NASIONAL

Setahun Upaya Penggusuran Rempang, Masyarakat Asli Pilih Bertahan

Warga yang memilih mendaftar atau menyetujui relokasi kebanyakan adalah warga pendatang.

AUTHOR / Astry Yuana Sari

EDITOR / Sindu

Setahun Upaya Penggusuran Rempang, Masyarakat Asli Pilih Bertahan
Polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan unjuk rasa warga Pulau Rempang. (Foto: ANTARA/Teguh Prihatna)

KBR, Jakarta- Masyarakat asli Pulau Rempang, Kepulauan Riau, memilih bertahan dan menolak direlokasi dari tempat tinggal mereka yang akan dijadikan proyek strategis nasional (PSN) eco city.

Manajer Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau, Ahlul Fadhli mengatakan, warga yang memilih mendaftar atau menyetujui relokasi kebanyakan adalah warga pendatang. Kata dia, tepat 7 September tahun lalu, adalah setahun peristiwa yang disebut sebagai Tragedi Rempang. Warga memperingati momen itu dengan berbagai acara.

"Kebanyakan bukan warga asli, turunan itu karena ada yang ASN, polisi, yang dinas-dinas itu, mau enggak mau mereka harus ikut program pemerintah itu, mendaftarlah, kemudian yang jaga kebun, orang luar yang jaga kebun di sini dia mendaftar juga. Karena, kan, mereka enggak punya tanggung jawab terhadap kampungnya ini karena dia enggak lahir di sini, enggak hidup di sini, enggak cari nafkah di sini," kata Ahlul kepada KBR, Minggu, (8/9/2024).

Ahlul yang juga bagian dari Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang mengatakan, masyarakat asli tetap mempertahankan kampung-kampung mereka, sebab tempat tersebut sudah sejak lama menjadi lahan warga mencari nafkah baik di laut dan di kebun-kebun.

"Karena mereka belum bisa membayangkan kalau pindah itu, kan, dengan tawaran yang disampaikan tuh enggak bisa menjawab perekonomian mereka. Karena, kan, BP (Batam) ini, kan, gambarnya cuma satu keluarga, kan, ketika dia punya anak dan berkeluarga lagi, kan, populasi bertambah, kan, siapa yang memikirkan untuk selanjutnya itu, gitu?" imbuhnya.

Sementara, jika mereka memilih pindah, tidak ada gambaran masa depan yang bisa dipastikan.

"Nah, masalahnya, kan, yang diberikan ukuran 500 meter itu, enggak ada yang lain, kan. Kalau mereka di kampung ini, kan, dia punya kebun, punya lahan, bisa bekerja sama tetangganya," ujar Ahlul.

Peringatan Setahun 

Memperingati setahun Tragedi Pulau Rempang, warga setempat menggelar kegiatan tabur bunga, orasi dan atraksi budaya, Sabtu, 7 September 2024. Tabur bunga dilaksanakan tepat di lokasi bentrok antara masyarakat Pulau Rempang dan 1.010 aparat gabungan di Kampung Tanjung Kertang.

Saat bentrokan terjadi, 7 September 2023, aparat gabungan menghujani warga dengan semprotan air, gas air mata, dan peluru karet. Akibatnya anak-anak, perempuan, dan orang tua menjadi korban. Beberapa di antaranya harus dilarikan ke rumah sakit karena sesak napas dan mengalami luka.

Bentrokan terjadi karena warga menolak direlokasi, sebab tanah dan lahan yang mereka miliki akan menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City. Yakni, pembangunan kawasan industri, jasa, dan pariwisata bernama Rempang Eco City. Pada tahap pertama proyek berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN) ini akan dibangun industri kaca sebagai bagian dari program hilirisasi nasional.

Dibutuhkan lahan seluas 8 ribuan hektare dari total 17 ribu hektare luas Pulau Rempang. Di dalamnya terdapat 16 kampung tua yang dihuni sekitar 700 keluarga. Sebagian dari mereka menentang proyek tersebut dan menggelar unjuk rasa pada September tahun lalu.

Baca juga:

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!