan salah satu aktor utama dalam praktik sistematis imunitas kemudian pembungkaman dan kekerasan negara terhadap rakyatnya sendiri gitu. Bagaimana bisa kita harus membiarkan wacana ini bergulir begitu saja? ketika pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto hanya akan melegitimasi kekuasaan yang dibangun di atas darah dan air mata para korban gitu," tegas Jane.
Dasar Hukum Menolak Gelar Pahlawan Untuk Soeharto
Jane kemudian merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, yang secara eksplisit menyebutkan asas-asas pemberian gelar, termasuk kemanusiaan, kerakyatan, dan keadilan. Ia mempertanyakan apakah rekam jejak Soeharto mencerminkan asas-asas tersebut.
"Kalau misalkan dibedah di penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, yang dimaksud sebagai asas kemanusiaan adalah harus mencerminkan harkat dan martabat manusia berdasarkan kemanusiaan adil dan beradab, kerakyatan adalah harus mencerminkan dan mempertimbangkan jiwa kerakyatan demokrasi dan permusyawaratan perwakilan, dan asas keadilan adalah harus mencerminkan keadilan secara proposional bagi setiap warga negara tanpa kecuali," jelas Jane.
Sebaliknya, KontraS berpendapat, kepemimpinan Soeharto justru bertolak belakang dengan prinsip-prinsip tersebut.
"Kalau kita lihat sebaliknya rekam jejak Soeharto menunjukkan bahwa ia tidak memenuhi tiga kriteria yang dinyatakan dalam Pasal 2 Undang-undang tersebut, kita tahu bahwa selama 32 tahun kepemimpinan Soeharto sebagai presiden, ia telah melakukan berbagai macam kekerasan yang ditujukan kepada warga sipil. Belum lagi ada sembilan kasus tadi terhadap kasus pelanggaran berat hak asasi manusia, belum lagi bicara mengenai penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan serta praktik korupsi kolusi dan nepotisme," ucapnya.
Kasus korupsi
Lebih jauh, Jane menyinggung catatan buruk Soeharto dalam hal korupsi.
"Kemudian pada isu korupsi, kolusi dan nepotisme pada September 98, Kejaksaan Agung juga menemukan indikasi penyimpangan dana dari yayasan-yayasan yang setidaknya terdapat 7 yayasan yang diperiksa oleh Kejaksaan Agung saat itu," ungkap Jane.
"Kemudian juga Soeharto telah ditetapkan sebagai tersangka dengan kasus penyalahgunaan dana atas Yayasan sosial yang didirikannya Pada 31 Maret tahun 2000, dan ditetapkan sebagai terdakwa pada 3 Agustus tahun 2000 akan tetapi proses hukum tersebut tidak dilanjutkan dan dihentikan oleh Kejaksaan Agung karena sakit yang dialami oleh Soeharto membuatnya tidak bisa diadili," sambungnya.
Jane juga merujuk pada laporan PBB (UNODC) dan Bank Dunia tahun 2007 yang menyeret nama Soeharto.
"Belum lagi juga kita melihat kantor PBB bersama Bank Dunia juga telah mengeluarkan laporan stolon aset recovery atau StAR pada tahun 2007 yang menyebutkan Soeharto sebagai pemimpin korup. Bagaimana bisa seseorang dengan rekam jejak seperti itu diberikan gelar pahlawan oleh negara kita sendiri?" imbuh Jane.
Baca juga:
Dengan rekam jejak buruk Soeharto itu, Jane mempertanyakan kelayakan Soeharto untuk dipertimbangkan sebagai pahlawan.
"Kalau misalkan kita lihat dari rekam jejak buruk tersebut tentu tidak akan ada hal yang kemudian valid untuk memberikan Anugerah gelar kepahlawanan terhadap Soeharto gitu otomatis hal ini harus terus kita tolak gitu," ucap Jane.
Jane juga mengutip Pasal 25 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 yang mensyaratkan integritas moral dan keteladanan bagi penerima gelar.
"Di situ disebutkan Pasal 2 menyatakan gelar tanda jasa dan tanda kehormatan diberikan berdasarkan asas setidaknya ada tiga asas, yang harus dipenuhi pertama itu asas kemanusiaan, kedua kerakyatan dan keadilan. Apakah Soeharto mencerminkan asas-asas? Sebaliknya rekam jejak Soeharto menunjukkan ia tidak memiliki tiga kriteria tersebut. Kami mendesak agar Menteri Sosial hingga dewan gelar tanda jasa dan tanda kehormatan untuk memperhatikan dan menimbang rekam jejak buruk Soeharto tersebut," jelas Jane.
Dugaan Motif Politis
KontraS juga menyoroti konteks politik saat ini yang dinilai turut memengaruhi wacana pemberian gelar kepada Soeharto. Jane mengindikasikan adanya dugaan konsolidasi politik elite, termasuk posisi strategis keluarga Soeharto di pemerintahan.
"Wacana pemberian gelar pahlawan Soeharto ini juga semakin menguat di tengah situasi politik yang begitu dinamis, termasuk juga kita melihat ada konsolidasi politik dan elite yang begitu kuat, di mana Golkar masih berkuasa di pemerintahan, di mana anak Soeharto sendiri, Titik Soeharto juga duduk di DPR, belum lagi (mantan) menantunya ada di jabatan paling strategis di negara kita, yaitu Presiden Republik Indonesia. Nah hal-hal seperti ini kita kawal dan lawan," ucap Jane.
Jane menegaskan, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto akan menjadi pengingkaran terhadap keadilan bagi para korban pelanggaran HAM di masa Orde Baru yang hingga kini belum mendapatkan pemulihan dan pengungkapan kebenaran.
"Pengingkaran terhadap kemanusiaan dan demokrasi di Indonesia yang telah terjadi selama pemerintahan orde baru harusnya menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia dalam melangkah ke depan, bukan malah justru memberikan gelar pahlawan kepada sosok yang bermasalah dan mempunyai rekam jejak yang buruk terkait dengan isu kemanusiaan dan hak asasi manusia juga demokrasi di Indonesia saat ini," ungkapnya.
KontraS bersama dengan koalisi gerakan masyarakat sipil Adili Soeharto (Gemas) telah mengirimkan surat desakan kepada Menteri Sosial dan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan serta menggalang petisi online untuk menolak wacana ini.
Hingga Minggu, (20/4/2025) malam, petisi daring tolak gelar pahlawan nasional untuk Soeharto sudah ditandatangani 3.800 orang. Penolakan itu merespons rencana Kementerian Sosial yang tengah membahas daftar nama yang akan diusulkan kepada Presiden Prabowo Subianto agar diberi gelar Pahlawan Nasional.
Salah satu nama tersebut adalah Soeharto. Dalam petisi itu, juga disebutkan bahwa Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menyelidiki dan menemukan sembilan kasus pelanggaran berat terhadap HAM yang terjadi di bawah pemerintahan Soeharto. 9 kasus tersebut adalah:
1. Peristiwa 1965-1966;
2. Peristiwa Penembakan Misterius (1982-1985);
3. Peristiwa Tanjung Priok (1984);
4. Peristiwa Talangsari (1989);
5. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989-1998);
6. Peristiwa Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998;
7. Peristiwa Trisakti (1998), Semanggi I (1998), dan Semanggi II (1999);
8. Peristiwa Mei 1998; dan
9. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet (1998-1999).
Korban 1965: Soeharto Penjahat Nasional, Bukan Pahlawan
Wacana pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional juga menuai penolakan keras dari korban pembataian massal 1965/1966. Seorang penyintas tragedi 1965 sekaligus Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65), Bedjo Untung dengan tegas menyebut Soeharto sebagai "penjahat nasional" yang tidak layak menerima gelar kehormatan tertinggi negara.
Bedjo Untung mengenang bagaimana kekuasaan Soeharto berakar pada tragedi kemanusiaan yang mengerikan.

"Ya, saya termasuk orang yang menganggap Soeharto tidak layak menerima gelar sebagai Pahlawan Nasional. Alasannya, Soeharto adalah seorang presiden yang lahir dari genangan darah, air-mata jutaan orang-orang terbaik putra-putri Indonesia yang tidak bersalah dalam tragedi pembunuhan massal genosida 1965," ungkap Bedjo Untung kepada KBR, Kamis, (17/4/2025) malam.
Bedjo Untung merujuk pada pengakuan bekas Komandan RPKAD, Sarwo Edhie Wibowo, yang menyebutkan bahwa tidak kurang dari 500.000 hingga 3.000.000 jiwa menjadi korban pembantaian massal yang diperintahkan oleh Soeharto untuk menghancurkan pengikut Presiden Soekarno, dan mereka yang dituduh sebagai anggota PKI.
Selain pembunuhan, ratusan ribu lainnya mengalami penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, penculikan, dan pengasingan tanpa proses hukum yang jelas.
"Para Tahanan Politik (Tapol) dipekerjakan secara paksa layaknya budak, tidak diberi makan dan layanan kesehatan sehingga banyak yang meninggal, kelaparan dan sakit. Para tahanan diasingkan tanpa tahu berapa lama harus ditahan. Mereka jalani penahanan antara 9–14 tahun, tanpa proses hukum," kenang Bedjo Untung, yang juga merasakan pahitnya sembilan tahun mendekam di tahanan Salemba dan kamp kerja paksa Tangerang.
Pengkhianatan Supersemar
Lebih jauh, Bedjo Untung menilai Soeharto telah mengkhianati amanat Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang seharusnya mengamankan jalannya revolusi Indonesia yang anti-imperialistis, anti-kapitalistis, dan anti-Nekolim.
"Soeharto justru membubarkan PKI yang bukan wewenangnya. Dari situlah kemudian Indonesia berubah dari Indonesia yang bercita-cita membangun sosialisme yang sesuai dengan kondisi Indonesia menjadi Indonesia yang kapitalistis dan membiarkan Indonesia yang berkiblat ke imperialis dan kepentingan pemodal raksasa dunia, membiarkan alam, hutan, tambang dikuasai pemodal asing," tegasnya.

Bedjo Untung menegaskan, pemerintahan Soeharto dinilai menjalankan praktik militerisme, otoriter, dan represif terhadap kebebasan berpendapat, serta mengabaikan hak asasi manusia dan demokrasi.
Gelar Pahlawan: Mengkhianati Korban
Bedjo Untung menekankan dampak buruk jika Soeharto dianugerahi gelar pahlawan nasional bagi para korban pelanggaran HAM.
"Dampaknya ialah semakin jauh usaha untuk melakukan penegakan hak asasi manusia, penegakan kebenaran dan keadilan. Dengan kata lain melanggengkan impunitas. Rakyat semakin apatis, tidak lagi mempercayai kepada negara/pemerintah. Bagaimana mungkin seorang yang terlibat kasus kejahatan kemanusiaan maha dahsyat justru memperoleh penghargaan? Inilah akibat tidak adanya judicial process sehingga para penjahat (perpetrators) tidak mendapatkan penjeraan," tandasnya.
Bedjo Untung menyayangkan belum adanya perkembangan hukum yang signifikan terkait kasus-kasus HAM yang melibatkan nama Soeharto. Meskipun pernah ada upaya pengadilan kasus korupsi di era Presiden Habibie, namun Bedjo Untung menyebut kasus tersebut terhenti dengan alasan "Pura-pura sakit" dengan istilah sakit permanen.
Sementara itu, rekomendasi dari International People’s Tribunal Den Haag tahun 2015 dan Komnas HAM untuk menggelar Pengadilan HAM Ad Hoc guna mengadili kejahatan kemanusiaan tahun 1965/66 hingga kini belum diindahkan oleh pemerintah.
"Artinya, pemerintah Indonesia memang tidak memiliki kemampuan dan kemauan untuk adili Soeharto/kejahatan kemanusiaan," kritik Bedjo Untung.
Upaya Mengembalikan Orde Baru
Lebih lanjut, Bedjo Untung meyakini adanya motif politik yang kuat di balik dorongan untuk mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional.
"Jelas, ingin mengembalikan Orde Baru. Ini sangat berbahaya, karena orde baru jelas anti-hak masasi manusia dan demokrasi. Dan, tanda-tandanya sudah semakin nyata dengan disahkannya UU TNI Nomor 3 Tahun 2025 sebagai pintu masuk Dwifungsi TNI," ungkapnya.
Baca juga:
Menyikapi wacana gelar pahlawan ini, Bedjo Untung mengaku tidak memiliki banyak harapan pada pemerintahan saat ini, mengingat rekam jejak Presiden Prabowo Subianto di masa lalu. Namun, ia menaruh harapan besar pada generasi muda.
"Harapan saya generasi muda semakin kritis, tahu sejarah yang benar dan sadar bahwa negeri ini harus dipimpin oleh pemuda, mahasiswa orang-orang yang berintegritas. Saya khawatir, peristiwa Bangladesh di mana rakyat akhirnya menyerbu Istana bisa terjadi di Indonesia. Ini apabila saluran demokrasi tersumbat dan kekecewaan rakyat tidak terbendung," pungkas Bedjo Untung.
Menghidupkan Kembali Orde Baru
Sebagian kalangan Sejarawan juga menilai wacana pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional bernuansa politis ketimbang penilaian sejarah yang objektif. Sejarawan sekaligus pendiri penerbit Komunitas Bambu, JJ Rizal menyoroti bagaimana upaya-upaya untuk mengagungkan Soeharto sebagai pahlawan terus bergulir sejak bekas penguasa Orde Baru itu meninggal pada tahun 2008.
"Sejak Soeharto meninggal, bukan berarti Orde Baru berakhir. Orde Baru itu bukan hanya orang, tapi sistem dan cara berpikir yang melembaga selama 32 tahun," ujar Rizal dalam sebuah diskusi daring di X, pada Kamis, (17/4/2025) malam.
JJ Rizal menambahkan, resistensi yang terus muncul terhadap Soeharto justru menjadi sinyal bahwa napas reformasi kian melemah, sementara warisan Orde Baru terus menguat dalam alam pikiran masyarakat.
Reformasi Kehilangan Arah
Rizal pesimistis dengan arah reformasi saat ini. Ia menilai, alih-alih memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menjadi musuh utama reformasi, justru aktor-aktor reformasi kini terperangkap dalam "budaya Orbaba" (Orde Baru-Baru).
Kata dia, upaya menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional, dalam konteks ini, dipandang sebagai langkah untuk melegitimasi praktik-praktik politik Orde Baru.
"Ini adalah cara menciptakan alat legitimasi dari praktik politik yang lezat. Dengan mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional, maka perilaku politik Orde Baru akan dianggap lazim, wajar, bahkan baik," tegas Rizal.
Melawan Penggelapan Sejarah
Menyikapi kondisi ini, Rizal menekankan pentingnya peran keluarga dan dunia pendidikan dalam melawan warisan Soeharto berupa penggelapan sejarah. Menurutnya, penulisan ulang sejarah nasional yang jujur dan komprehensif menjadi krusial. Meskipun buku sejarah alternatif banyak bertebaran, suara kebenaran sejarah perlu terus disuarakan.
"Peran keluarga menjadi sangat penting untuk mengajarkan praktik-praktik sejarah Soeharto yang kelam. Dengan begitu, kita menggaransi bahwa sejarah yang sebenarnya akan terus hidup dan menjadi budaya tanding terhadap proyek propaganda negara," pungkas Rizal.
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!