RAGAM

Social Commerce Dilarang, Pedagang Untung atau Rugi?

Saat ini lebih dari 60 persen pelaku UMKM menggunakan media sosial untuk berjualan.

AUTHOR / Astri Yuana Sari

Social Commerce Dilarang, Pedagang Untung atau Rugi?
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan saat konferensi pers Permendag 31/ 2023 di kantor Kemendag, Jakarta, Rabu, 27 September 2023. Foto: Kemendag.go.id

KBR, Jakarta- Pemerintah melarang platform media sosial juga digunakan untuk transaksi jual beli, atau social-commerce.

Larangan ini diatur dalam revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Pelarangan dilakukan lantaran social-commerce berdampak buruk pada pasar usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam negeri. Menurut Presiden Joko Widodo, itu terjadi karena keterlambatan pemerintah membuat regulasi.

"UMKM kita harus dipayungi dari terjangan dunia digital ini. Ini yang sedang dikerjakan oleh pemerintah. Tadi, baru saja kita rapat terbatas memutuskan mengenai sosial media yang digunakan untuk e-commerce. Besok mungkin keluar karena dampaknya memang sangat dahsyat sekali. Kita terlambat hanya berapa bulan saja sudah efeknya kemana-mana," kata Jokowi, saat Meresmikan Pembukaan Kongres XXV Persatuan Wartawan Indonesia 2023, Senin, (25/9/2023).

Pemisahan

Dalam regulasi tersebut, salah satu poinnya mengatur pemisahan platform media sosial dan platform e-commerce, sehingga media sosial tidak boleh melakukan transaksi jual beli.

Selama ini social-commerce dinilai sangat menguntungkan pihak platform yang bisa menggunakan algoritma pengguna untuk mengatur iklan sekaligus berjualan. Hal ini disampaikan Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan usai rapat terbatas di Istana, Senin kemarin.

"Yang pertama nanti isinya sosial commerce itu hanya boleh memfasilitasi promosi barang atau jasa promosi barang jasa tidak boleh transaksi langsung bayar langsung enggak boleh lagi, dia hanya boleh untuk promosi seperti TV kan ya, TV kan iklan boleh ya, tapi TV kan enggak jualan. Jadi dia semacam platform digital gitu jadi tugasnya mempromosikan," kata Mendag Zulhas dalam keterangan pers, Senin, (25/9/2023).

Tidak Adil

Pemisahan juga dilakukan karena model social-commerce dinilai menciptakan iklim bisnis tidak adil, khususnya bagi pelaku UMKM dalam negeri.

Selain itu menurut Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi, pemerintah juga tidak ingin data masyarakat digunakan semena-mena melalui platform social-commerce, yang akan berpotensi menjadi monopoli.

"Kalau ada algoritmanya sudah sosial media, nanti e-commerce, nanti fintech, nanti pinjaman online, dan lain-lain. Ini kan semua platform ini kan akan ekspansi kan, berbagai jenis. Nah, itu harus kita atur, kita harus tata. Supaya jangan ada monopoli, monopolistik, organik alamiah karena nggak kita tata, eh tau-tau semua dikontrol sama dia," imbuhnya.

Disambut Positif UMKM

Asosiasi Industri Usaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia (Akumandiri) menyambut positif kebijakan pemerintah melarang platform social commerce (s-commerce).

Ketua Umum Akumandiri, Hermawati Setyorinny mengatakan, s-commerce memang perlu dibatasi karena jika media sosial juga digunakan sebagai tempat bertransaksi maka orang yang tak memiliki produk bisa melakukan jual-beli.

Ini berbeda dengan electronic commerce (e-commerce) yang jika ingin berdagang mesti dengan kehadiran produk yang dijual. Menurut dia, munculnya s-commerce membuat UMKM babak belur. Terlebih jika barang yang dijual impor dan lebih murah ketimbang harga produksi dalam negeri.

“Kalau media sosial digunakan untuk berdagang itu dampaknya sangat besar karena di situ berarti bisa juga orang yang enggak punya produk dia bisa jualan di Project S TikTok itu,” kata Hermawati kepada KBR, Selasa, (26/9/2023).

Hermawati menambahkan sejatinya tugas pemerintah tak hanya untuk membatasi media sosial agar tidak menjadi tempat bertransaksi jual-beli. Namun, juga perlu memberdayakan UMKM agar melek digital. Sebab, masih ada pelaku UMKM yang masih belum masuk ke platform perdagangan online.

“Karena memang kekurangan SDM UMKM kita ini belum paham transformasi teknologi dalam memasarkan produknya. Mereka paham WhatsApp, Instagram, tapi inovasi untuk jualannya mereka belum tahu,” ucap Hermawati.

Bukan Solusi Efektif

Analisis Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan, platform masih bisa saling bertukar algoritma data meski nantinya dipisah.

"Media sosial ini kan tempat interaksi antar-individu kan dan interaksinya pun dia enggak dibatasi. Mau interaksi tanya kabar mau interaksi pekerjaan dan sebagainya termasuk dia interaksi jual beli. Makanya itu tidak bisa diawasi dengan sempurna, pasti," kata Nailul saat dihubungi KBR, Selasa, (26/9/2023).

Ia menambahkan, "Walaupun kalau TikTok ini kan dia memfasilitasi ada menu shop di aplikasinya, tapi tanpa menu itu pun sebenarnya sudah terjadi transaksi sosial commerce ini. Menurut saya pribadi,sebenarnya bukan solusi yang efektif karena hal tersebut masih bisa berpotensi terjadi," katanya. 

Nailul menyebut, aturan baru ini belum menyelesaikan masalah sosial-commerce secara menyeluruh. Sebab kata dia, saat ini lebih dari 60 persen pelaku UMKM menggunakan media sosial untuk berjualan.

"Caranya dengan tidak memperbolehkan platform digital untuk memberikan bonus memberikan promo dan sebagainya untuk barang-barang impor termasuk gratis ongkir. Yang kedua itu kita mendorong produk-produk impor ini juga harus memenuhi persyaratan sertifikasi seperti halal BPOM SNI dan sebagainya," kata dia.

"Nah, inilah yang seharusnya kita perangi bukan perangi platformnya tetapi kita perangi barang-barang yang ada di platform tersebut di mana itu lebih banyak barangnya barang dari impor nah itu yang sebenarnya kita dorong di situ kita harus batasi seperti itu bukan platformnya platform-nya itu bermanfaat bagi UMKM," pungkas Nailul

Baca juga:

Editor: Sindu

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!